Waktu

Oleh Empuesa

Suku Aceh atau yang biasa menyebut dirinya dengan Ureung Aceh, memang tidak memiliki definisi yang pasti mengenai waktu. Akan tetapi, mereka memahami bahwa dalam hal-hal tertentu pada kehidupan mereka, seperti saat mencari jodoh, mencari pekerjaan, dan menanam padi di sawah, harus direncanakan waktunya dengan tepat karena hal itu akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan mereka menjalani tiga hal tersebut. 
 
Asal-usul

Suku Aceh adalah salah satu suku terbesar yang hidup di provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD). Suku ini tinggal tersebar di empatbelas wilayah kabupaten kota dan duapuluh satu daerah tingkat II provinsi NAD, antara lain Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara. Lhokseumawe, Aceh Jaya, Nagan Raya, Langsa, dan Sabang (Rusdi Sufi, 2004). Akibat sebaran daerah tempat tinggal yang sangat luas ini, suku Aceh merupakan suku terbesar di Nanggroe Aceh Darrusalam. Suku Aceh mayoritas beragama Islam. Dalam kesehariannnya, mereka menggunakan bahasa daerah Aceh sebagai alat komunikasinya.

Aceh adalah nama yang sudah dikenal sejak zaman lampau. Pemakaian nama Aceh merupakan derivasi dari berbagai nama yang pernah disebutkan dalam mitos tentang asal mula wilayah diujung pulau Sumatera ini (baca Sufi, 2004, Dennys Lombard. 1986, Dado Meuraxa, 1956, Iskandar, 1977/1978). Di antara nama-nama yang pernah didengungkan untuk wilayah ini seperti A-tse, Aca-Aca, Tashi, Lambri-Lamri-Lamuri, Achin-Atchin-Atchein-Atcin-Atsheh-Aceh (Zainudin, 1961: 23).

Jika melihat latar belakang sejarah yang ada, suku Aceh merupakan suku yang unik dan bersahaja. Orang Indonesia umumnya menyebut suku Aceh dengan sebutan orang Aceh. Namun, orang Aceh sendiri lebih suka menyebut dirinya dengan sebutan daerah mereka, yaitu Ureung Aceh yang berarti orang Aceh. Sebutan ini mereka anggap lebih tepat karena mereka lebih suka menggunakan bahasa daerahnya daripada bahasa Indonesia jika berkomunikasi sesama mereka.

Ketika Aceh di Bawah kekuasaan Belanda, Ureung Aceh juga pernah mendapat sebutan Aceh Pungo (Aceh gila). Sebutan ini berasal dari penjajah Belanda karena Ureung Aceh banyak membunuh tentara Belanda hanya dengan bersenjatakan rencong (senjata khas suku Aceh). Pada waktu itu, Ureung Aceh juga berani masuk ke tangsi-tangsi Belanda yang terkenal dengan penjagaan yang ketat dan bersenjatakan lengkap. Belanda menganggap tindakan ini tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa kecuali orang gila, maka dari itu Belanda menyebut Ureung Aceh dengan Aceh Gila atau Aceh pungo. Ureung Aceh sendiri menyebut penjajah Belanda dengan sebutan Ureung Kaphe (orang kafir) (Rusdi Sufi et al., 2004, Oryza Aditama, 2008). [1]

Menurut E.B.Taylor, culture or civilization is that complex whole wich includes knowledge, belief, art, morals, law, customs, and any other capabilities, acquired by man as a member of society (dalam Jujun Sumantri, 1996). Sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia, Ureung Aceh memiliki kebudayaan yang cukup luhur. Salah satu wujud dari kebudayaan tersebut adalah adanya pengetahuan Ureung Aceh tentang waktu, khususnya tentang waktu yang baik dalam menanam padi dan mencari jodoh serta mencari rezeki. Memang, Ureung Aceh tidak mempunyai arti atau definisi khusus tentang kata waktu, akan tetapi mereka memahami bahwa jika ingin menanam padi, menentukan jodoh, dan mencari pekerjaan, maka hal itu harus dipersiapkan dengan matang dan memilih waktu yang tepat untuk melaksanakannya (Sufi, 2004).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, tahun 2005, halaman 1267, waktu berarti seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Jika merujuk pada arti ini, maka waktu menurut Ureung Aceh dapat dibayangkan sebagai seluruh rangkaian pada saat proses, ketika dilakukan, serta keadaan berlangsung untuk ketiga aktivitas kehidupan Ureung Aceh yang dianggap penting untuk diperhatikan, yaitu menanam padi, mencari jodoh, dan mencari rezeki.

