Ngitanang: Simbol Pengislaman Orang Bayan, Nusa Tenggara Barat

Oleh Empuesa

Ngitanang di Bayan, Lombok, NTB wajib untuk anak laki-laki. Lazimnya dilakukan saat anak berumur antara dua sampai sepuluh tahun. Pada umur ini, kulit loloq (kelamin laki-laki/penis) masih mudah untuk dipotong.

A. Asal-usul

Orang Bayan menyebut sunat dengan ngitanang atau potong loloq. Sebagai pemeluk Islam, orang Bayan di Lombok, NTB meyakini tradisi ngitanang berasal dari ajaran Islam, yang dalam kisahnya memerintahkan Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail sampai kepada Nabi Muhammad untuk sunat, sebagai tanda sudah masuk Islam. Di Bayan, anak yang belum di potong loloq masih dianggap Bodha, dan potong loloq merupakan tanda kalau sang anak sudah masuk Islam (Budiwanti, 2000 : 189). 

Selain alasan di atas, ngitanang juga mengandung beberapa maksud bagi orang Bayan. Pertama, ngitanang merupakan upacara untuk menghilangkan sisa dosa yang menempel pada anak, yang dibawa oleh orangtuanya. Kedua, Ngitanang juga dimaksudkan untuk syukuran, karena anaknya sudah menginjak remaja. Termasuk syukur atas rizki dari yang kuasa karena dapat menyunatkan anaknya (baca: meng-Islamkan anaknya). Salah satu bentuk rasa syukur itu diwujudkan dalam bentuk potong kerbau (kao’), makan bersama (meriyap), pemberian seekor ayam jantan pada penjalak (tukang sunat), penabuhan gamelan adat, gendang beleq dan minum brem. Jika yang melaksanakan orang kaya, acara seperti ini akan diadakan selama dua sampai tiga hari.  

Ngitanang di Bayan wajib untuk anak laki-laki. Lazimnya dilakukan saat anak berumur antara dua sampai sepuluh tahun. Pada umur ini, kulit loloq (kelamin laki-laki/penis) masih mudah untuk dipotong. Walaupun terkadang dirasa menakutkan, namun bagi anak-anak tertentu di Bayan ngitanang sangat ditunggu-tunggu, karena mereka akan mendapatkan banyak hadiah dan uang dari saudara-saudaranya. Mereka juga akan didandani pakaian adat, diarak dengan iringan gendang beleq, dan ditonton orang banyak. 

Upacara ini dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu pertama, warga atau keluarga dipersilahkan melaksanakan sendiri, jika memang mampu secara ekonomi; kedua, sebaliknya dipersilahkan untuk melakukan bersama-sama (patungan), jika tidak mampu. Pelaksanaan model kedua ini dikenal dengan sebutan begawe beleq. 

Biarpun kewajiban agama, potong loloq di Bayan tidak hanya menjadi upacara keagamaan, tetapi juga menjadi bagian dari adat. Maka dari itu, prosesi pelaksanaan ngitanang di Bayan menggunakan cara adat (tradisional), namun tetap tidak menghilangkan unsur agamanya. Dilaksanakan di bale adat, memakai alat-alat tradisional, menggunakan obat tradisional, juga dilakukan oleh petugas khusus (penjalak) atau Toak Lokaq, bukan dokter atau mantri. Menurut Budiwanti (2000; 189-190) sebenarnya sunat dengan dokter juga diperbolehkan, akan tetapi orang Bayan tetap memilih Toak Lokaq daripada dokter. Pilihan ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa, cara tradisional sudah lama dipakai dan pengalaman membuktikan aman-aman saja. Selain itu juga karena keterikatan pada adat leluhur yang sulit untuk dihilangkan oleh orang Bayan. 

Penambahan unsur modern dalam proses ngitanang hanya terjadi pada beberapa hal, salah satunya jika pada zaman dahulu bekas luka potongan dibiarkan begitu saja tanpa dijahit (hanya dibubuhi dengan ramuan dedaunan tradisional), maka sekarang sudah disediakan dokter atau mantri dari puskesmas desa untuk menjahitnya.

