“Nanny 911”, Krisis Orangtua dan Tunjuk Ajar Melayu

Oleh Empuesa

Prolog
Come and see Americas most famous Nanny. Nanny Stella from “Nanny 911”, helping families achieve their full potential (Kompas, 30 November 2009).
Tulisan di atas terpampang dengan jelas di salah satu iklan koran nasional. Tampak foto gagah seorang perempuan gemuk bertopi bundar ala Charlie Caplin dengan senyum merekah. Itulah Nanny Stella, seorang perempuan Amerika yang terkenal karena dianggap dapat membantu keluarga untuk “menjinakkan” anak mereka yang sulit diatur dan membahayakan. Di tangan Nanny Stella, anak sebandel apapun akan tunduk, taat dan akan menjadi anak yang baik serta menghormati orangtua dengan cepat, mirip seperti makanan Amerika cepat saji. 

Tentang “Nanny 911”

“Nanny 911” dikenal di Indonesia melalui program yang ditayangkan oleh stasiun televisi nasional Metro TV. Acara ini ditayangkan setiap hari minggu sore dari pukul 17.00 sampai 18.00 WIB. Pemilihan waktu ini sepertinya tepat sekali, karena hari minggu adalah hari libur dan biasanya pada waktu itu para orangtua berkumpul dengan anak-anak mereka dan menonton televisi. Sambil menonton televisi, para orangtua diharapkan langsung mengingatkan anaknya jika mereka nakal atau sulit diatur.

Dalam acara “Nanny 911” tersebut, biasanya ditayangkan sebuah keluarga Amerika yang mempunyai anak sangat bandel, sulit diatur dan membahayakan anggota keluarga yang lain baik adik, kakak bahkan ibu bapaknya sendiri. Suatu ketika ditayangkan seorang anak laki-laki lebih kurang berumur 8 tahun sedang memukuli, menendang, menjambak, serta menusuk mata adiknya yang berumur 2 tahun. Ada lagi seorang anak yang suka melemparkan mainannya ke seluruh ruangan rumah, hingga mengenai kaca, televisi atau kulkas. Lebih parah lagi, terlihat seorang anak yang selalu berkata-kata kasar pada orangtuanya, melawan bahkan mengajak berkelahi. Suami istri terkadang cekcok dan saling menyalahkan akibat ulah sang anak dan itu terjadi hampir setiap hari.

Orangtua sang anak tampak kewalahan, bingung, depresi bahkan tak kuat menanggung emosi dan akhirnya memukuli anak-anak mereka yang nakal. Rata-rata para orangtua itu adalah orang sibuk, suami istri bekerja, dan anaknya dititipkan ke penitipan anak. Mereka menduga mungkin para pengasuhnya salah mendidik. Sementara itu, beberapa orangtua yang tidak sibuk mengatakan kalau mereka sudah memberikan kasih sayang, cinta dan perhatian pada anak, tetapi kenapa anak mereka tetap berperilaku nakal bahkan bertambah nakal, mereka sendiri tidak tahu. Mereka juga sudah datang ke psikolog anak dan mempraktekkan sarannya, akan tetapi usaha itu masih gagal. Sang anak tetap sadis dan membahayakan.

Dalam kondisi yang sudah kalut, orangtua itu akhirnya menelepon “Nanny 911”, sebuah perusahaan jasa yang menyediakan pendidik (rata-rata perempuan) untuk “menjinakkan” anak yang nakal dengan cepat dan mengajarkan para orangtua agar menjadi pribadi yang disenangi dan orangtua yang “baik dan benar” bagi anak dan keluarga. Pemakaian angka 911 tampaknya mencontoh layanan cepat kepolisian Amerika, yang melayani masyarakat jika mereka mengalami masalah di lingkungan mereka tinggal atau melihat masalah di jalan. Tidak lama kemudian, seorang perempuan dengan rok selutut, baju semi jas, bertopi ala Charlie Caplin, membawa tas dan kebanyakan berbadan gemuk, datang dengan berwibawa. Orangtua menyambut hangat sementara sang anak masih dalam kondisi kenakalannya.

Perempuan itu akan tinggal beberapa hari di rumah orangtua yang bermasalah dengan anak mereka tersebut. Tugas perempuan itu adalah “menjinakkan” sang anak yang nakal dan mengajarkan pada orangtua bagaimana cara mendidik anak yang baik agar si anak tidak nakal (baca: menjadi orangtua yang baik dan benar). Setelah beberapa hari “Nanny 911” tinggal bersama keluarga tersebut, terlihat sang anak sudah menjadi anak yang penurut, orangtua juga sudah dapat mendidik anaknya dengan tenang, dan keluarga mereka menjadi harmonis. “Nanny 911” pun tersenyum gembira.