Kenapa ketiga hal di atas dianggap penting untuk diperhatikan dan dipersiapkan waktunya? Tentu saja Ureung Aceh memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, yaitu Ureung Aceh sangat menyadari bahwa dalam segala tindakannya, manusia perlu merasa waspada dengan berbagai bencana yang mungkin terjadi akibat perbuatan manusia karena salah memilih waktu atau salah memahami tanda-tanda. Untuk itu, waktu perlu untuk direncanakan karena waktu sangat berkait erat dengan peristiwa alam yang memang telah digariskan oleh Tuhan (baca: Allah). Penentuan waktu yang tepat merupakan salah satu usaha manusia untuk menyesuaikan kehidupan mereka dengan takdir Tuhan dengan memahami tanda-tanda alam. Sebagai contoh, jika ada pelangi melingkari bulan, maka itu menandakan akan datangnya musim kemarau. Namun, apabila pelangi melingkari matahari, maka itu menandakan akan datang musim penghujan (Sufi, 2004).

Konsep Waktu 

Meskipun Ureung Aceh tidak memiliki arti dan definisi yang pasti tentang kata waktu, namun dalam kehidupan Ureung Aceh, waktu adalah hal yang penting untuk diperhatikan, khususnya apabila itu menyangkut tiga bidang dalam kehidupan mereka, yaitu rezeki, jodoh, dan musim tanam di sawah. Terhadap ketiga bidang tersebut, pemilihan waktu dianggap sebagai sesuatu yang harus dilakukan, karena hal itu menyangkut keberhasilan dan kegagalan mereka dalam mencari rezeki, kecocokan mendapatkan jodoh yang sesuai dengan hati, dan keberhasilan dan kegagalan panen. Berikut adalah perhitungan waktu pada tiga bidang di atas.


Waktu untuk mencari jodoh dan rezeki

Sehubungan dengan jodoh dan rezeki, Ureung Aceh membagi waktu dalam empat arti yang sederhana dan mudah untuk dipahami serta mudah untuk dipraktekkan oleh siapapun. Empat arti tersebut meliputi langkah (baik), raseuki (rezeki), peuteumun (pertemuan jodoh), dan maut (tidak baik). Arti-arti di atas nantinya akan dipadu padankan dengan hari dan bulan hijriah sebagai sistem perhitungan bulan yang umum di kalangan Ureung Aceh.

Rincian pembagian waktu dan arti tersebut adalah sebagai berikut.
  • tanggal 1 = langkah (baik untuk jodoh dan rezeki)
  • tanggal 2 = raseuki (rezeki)
  • tanggal 3 = peuteumun (pertemuan jodoh)
  • tanggal 4 = maut ( tidak baik untuk semua)
  • tanggal 5 = langkah
  • tanggal 6 = raseuki
  • tanggal 7 = peuteumun
  • tanggal 8 = maut
Begitu seterusnya empat arti tersebut diurutkan sesuai tanggal dan tidak boleh dibolak-balik.

Peangaktualisasian hitungan waktu di atas cukup mudah. Jika seseorang ingin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jodoh, seperti berangkat melamar perempuan dan melaksanakan pernikahan. Atau seseorang akan berangkat melamar pekerjaan atau merantau ke luar Aceh untuk mencari pekerjaan, maka agar keinginan di atas dapat berjalan dengan lancar dan sesuai rencana, hendaklah disesuaikan dengan hitungan waktu tersebut, yaitu pada tanggal yang masuk dalam arti langkah, raseuki, dan peuteumun.