B. Peralatan, Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Ngitanang dilakukan oleh penjalak di dalam bale adat. Proses penjahitan dilakukan di luar bale adat oleh dokter atau mantri kesehatan. Adapun waktunya bisa kapan saja, selain bulan Muharam (suro), karena bulan ini dianggap sakral, sehingga masyarakat tidak boleh membuat acara adat kecuali puasa. 
Peralatan yang harus disediakan dalam upacara ngitanang adalah : 

Sebuah pisau potong, yaitu pisau kecil bergagang kayu kelapa yang sudah diasah dengan tajam, khusus buat potong loloq. Pisau ini hanya dimiliki oleh penjalak.
Bambu penjepit loloq, yaitu dua buah bilah bambu kecil berbentuk pipih yang ditangkupkan sehingga menyerupai supit. Fungsinya untuk menjepit loloq yang sudah ditarik kulitnya, untuk kemudian dipotong dengan pisau.
  • Aik mel-mel, yaitu air putih biasa yang sudah dibacakan mantra oleh kyai, fungsinya untuk membasuh loloq yang akan dipotong dan konon secara magis dapat mengurangi rasa sakit (dalam konteks ini, air mantra untuk pembiusan).
  • Bejana dari kuningan berukuran sedang. Alat ini digunakan untuk menaruh beras, kain putih, daun sirih, kapur, dan benang. Bahan-bahan ini merupakan persyaratan adat yang hanya diketahui maksudnya oleh penjalak dan kyai.
  • Dua buah kelapa tua kering. Digunakan sebagai tempat duduk anak saat dipotong loloqnya.
  • Campuran ramuan dedaunan. Digunakan untuk mengolesi bekas luka potongan agar tidak banyak keluar darah dan cepat sembuh. Ini juga dipakai untuk mengolesi kening sang anak, fungsinya sebagai sembek (berkah dan lindungan dari yang kuasa)
  • Peralatan untuk menjahit bekas potongan, seperti jarum, benang, gunting, perban, obat luka dan alkohol untuk bius.         

Adapun pelengkap pendukungnya meliputi :

  • Sesajen
  • Kemenyan
  • Sirih dan pinang
  • Tembakau

C. Prosesi pelaksanaan

Prosesi pelaksanaan ngitanang lazimnya terbagi dalam tiga tahap, yaitu :

1.  Persiapan

Persiapan upacara adat ngitanang dimulai sehari sebelumnya dengan membersihkan dan menghias bale adat, khususnya berugaq tempat ngitanang. Berugaq ditutupi kain putih dan batik, dihias dengan janur dan wewangian, dipasang kipas angin agar tidak panas, dan diletakkan beberapa buah kelapa kering yang dipasangkan sebagai tempat duduk anak saat dipotong loloqnya. Persiapan yang sama juga di lakukan di rumah orang yang menyelenggarakan adat, keluarga dengan dibantu warga membuatkan tempat untuk masak, membuat rak-rak dari bambu untuk menaruh piring, gelas, dan alat-alat memasak serta menata berugaq untuk tempat duduk para tamu dan sanak saudara yang datang dari jauh.

2. Pelaksanaan

Dengan dibantu oleh seorang yang bertugas membersihkan pisau dan menyiapkan peralatan lainnya, penjalak memulai pelaksanaan ngitanang. Pelaksanaan proses ngitanang terjadi dalam urutan bawah ini :
  • Saat subuh, kira-kira jam 5 pagi, sang anak yang mau dipotong loloqnya sudah dibangunkan dari tidurnya. Selanjutnya anak dibawa menuju kali desa yang airnya dingin. Sang anak disuruh berendam kurang lebih setengah jam, tujuannya agar loloqnya kaku dan dingin. Konon ini akan berefek pada kurangnya rasa sakit jika nanti pisau memotong kulitnya.
  • Setelah selesai itu sang anak dibawa pulang dan didandani pakaian adat. Selanjutnya dibawa ke perbatasan desa (kurang lebih berjarak satu kilo meter). Diperbatasan desa anak dinaikkan ke atas kursi yang sudah dihias sedemikian rupa, dan diarak menuju bale adat dengan iringan gendang beleq. Saat diarak ditemani oleh keluarga dan ditonton oleh masyarakat, persis seperti mengarak pengantin. Dalam arak-arakan ini tidak ada ritual khusus dalam pelepasan rombongan, tampaknya ini murni hiburan bagi sang anak agar melupakan apa yang akan dialami nantinya, anak tidak tegang dan takut sebelum dipotong.
  • Seusai diarak, sang anak dimasukkan ke bale adat, didudukkan di berugaq, ditemani orangtua dan kerabat. Sambil dihibur musik gendang beleq dan gamelan adat, anak menunggu untuk prosesi ngitanang dimulai. Sembari menunggu, tangan dan kaki sang anak diberi gelang dari uang kepeng bolong (uang receh lubang tengahnya), konon agar tidak diganggu makhluk halus.
  • Setelah istirahat beberapa saat, selanjutnya anak didudukkan oleh orangtuanya di atas buah kelapa kering yang sudah disiapkan. Mata si anak ditutup dengan kain dan tubuhnya dipegang erat. Dengan berpakaian adat putih dan mulut selalu mengunyah buah pinang serta sirih, penjalak mempersiapkan diri. Di sampingnya terdapat sebuah bejana kuningan berisi air dan pisau. Satu bejana lagi berisi ketan, kain putih, benang dan daun sirih. Mulutnya nampak komat-kamit membaca do’a atau mantra. Dibantu oleh seseorang, penjalak mulai memasang bambu penjepit, sejenak kemudian dia mencipratkan air yang sudah dimantra ke loloq dan memegang loloq sang anak lalu menarik dan menjepitnya.
  • Penjalak kemudian memotong kulit lebih pada loloq sang anak. Terdengar anak itu menangis keras, orangtuanya dengan kuat pula memegang tubuhnya agar tidak bergerak, karena akan membahayakan sang anak. Setelah diusapi dengan ramuan dedaunan yang ditumbuk dan diolesi keningnya (disembek) agar dapat berkah dari leluhur, sang anak langsung diangkat oleh orangtuanya dan diserahkan kepada mantri kesehatan yang sudah siaga.
  • Mantri yang sudah siaga langsung menyuruh orangtuanya untuk menidurkan anaknya di tempat yang sudah disiapkan. Mantri menyuntikkan obat bius, dan mulai menjahit bekas potongan kulit yang masih menganga. Sang anak terus menangis, menjerit dan meronta, namun ada juga yang hanya menangis lirih. Terkadang tampak justru orangtuanya yang menangis, karena tidak tega melihat anaknya disunat.
  • Setelah selesai, orang-orang berkumpul untuk makan bersama (meriyap). Bagi anak yang masih kesakitan dan keluar darah akan dimintakan sembek lagi kepada penjalak.
D. Pantangan

Tidak ada pantangan khusus bagi anak setelah dipotong loloqnya. Orang Bayan sudah cukup percaya dengan kepeng bolong yang digantung di tangan dan kaki sang anak, serta sembek yang dioleskan pada kening sang anak. Hanya sehubungan dengan kesehatan, sang anak tidak diperbolehkan makan telur dan daging ayam, karena akan menyebabkan luka sunatan lama sembuh.

E. Doa-doa

Dalam adat ngitanang, doa dibaca dengan suara lirih oleh penjalak, sesaat sebelum prosesi ngitanang dilaksanakan. Diawali dengan membaca bismilah, solawat sambil mengunyah sirih, penjalak mengucap doa.
Gusti bumi, Bapak bumi, Ibu bumi, yang menguasai alam semesta. Disini kami berkumpul, kami anak-anakmu, mau melaksanakan upacara adat ngitanang, berkah Nabi Ibrahim dan Ismail, semoga menjadi keinginanmu juga. Amin 
Selanjutnya penjalak menjalankan tugasnya. Perlu disebutkan disini, bahwa selama proses ngitanang, beberapa kyai berdo’a dengan membaca lontar yang berisi pujian pada Nabi Muhammad SAW.

F. Nilai-nilai

Adat ngitanang memiliki nilai-nilai yang dianggap penting bagi orang Bayan, antara lain :
  1. Nilai kebersamaan. Nilai ini tercermin dalam proses arak-arakan anak yang dipotong loloqnya. Keluarga dan saudara berbaur dengan masyarakat yang ikut mengarak. Orangtua, saudara bahkan orang lain ikut bergantian memanggul sang anak. Rasa kebersamaan sebagai sebuah keluarga yang saling membutuhkan dalam kehidupan sosial seakan lebur dalam prosesi ini.
  2. Nilai ketaatan pada agama dan adat. Upacara ngitanang merupakan perintah agama Islam sekaligus adat. Dan sebagai masyarakat pemeluk agama Islam dan penjaga adat, upacara ngitanang bagi orang Bayan merupakan ketaatan atas keduanya.
  3. Nilai kebahagiaan. Nilai ini dirasakan oleh para orangtua anak yang ikut ngitanang. Mereka bahagia karena anaknya telah masuk Islam, dengan demikian ngitanang merupakan simbol pengIslaman orang Bayan.
G. Penutup

Ngitanang merupakan upacara agama sekaligus adat bagi orang Bayan. Semoga perpaduan keduanya tetap berjalan dengan harmonis dan mengarahkan kesadaran masyarakat Bayan dan sekitarnya akan keberagaman hidup yang lebih baik.

Referensi
  • Amstrong, Karen. 2001 Perang Suci. Dari Perang Salib sampai Perang Teluk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.          
  • Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak, Wetu Lima versus Wetu Telu. Yogyakarta: Kanisius.
  • Bartolomew, John Ryan. 2001. Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana

(artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)
 
 

Komentar

Postingan Populer