“Nanny 911” dan Krisis “Menjadi Orangtua”

Karl Marx (dalam Franz Magniz-Suseno, 1999) ratusan tahun silam pernah menduga bahwa suatu saat orang modern akan teralienasi (terkucilkan) dari dirinya sendiri, dan ternyata dugaan Marx tersebut benar. Dalam tayangan program “Nanny 911”, satu hal yang ingin diinformasikan kepada masyarakat adalah realitas krisis “menjadi orangtua”, atau dapat dikatakan krisis orangtua modern, yang menimpa para orangtua. Dikatakan modern karena kebanyakan kasus ini terjadi pada orangtua zaman sekarang. Umumnya mereka orangtua karir, di mana keduanya sibuk bekerja, sementara anak diasuh oleh orang lain dan ruang-ruang bercengkrema dengan keluarga sangat sedikit. Fenomena ini banyak terjadi di zaman modern sekarang, sementara zaman dahulu jarang – bahkan mungkin tidak – ditemukan.

Kondisi seperti ini banyak dialami oleh para orangtua yang tinggal di kota besar, pinggiran kota bahkan di desa. Krisis orangtua modern dipengaruhi oleh perilaku mereka dalam memperlakukan anak. Uang, PS (play station), mall, televisi, mobil, motor, dan HP (handphone), merupakan ruang serta alat-alat di mana para orangtua modern “mewakilkan” kasih sayangnya pada anaknya. Sementara para orangtua asyik dengan kesibukannya sendiri, seperti belanja, ke kantor, mungkin dugem (dunia gemerlap), atau cari pacar baru. Akibat perilaku ini, anak dan orangtua menjadi jauh, perilaku anak tidak terkontrol, pendidikan mereka tidak terperhatikan sehingga anak mencari “orangtua baru”, dan ajaran agama pun tak berarti.

Dahulu ketika umur satu sampai tiga tahun, ibu saya selalu menggendong saya dengan kain di punggungya sambil tandur (menanam padi), menggembala kambing, memberi makan ayam, ke pasar atau masjid. Setelah pulang kerja sore hari, bapak saya memboncengkan saya di sepeda dengan mengikatkan kaki di boncengan belakang, mengajak berkeliling desa atau menonton pasar malam. Kasih sayang orangtua, kedekatan dengan alam dan perhatian, menyatu dalam gairah hidup sehari-hari. Sebuah pemandangan yang sulit ditemukan hari ini.

Setelah sebelumnya para orangtua Indonesia hanya dapat melihat dan belajar cara “Nanny 911” dari layar kaca televisi, sekarang pemeran “Nanny 911” didatangkan langsung dari Amerika ke Indonesia. Tujuannya adalah mengisi seminar dan memberikan pelajaran bagaimana menjadi orangtua yang “baik dan benar”. Para orangtua Indonesia diberikan alternatif pemecahan cara mendidik anak dengan pola asuh ala “Nanny 911” dari Amerika. Pola asuh baru ini diharapkan dapat dijadikan pegangan orangtua kota untuk menyelesaikan problem mereka dalam mendidik anak. Walaupun sekarang baru merambah kota, namun tidak menutup kemungkinan pola baru ini akan merambah dan dicontoh orangtua di desa-desa di Indonesia. Jika hal ini terjadi, kebudayaan nenek moyang kita dalam mengasuh anak akan tergantikan dengan budaya mendidik anak gaya Amerika. Sebegitu rendahkah kebudayaan nenek moyang kita sehingga harus mengimpor dari luar?

Belajarlah dari Tunjuk Ajar Melayu

Salah satu kebudayaan yang berakar di masyarakat Indonesia adalah kebudayaan Melayu, yang merupakan kebudayaan besar, luhur dan bersahaja serta penuh ajaran. Nenek moyang Melayu tidak hanya mengajarkan bagaimana cara mendidik anak dan menjadi orangtua saja, akan tetapi juga bagaimana menjalani hidup dan menyikapi kehidupan. Semuanya itu diajarkan antara lain dalam bentuk butir-butir syair Melayu, yang dirangkum oleh Tenas Efendi (2004) dalam kitab Tunjuk Ajar Melayu.