Waktu untuk menanam padi

Adapun sehubungan dengan waktu musim menanam padi di sawah, Ureung Aceh memiliki hitungan waktu yang berbeda dari perhitungan waktu mencari jodoh dan mencari rezeki. Untuk menentukan kapan waktu menanam padi yang tepat, Ureung Aceh mempunyai rumus seperti halnya rumus dalam mata pelajaran matematika, fisika, atau kimia.
Rumus tersebut adalah K= C-2 x B.
Keterangan:

K = keuneunong yang berarti keadaan musim

C = angka konstanta atau angka tetap yaitu angka 25

2 = angka tetap untuk pengalian

B = bulan masehi yang sedang berjalan

Selanjutnya, hasil pengalian rumus di atas akan dicocokkan dengan ketentuan keuneunong (keadaan musim) menurut Ureung Aceh, yaitu:
  • Keuneunong 1 jatuh pada bulan Desember. Pada bulan ini, seluruh pekerjaan di sawah harus sudah selesai
  • Keuneunong 3 jatuh pada bulan November. Pada bulan ini, penanaman harus sudah mencapai tahap akhir
  • Keuneunong 5 jatuh pada bulan Oktober. Pada bulan ini adalah bulan yang paling tepat untuk mulai menanam
  • Keuneunong 7 jatuh pada September. Pada bulan adalah bulan yang paling tepat untuk menyemai bibit secara merata
  • Keuneunong 9 jatuh pada bulan Agustus. Pada bulan ini yang tepat untuk menanam jenis padi yang memerlukan waktu agak panjang umur panennya
  • Keuneunong 11 jatuh pada bulan Juli. Pada bulan ini yang tepat untuk menanam jenis padi yang memerlukan waktu yang panjang umur panennya
Contoh:
Misalnya seorang petani ingin mencari waktu keuneunong yang tepat pada bulan Agustus. Langkah awalnya adalah menghitung dengan rumus:

K = C- 2 x B
K = 25- 2 x 8
K = 25- 16
K = 9
Dengan demikian, maka bulan Agustus jatuh pada keuneunong 9. Artinya, pada bulan ini sudah dapat dimulai penyemaian bibit padi yang berjenis umur panen relatif pendek.

Pengaruh Sosial 

Pengetahuan Ureung Aceh tentang waktu, merupakan sebuah kebudayaan yang yang unik. Kebudayaan ini tentu saja memiliki pengaruh yang cukup terasa dalam kehidupan sosial Ureung Aceh, antara lain.


Terhadap sikap waspada dan hati-hati. Penentuan waktu yang cukup rinci oleh Ureung Aceh menandakan bahwa mereka sangat hati-hati dan waspada dalam menjalani kehidupan mereka, khususnya menyangkut tiga bidang kehidupan mereka, yaitu dalam mencari rezeki, menentukan jodoh, dan saat menanam padi. Wujud dari rasa kehati-hatian inilah yang melahirkan perhitungan waktu Ureung Aceh. Perhitungan ini terlihat sangat unik karena menggabungkan sisi ilmiah, yaitu menggunakan rumus matematika dengan sisi supranatural, yaitu perhitungan yang mendasarkan pada rasa dan sikap teliti dari Ureung Aceh terhadap tanda-tanda alam.

Terhadap ketaatan pada Tuhan. Penetapan waktu Ureung Aceh dilandaskan pada keyakinan mereka bahwa Tuhan telah menentukan waktu-waktu yang baik dalam kehidupan ini. Sedangkan untuk mengetahui waktu-waktu yang baik tersebut adalah dengan memahami tanda-tanda alam. Peristiwa alam dimaknai oleh Ureung Aceh sebagai petunjuk Tuhan bagi manusia untuk mempersiapkan kehidupan mereka dengan baik.

Terhadap kedekatan pada alam. Penentuan waktu dalam tiga bidang kehidupan Ureung Aceh yang didasarkan pada keyakinan akan ketetapan Tuhan melalui hukum alam, hal ini menandakan Ureung Aceh sangat dekat dengan alam. Dalam konteks ini, alam dianggap Ureung Aceh sebagai media mereka untuk belajar dari peristiwa alam, seperti banjir, angin besar, pergeseran rotasi bulan, bintang, dan matahari, kemudian direnungi dan selanjutnya diambil maknanya untuk keperluan pengambilan sikap dalam kehidupan. Ureung Aceh menganggap bahwa seluruh peristiwa alam sebenarnya juga berpengaruh terhadap peristiwa alam yang lain.

Terhadap penentuan waktu mencari dan menentukan jodoh. Meskipun perhitungan waktu di atas saat ini sudah banyak ditinggalkan oleh Ureung Aceh (khususnya di kota), namun perhitungan waktu model ini masih banyak dipakai oleh Ureung Aceh yang hidup diperdesaan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh masih kuatnya peran orangtua di kampung-kampung terhadap pola pendidikan anak. Para orangtua di kampung-kampung Aceh hingga saat ini masih sering mengingatkan anaknya untuk berhati-hati dalam mencari jodoh.
Selain mengingatkan akan pentingnya mempersiapkan waktu, para orangtua juga mengingatkan akan pentingnya mencari jodoh yang se-iman (satu agama). Ukuran agama juga terkadang dijadikan ukuran akan lancarnya rezeki seseorang dalam hidupnya kelak. Dalam konteks ini, konsep waktu juga dimaknai sebagai penguat akan keyakinan mereka terhadap agama.

Terhadap penentuan waktu untuk menanam padi. Kasus di atas juga terjadi untuk penentuan waktu menanam padi. Artinya, meskipun Ureung Aceh di kota sudah tidak lagi mempercayai perhitungan waktu tersebut, maka tidak demikian halnya dengan Ureung Aceh yang ada di kampung-kampung. Hal ini disebabkan oleh masih banyakan masyarakat kampong yang berprofesi sebagai petani. Berbeda dengan masyarakat kota yang sudah banyak beralih profesi menjadi pegawai atau pedagang. Bahkan lahan sawah di kota sudah berubah menjadi lahan perumahan.

Penutup 

Ketika Aceh di terjang bencana tsunami pada tahun 2004 lalu dan memakan korban jiwa ribuan Ureung Aceh, perhatian masyarakat Aceh akan pentingnya memahami tanda-tanda alam mulai muncul kembali. Tragedi tsunami menyadarkan Ureung Aceh bahwa Tuhan memang telah meletakkan petunjuknya di dalam tanda-tanda alam yang dahulu pernah diajarkan oleh nenek moyang mereka.


Dalam konteks ini, pengetahuan Ureung Aceh tentang waktu di atas, penting untuk diapresiasi kembali agar tidak punah, seperti halnya bahasa Aceh yang disinyalir sudah mulai punah karena sudah banyak guru dan sekolah yang tidak lagi mengajarkan bahasa daerah ( http://id.cosmotopic.com/1553660279-bahasa-aceh-terancam-punah). Terlepas bahwa hitungan waktu di atas mengandung unsur tidak ilmiahnya, satu poin penting yang perlu dipahami adalah pengetahuan tentang waktu merupakan jejak kebudayaan Ureung Aceh masih bisa dijadikan ruang untuk belajar guna mengatur kehidupan mereka sekarang. 
(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com).

Referensi
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
  • Dennys Lombard, 1986. Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan Winarsih Arifin. Jakarta; Balai Pustaka.
  • Jujun Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Oryza Aditama, 2008. Cut Nyak Dien Ibu Gerilya Indonesia. Tujuh Ibu Bangsa. Jakarta: Rahzenbook.
  • Rusdi Sufi et al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • - Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1998/1999.
  • Rusdi Sufi dan Agus B. Wibowo. 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam.
  • T. Iskandar . 1977/1978. Hikayat Aceh. Banda Aceh: Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
  • Jailani. Petani menabur pupuk organik di tanaman selada di Dusun Lamreueng, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Tersedia di http://acehimage.com/index.php. (Diunduh tanggal 20 Maret 2010).
  • Zulfah. Bahasa Aceh Terancam Punah. Tersedia di http://id.cosmotopic.com/1553660279-bahasa-aceh-terancam-punah. (Diunduh tanggal 20 Maret 2010).
Catatan kaki:
  • [1] Ureung Aceh juga pernah mendapat sebutan orang mante yang artinya orang yang berasal dari hutan rimba dan berbadan kecil. Hal ini disebabkan karena dahulu Ureung Aceh dianggap pecahan dari bangsa Mon Khmer dari Hindia Belakang yang memiliki postur tubuh kecil (Meuraxa, 1974: 6).

Komentar

Postingan Populer