Alang Tulung


Oleh Empuesa 

Alang tulung artinya tolong-menolong. Tradisi Alang tulung merupakan warisan leluhur Gayo dengan tujuan terciptanya kerukunan dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi ini berdasarkan pada filosofi bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan harus saling tolong-menolong.

1. Asal-usul 

Suku Gayo adalah salah satu suku Melayu yang bermukim di Nanggro Aceh Darussalam (NAD). Masyarakat Melayu Gayo memiliki tradisi gotong royong yang disebut alang tulung. Tradisi gotong-royong ini biasanya berhubungan dengan sendi kehidupan, termasuk ekonomi dan religi. Tradisi ini dipraktekkan oleh masyarakat pedesaan Gayo dan menjadi kekuatan yang melekatkan mereka sebagai satu suku (T. Syamsudin, 1979/1980).

Alang tulung secara umum berarti tolong-menolong. Dalam bahasa Gayo, alang berarti "sakit” atau “malang” dan tulung berarti “tolong” atau “bantu”. Dengan demikian, alang tulung diartikan sebagai “orang yang sedang sakit atau kesusahan maka harus ditolong atau dibantu” (Rusdi Sufi, et.al., 2004). Tradisi alang tulung adalah warisan leluhur yang menginginkan masyarakat Melayu Gayo hidup rukun dan damai. Tradisi ini berdasarkan pada filosofi bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan harus tolong-menolong. Manusia memiliki waktu sakit dan sehat. Bagi yang sehat harus membatu yang sakit, begitu juga sebaliknya (Syamsudin, 1979/1980).

2. Konsep Alang Tulung 

Inti dari tradisi alang tulung adalah saling tolong-menolong, baik dalam kegiatan sosial, acara keluarga, ekonomi, maupun religi. Selain didasari oleh ajaran leluhur, alang tulung juga didasari oleh ajaran Islam yang mayoritas dianut orang Gayo. Tradisi Alang tulung oleh masyarakat Gayo umumnya diwujudkan dalam beberapa bidang kegiatan berikut ini:
  • Ekonomi dan pekerjaan. Alang tulung dalam bidang ini umumnya berupa berelat atau menomang (menanam padi), mangale (membuka kebun di hutan), mangolo (perikanan), merintis (membuat jalan setapak), munuke rerak (membuat saluran air), dan murerak (membersihkan saluran air). Alang tulung model ini melibatkan hampir seluruh penduduk kampung. Khusus pada menomang, biasanya hanya dilakukan oleh keluarga dan kerabat atau pasangan suami-istri dan teman-temannya, karena menomang juga sekaligus ditujukan untuk mencari jodoh.
  • Peralatan sehari-hari. Dalam bidang ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan seperti munegu pereu (membuat perahu), keben (lumbung padi), jamur (tempat berteduh di sawah), jingki (lesung), mersah/menasah (pesantren), joyah (mushola), dan wumen (tempat mandi). Saat ini, alang tulung model ini saat ini sudah mulai jarang dilakukan karena keberadaan keben atau jingki sudah mulai hilang. Adapun pembangunan joyah dan menasah masih dilakukan karena merupakan ciri khas budaya Gayo yang sampai sekarang terus dipertahankan.
  • Kemasyarakatan. Di bidang ini, alang tulung terdiri dari 2 model, yaitu antartetangga yang umumnya berupa munyesuk umah (membangun rumah) yang meliputi mencari kayu di hutan, memberi atap rumah, atau menguruk telege (menggali sumur), dan antarkaum kerabat yang umumnya menyangkut upacara daur hidup, seperti perkawinan, khitan, atau mencukur rambut bayi. Pada model antartetangga dilakukan secara sukarela, pemilik rumah biasanya hanya akan memberi makan dan minum. Namun, ia harus balas membantu jika orang yang pernah membantunya sedang membangun rumah. Sedangkan antarkerabat dikerjakan atas dasar kekerabatan, bergantian saat anggota kerabat menggelar acara yang sama.
  • Peristiwa kondisional. Alang tulung dalam konteks ini dilakukan ketika terjadi hal-hal yang tidak diduga sebelumnya, misalnya kecelakaan, kematian, atau lainnya. Dalam peristiwa kematian, misalnya, pada umumnya tetangga dan kerabat akan datang. Para bebujang (pemuda) misalnya akan mendapat bagian menguruk jeret (menggali tanah), sedangkan beberu (pemudi) mengambil air untuk memandikan mayat. Ahli agama mengurus kain kafan, sedangkan sejumlah orang lainnya bertugas menghibur keluarga yang berduka.
  • Religi atau kepercayaan. Alang tulung dalam hal ini dilakukan ketika mempersiapkan peringatan hari-hari besar keagamaan, seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad, Idul Fitri, dan Idul Adha. Bentuk lain adalah seperti penyelenggaraan munayang (kenduri padi) berupa ulu niweh (kenduri turun sawah), tulak bale (tolak bala), dan munebang (kenduri buka hutan).
3. Nilai-nilai 

Pengetahuan orang Gayo tentang alang tulung mengandung nilai-nilai luhur, antara lain:
  • Harmoni masyarakat. Tradisi gotong-royong ini menguatkan harmoni kehidupan masyarakat Gayo. Dengan bergotong-royong, kekurangan dan kesusahan dapat diselesaikan dengan baik dan dipikul bersama.
  • Melestarikan tradisi. Alang tulung menjadi bukti bahwa pelestarian tradisi leluhur adalah hal yang penting untuk dilakukan.
  • Menghargai sesama manusia. Tradisi Alang tulung adalah wujud penghargaan sesama manusia dan menjadi simbol solidaritas orang Gayo.
  • Menjaga adat. Alang tulung adalah sebuah etika sosial yang bersumber dari ajaran leluhur dan oleh karena itu pelaksanaannya merupakan wujud dari upaya orang Gayo dalam menjaga adat.
  • Menerapkan ajaran agama. Mayoritas orang Gayo adalah muslim dan Islam mengajarkan sesama manusia agar saling membantu. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi ini juga merupakan pelaksanaan ajaran agama Islam.
  • Menjaga persatuan dan kesatuan. Gotong-royong adalah pondasi yang kuat untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi ini adalah upaya penguatan pondasi sosial tersebut.
4. Penutup 

Tradisi Alang tulung adalah bukti budi pekerti sosial orang Gayo yang luhur. Tradisi ini juga menjadi bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Melayu serumpun.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • _____, 1998/1999. Perkampungan di Perkotaan sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin Kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  • Rusdi Sufi & Agus B. Wibowo, 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
  • Rusdi Sufi, et.al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • T. Syamsudin, dkk., 1979/1980. Sistim Gotong-royong dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Komentar

Postingan Populer