Pada bagian “petuah amanah mendidik dan membela anak”, saya akan sebutkan beberapa bagian saja agar kita dapat belajar:
Anak dididik sejak kecil, anak diajar sejak terpancar, anak dibela selamanya.
Dididik pada yang baik, diajar pada yang benar, dibela pada yang mulia, dituntun pada yang santun, ditunjuk pada yang elok, dipelihara pada yang sempurna, dijaga pada yang berguna.
Anak dididik dengan kasih, kasih jangan berlebihan, kasih berlebih membutakan.
Anak dididik dengan sayang, sayang jangan keterlaluan, terlalu sayang membinasakan.
Anak dididik dengan lembut, tetapi jangan terlalu lembut, terlalu lembut membawa hanyut.
Anak dididik dengan keras, tetapi jangan terlalu keras, terlalu keras membawa naas.
Anak dididik dengan berlunak, tetapi jangan terlalu lunak, terlalu lunak rusaklah akhlak.
Dalam ungkapan lain disebutkan:
Sebelum anak ditunjukajari, baikkan dulu akhlak sendiri.
Sebelum anak ditunjuk ajar, diri sendiri hendaklah benar.
Sebelum anak diberi petuah, baikkan diri elokkan tingkah.
Kalau hendak mendidik anak, contoh yang baik hendaklah tampak.
Kalau hendak mendidik anak, tingkah laku hendaklah tunak.
Kalau hendak mendidik anak, muka manis lidah pun lunak.
Kalau hendak mendidik anak, jangan sekali sepak menyepak.
Kalau hendak mendidik anak, jauhkan sifat buruk dan rusak.
Dalam ungkapan lain dikatakan:
Bila mendidik bersungguh hati, anak yang bingal jadi berbudi.
Bila mendidik tekun dan rajin, anak yang jahat mau dipimpin.
Bila mendidik karena lillah, anak dididik beroleh berkah.
Bila dididik berkasih sayang, ilmu diberi tidakkan hilang.
Bila dididik menurut sunnah, anak didik jadi menakah.
Bila dididik menuruti syarak, anak dididik tuahnya tampak.
Bila dididik menurut adat, anak didik mendapat berkat.
Pada akhir petuah diingatkan:
Kalau salah mendidik anak, banyak akibat yang tidak baik, banyak kerja yang kan menyalah, banyak harta tersia-sia, banyak ilmu yang tak sejudu, banyak petuah yang tak berfaedah, banyak nasehat yang tak bermanfaat, banyaklah dosa ibu dan bapak, banyaklah salah kan terbawak.

Muda binasa tuanya rusak, dunia akhirat ditimpa balak, badan penat hasil tak tampak, ke mana pergi kena tempelak, celaka menimpa anak beranak, sesal tak sudah nama pun rusak, azab akhirat takkan terelak.
Butir-butir syair Melayu di atas dengan gamblang mengajarkan bagaimana mendidik anak dan menjadi orangtua yang baik dan benar. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memahami makna syair di atas, hanya diperlukan kesungguhan dan kebeningan hati untuk menghayati, agar tunjuk ajar itu dapat menubuh dalam diri dan mencengkeram dalam fikir, sehingga orang Melayu tidak gampang latah dengan pola ajaran baru, karena apa yang ada dalam tunjuk ajar Melayu tidaklah jauh berbeda kualitasnya dari apa yang diajarkan dalam tayangan “Nanny 911”.

Epilog

Melayu adalah bangsa besar, nenek moyang Melayu berbudaya luhur, tunjuk ajar Melayu adalah bukti tak terukur. Tulisan ini hanyalah ingin mengingatkan pada orang Melayu khususnya dan Indonesia umumnya, bahwa lebih baik belajar kepada kebudayaan yang telah diturunkan oleh nenek moyang sendiri, daripada mencontoh dari orang lain, karena belajar dari orang lain belum tentu sesuai dengan budaya sendiri. Bukan berarti yang dari Barat itu tidak baik, akan tetapi jika bukan kita yang menjaga budaya tradisi nenek moyang, siapa lagi? Apakah kita harus menunggu dulu klaim dari negara lain baru berteriak?Yusuf Efendi/opini/redaktur di Melayuonline.com

Referensi
  • Efendy, Tenas. 2004. Tunjuk Ajar Melayu (butir-butir budaya Melayu Riau). Yogyakarta: Adicita.
  • Suseno, Franz Magniz. 2001. Karl Marx. Dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
  • Kompas, Senin 30 November 2009. Iklan tentang Nanny Stella from “Nanny 911”.
  • Metro TV, acara Nanny 911.
(Opini ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer