Ranying Hatalla Langit

Kisah tentang Ranying Hatalla diceritakan masyarakat Dayak Ngaju dalam sebuah cara unik yang disebut dengan “tetek tatum” [2] (ratap tangis sejati). Asal usul Ranying Hatalla konon bermula sejak munculnya agama nenek moyang Suku Dayak Ngaju, yaitu agama Kaharingan[3]. 

Asal-usul 

Ranying Hatalla Langit atau Ranying Mahatalla Langit, merupakan sebutan masyarakat Dayak Ngaju kepada Tuhannya, yang berarti Tuhan Yang Maha Esa (http://www.kaskus.us/). Suku Dayak[1] Ngaju (Ot Donum) mayoritas tinggal di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Suku ini konon berasal dari hulu-hulu sungai yang kemudian menyebar menuju ke arah hilir sungai-sungai yang ada di Kalteng (Commmans dalam Maunati, 2006). Suku Dayak Ngaju merupakan Suku Induk dari empat suku besar lainnya, yaitu Suku Ngaju dengan 53 anak Suku, Suku Maayan dengan 8 anak Suku, Suku Lawangan dengan 21 anak Suku dan Suku Dusun dengan 24 anak Suku (Riwut, 1958).

Kisah tentang Ranying Hatalla diceritakan masyarakat Dayak Ngaju dalam sebuah cara unik yang disebut dengan “tetek tatum” [2] (ratap tangis sejati). Asal usul Ranying Hatalla konon bermula sejak munculnya agama nenek moyang Suku Dayak Ngaju, yaitu agama Kaharingan[3]. Agama ini masih dipeluk oleh mayoritas Suku Dayak Ngaju, walaupun sebagian orang Dayak Ngaju pada masa orde baru dipaksa berafiliasi dengan salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha (Maunati, 2006).

Menurut keyakinan orang Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Dalam bahasa Dayak Ngaju sehari-hari kata Kaharingan berarti “hidup” atau “ada dengan sendirinya” (http://www.kaskus.us/). Dalam versi lain, Kaharingan artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit” (http://www.nila-riwut.com/).

Bagi Suku Dayak Ngaju, Ranying Hatalla menempati posisi yang sangat vital dalam pola dan perilaku kehidupan mereka. Ranying Hatalla menjadi dasar relasi antara manusia dengan kehidupan. Sehubungan dengan ini Suku Dayak Ngaju mempunyai istilah Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit (http://www.nila-riwut.com/).

Konsepsi tentang Ranying Hatalla; Tuhan yang Maha Kuasa

Tetek tatum tentang Ranying Hatalla, memiliki banyak versi. Di bawah ini akan disadur dari tulisan Andriani S.Kusni ( http://www.kaskus.us/).

Menurut keyakinan orang Dayak Ngaju, jauh sebelum manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi, sebelum alam semesta diciptakan, bertahtalah Sang Maha Pencipta. Ia adalah Sang Maha Pencipta yang memiliki segala sifat baik dan mulia. Namanya Ranying Pohotara Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan atau Ranying Hatalla.

Ranying Hatalla bertahta di tempat yang disebut Balai Bulau Napatah Intan Balai Intan Napatah Bulau, di sebuah dataran tinggi yang disebut Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit. Dataran tinggi ini dikelilingi perairan yang disebut Tasik Malambung Bulau Laut Bapantang Hintan.

Ranying Hatalla memiliki banyak pembantu. Mereka diciptakan dari cahaya, jauh sebelum alam semesta dan manusia ada. Mereka adalah roh baik yang bertugas mensejahterakan dan menjaga keselamatan dan kemanan suku. Secara umum, para pembantu Ranying Hatalla bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dunia nyata. Mereka mempunyai tempat tinggal dan tugas khusus. Nama-nama para pembantu Ranying Hatalla dan tugas yang diembannya tersebut antara lain:
  • Putir Selung Tamanang dan Raja Angking Langit Penguasa padi dan beras, bertugas membuat tanaman padi tumbuh dengan baik dan menghasilkan beras yang bagus
  • Nyaru Menteng, Nayu dan Pangantoha Penguasa perang, angin, petir, halilintar, dan api. Bertugas menjaga keselamatan serta keamanan suku
  • Janjalung Tatu Riwut dan Gambala Rajan Tanggara  Penguasa mata angin dan bertugas mengendalikan semua arah mata angin
  • Raja Tuntung Tahaseng Bertugas mengatur usia atau nafas kehidupan manusia dengan wewenang dari Ranying Hatalla. Apabila ada manusia meminta umur panjang maka Raja Tuntung Tahaseng akan menjembatani komunikasi antara manusia dengan Ranying Hatalla.
  • Lalu ada Tamanang Tarai Bulan Bertugas merawat harta duniawi, baik yang masih baru maupun yang sudah lama.
  • Raja Sapanipas Bertugas mengamati, memelihara, dan memperbaiki kehidupan manusia yang nasibnya kurang beruntung
  • Raja Mise Andau Pengendali waktu, menghitung, dan memperhatikan waktu siang dan malam bagi kehidupan manusia.
  • Raja Tunggal Sangumang Bertugas membawa rejeki, iman dan kesempurnaan
  • Rawing Tempun Telung Bertugas mengantar roh ke surga
  • Manteri Mama Luhing Bungai, Salutan Raja Nalawang Bulau Bertugas memberi hikmah dan kebijaksanaan
  • Raja Sambang Maut Berkuasa atas maut
Suatu ketika, berangkatlah Ranying Hatalla ke puncak Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit yang terletak di Batang Danum Mendeng Ngatimbang Langit, Guhung Tenjek Nyampalak Hawon. Dalam perjalanan menuju puncak dataran tinggi itu, Ranying Hatalla melihat satu wujud yang mirip dengan diri-Nya. Ketika wujud itu ditanya oleh Ranying Hatalla, dia tak menjawab. Akhirnya wujud itu diberi nama oleh Ranying Hatalla Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan. Penguasa alam bawah yang berada di Papan Malambung Bulau dan bertahta di Laut Bapantan Hintan.”

Setelah sampai di atas Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit, sambil disaksikan oleh Jata Balawang Bulau, Ranying Hatalla berfirman bahwa dirinya akan menciptakan bumi, langit, bulan, bintang, matahari dan segala isinya. Tiga alam dan isinya akan diciptakan melalui delapan kali penciptaan. Ketiga alam itu adalah alam atas, bumi dan isinya, serta alam bawah.

Ranying Hatalla selanjutnya mulai menciptakan bumi dan isinya, dengan berurutan;
  1. Ranying Hatalla melepaskan Sarumpah Bulau (emas) di suatu tempat, dan seketika terdengar petir menggelegar serta kilat sambar-menyambar. Sarumpah Bulau lalu menjelma menjadi naga.
  2. Ranying Hatalla melepaskan Lawung Singkap Antang. Membuka dan meletakkannya di atas badan Naga. Seketika terdengar lagi bunyi gemuruh, petir menggelegar dan kilat sambar-menyambar. Lawung Singkap Antang tiba-tiba menjelma menjadi Petak Sintel Habalambang Tambun, Liang Deret Habangkalan Karangan, yaitu tanah bumi lengkap dengan laut, sungai, danau dan segala isinya juga tumbuh-tumbuhan yang hidup di tanah.
  3. Ranying Hatalla mengambil Pandereh Buno, yaitu sifat mulia-Nya yang maha lurus, maha jujur dan maha adil. Diiringi gemuruh halilintar, Pandereh Buno menjelma menjadi pohon besar yang sangat rimbun dengan buah-buahan yang ranum. Oleh Ranying Hatalla, pohon ini diberi nama Batang Garing atau pohon kehidupan. Batang Garing atau Pohon Kehidupan memiliki buah serta dedaunan yang terbuat dari emas, berlian dan segala jenis permata.
  4. Ranying Hatalla lalu mengambil Peteng Liung Lingkar Tali Wanang. Ini adalah sifat kewibawaan yang Maha Besar dan Maha Agung Ranying Hatalla. Diiringi gemuruh halilintar yang memekakkan telinga. Peteng Liung Lingkar Tali Wanang menjelma menjadi Tambun Hai Nipeng Pulau Pulu.
  5. Pada penciptaan kelima, sebelumnya Ranying Hatalla mengajak Jata makan buah pinang yang telah diciptakan sebelumnya. Saat sedang makan, menggelegarlah petir, dan buah-buah pinang yang dimakan berubah menjadi tiga burung yakni enggang betina, elang dan enggang jantan.
  6. Selanjutnya Ranying Hatalla menciptakan langit, bulan, bintang dan matahari. Langit dibuat tujuh tingkat, di mana masing-masing tingkat memiliki penjaga. Langit ketujuh adalah puncak langit. Tidak ada langit yang lebih tinggi daripada langit ketujuh. Dilangit ketujuh inilah Ranying Hatalla bertahta dengan segala kuasa-Nya.
  7. Setelah langit tercipta, Ranying Hatalla menginginkan hiasan yang indah bagi langit. Agar hiasan langit itu juga berguna bagi manusia, maka Ranying Hatalla menciptakan bintang. Bintang-bintang ini akan membantu manusia saat bekerja di ladang dan saat manusia melakukan perjalanan dengan menjadi penunjuk arah.
  8. Lalu Ranying Hatalla menentukan gelap dan terang. Maka diciptakanlah matahari dan bulan.
Setelah alam semesta lengkap tercipta, Ranying Hatalla berkata pada segala ciptaan-Nya;
“Wahai naga, bumi, air, langit, bulan, bintang, matahari, enggang dan elang. Aku perintahkan kalian menempati tempat kalian masing-masing. Aku adalah Ranying Hatalla, Pencipta, penguasa dan Pemilik kalian. Aku adalah Raja dan Tuhan kalian. Aku adalah Yang Maha Kuasa, awal dan akhir segala kejadian, dan cahaya kemuliaan-Ku yang terang, bersih dan suci, adalah cahaya kehidupan yang kekal abadi, dan Aku sebut ia Hintan Kaharingan.”
Semua yang disebut di atas tunduk dan bersujud dihadapan Ranying Hatalla, serta menyatakan ikrar dan sumpah kesetiaan mereka. Selepas itu, pergilah masing-masing ke tempat yang telah ditentukan Ranying Hatalla.

Selanjutnya Ranying Hatalla ingin menciptakan manusia, penghuni alam semesta. Namun sebelum menciptakan manusia, Ranying Hatalla ingin menciptakan tujuh raja yang akan menjadi sahabat dan membantu-Nya menyebarkan ajaran Ranying Hatalla kepada manusia.
9. Ranying Hatalla mengambil dua sifat lagi dari diri-Nya. Kedua sifat itu adalah Kemuliaan-Nya yang Maha Suci dan Keagungan-Nya yang Maha Mulia. Dengan menyatukan kedua sifat tersebut, terbentuklah Bukit Intan dan Bukit Emas. Masing-masing bukit memiliki cahaya terang yang berpendar lembut dan hangat. Akibat benturan kedua cahaya tersebut, maka lahirlah tujuh raja yang diinginkan Ranying Hatalla. Ketujuh raja tersebut adalah:
  • Raja Mandurut Untun
  • Raja Mandurut Bulau
  • Raja Barakat
  • Raja Angking Penyang
  • Raja Garing hatung
  • Raja Panimbang Darah
  • Raja Tamanang
Setelah ketujuh raja tersebut diciptakan, Ranying Hatalla lalu menyatukan lagi kedua bukit tersebut. Dari penyatuan kedua bukit ini, Ranying Hatalla kelak menciptakan manusia.

Implikasi sosial

Kepercayaan Suku Dayak Ngaju terhadap Ranying Hatalla, berimplikasi terhadap beberapa hal dalam kehidupan mereka, antara lain:

a. Implikasi terhadap konsepsi kosmologi (dunia)

Menurut Suku Dayak Ngaju, dalam kehidupan di dunia ini. Manusia harus menjaga tiga hubungan yang digariskan oleh Ranying Hatalla, yaitu;
  • Hubungan manusia dengan Ranying Hatalla, yang mereka sebut Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit.
  • Hubungan manusia dengan manusia lainnya baik secara kelompok, maupun individu. Dalam hal ini ada dua konsep mereka, yaitu;
  • Hatamuei Lingu Nalata. Artinya saling kenal mengenal, tukar pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong.
  • Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. Artinya berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati oleh Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati kebesaran Tuhan.
  • Hubungan manusia dengan alam semesta. Ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan sempurna adalah manusia. Oleh karena itu manusia wajib menjadi suri tauladan bagi segala mahluk lainnya yang ada di alam semesta. Keajaiban-keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla. Dengan demikian, segala mahluk semakin menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut disembah (http://www.nila-riwut.com/).
b. Implikasi terhadap konsepsi asal usul manusia

Suku Dayak Ngaju merasa diri mereka adalah putra-putri Ranying Hatalla Langit (Tuhan), dengan misi memanusiawikan kehidupan di bumi seperti yang terdapat di negeri (lewu) Ranying Hatalla Langit. Untuk merampungkan misi hidup dan mati ini, nyawa manusia mempunyai arti penting, dan lewu harus dibela dan diselamatkan (http://www.hamline.edu/).

Implikasi terhadap upacara adat lingkaran hidup, antara lain;
  • Upacara tiwah. Adalah proses mengantarkan arwah (liau) ke surga atau Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. Tempat itu berhiaskan emas, permata, dan berlian serta terletak di langit ke tujuh. Dalam ritual tiwah ini, tulang leluhur yang terkubur di dalam tanah diangkat dan dipindahkan ke dalam sandung (bangunan serupa rumah panggung berukuran kecil).Upacara ritual Tiwah berkaitan erat dengan konsep roh atau jiwa yang dipercayai oleh Suku Dayak Ngaju, di mana ketika mereka meninggal maka rohnya akan terbagi menjadi tiga. Pertama, Salumpuk teras liau atau panyalumpuk liau, roh utama yang menghidupkan ini pada saat meninggal dunia langsung kembali ke Ranying Mahatalla Langit. Kedua, liau balawang panjang ganan bereng, roh dalam tubuh yang dalam upacara balian tantulak ambun rutas matei di hantar ke tempat yang bernama lewu balo indu rangkang penyang. Dan ketiga, liau karahang tulang, silu, tuntang balau ( http://matanews.com/).
  • Upacara pernikahan. Bagi Suku Dayak Ngaju, melakukan pernikahan berarti menghormati Ranying Hatalla. Alkisah dahulu kala, di langit ke tujuh, atas perintah Ranying Hatalla, Raja Uju Hakanduang menikahkan Nyai Endas Lisang Tingang dengan Garing Hatungku. Setelah mereka menikah, anak mereka diberi nama Sangumang, maka kemudian mereka dikenal dengan sebutan Indu (Ibu) Sangumang dan Bapa (ayah) Sangumang. Raja Uju Hakanduang berkata bahwa mereka tidak boleh menurunkan keturunan ke bumi apabila tidak mendapatkan berkat dari Ranying Hatalla. Pada saat proses perkawinan dalam Suku Daya Ngaju, keluarga calon mempelai perempuan akan menaburkan beras kuning ke segala arah, dengan maksud Ranying Hatalla turut serta menyaksikan upacara yang tengah berlangsung.
d. Implikasi terhadap sikap pada binatang, antara lain;
  • Buaya sering dianggap sebagai penjelmaan mahluk alam bawah (jata), untuk itu Suku Dayak Ngaju menghormati buaya dengan tidak membunuhnya.
  • Angui (Bunglon) diyakini sebagai perwujudan saudara Ranying Hatalla Langit yang bungsu. Suku Dayak Ngaju juga tidak berani membunuhya.
  • Naga juga dianggap lambang kekuasaan alam bawah (rengan tingang, nyanak jata), Suku Dayak Ngaju sangat menghormati binatang ini.
  • Burung Enggang, adalah burung ciptaan Ranying Hatalla yang penting, untuk itu Suku Dayak Ngaju menghormatinya dengan cara menciptakan tarian burung enggang.
e. Implikasi terhadap sikap pada lingkungan alam dan tumbuhan

Konsepsi kosmologis Suku Dayak Ngaju bahwa manusia dan alam semesta adalah ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan sempurna, menuntut manusia menjadi suri tauladan bagi segala mahluk lainnya yang ada di alam semesta. Keajaiban- keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla. Dengan demikian, segala mahluk semakin menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut disembah (http://www.nila-riwut.com/). Konsepsi ini dalam kehidupan praktis berpengaruh pada perilaku;
  • Dalam bertani atau berladang orang Dayak Ngaju telah mengatur penggarapan lahan dalam satu siklus. Misalnya, sebuah keluarga petani memiliki tiga lahan pertanian masing-masing dengan luas satu hektar. Oleh karena ladang tersebut hanya dipanen sekali dalam setahun, maka mereka menggarap ketiga lahan tersebut secara bergiliran. Dengan demikian, tudingan bahwa perladangan berpindah menjadi penyebab kerusakan hutan merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kearifan tradisional Dayak Ngaju.
  • Dalam mengelola hutan. Sejak dahulu kala, di setiap desa, nenek moyang Dayak Ngaju memelihara suatu kawasan terbatas hutan suaka alam yang disebut “Pahewan”. Dalam pengelolaannya, para tokoh adat memberikan peringatan kepada setiap warga masyarakat, agar tidak menganggu hutan, tumbuh-tumbuhan atau binatang apapun yang terdapat di kawasan Pahewan. Dan yang terpenting adalah masyarakat Dayak Ngaju tidak boleh mengelola melebihi batas pahewan, karena akan mengganggu kelompok masyarakat lain.
f. Implikasi terhadap hukum adat

Dalam semua sendi kehidupan Suku Dayak Ngaju, diatur oleh hukum adat yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla Langit, seperti adat kematian, pernikahan, mengelola lingkungan alam, dan bersikap pada binatang dan tumbuhan. Hukum adat ini diputuskan oleh ketua adat mereka, dan semua masyarakat Dayak Ngaju harus mentaatinya, jika mereka melanggar adat juga memberikan sangsi.

Penutup

Keyakinan Suku Dayak Ngaju akan Tuhannya yang bernama Ranying Hatalla, harus dihormati dan dihargai. Keyakinan ini melahirkan nilai-nilai kehidupan yang dinamis, salah satunya adalah sikap dan perilaku Suku Dayak Ngaju dalam lingkungan alam tempat mereka tinggal. Di tengah berkurangnya lahan hutan hijau di Kalteng, nilai ini penting untuk terus dikaji dan dipahami semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta para pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH), agar pengrusakan hutan Kalimantan tidak semakin parah. 

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur, 1995/1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur. Samarinda; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur
  • Lahajir, Yuvenalis et al, 1993. Gerakan Solidaritas Kebudayaan Dayak Suatu Kebutuhan Mendesak dalam Era pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Makalah dipresentasikan dalam Musyawarah Besar Masyarakat Dayak se-Kalimantan Timur. Samarinda 30 Maret-2 April 1993.
  • Maunati, Yekti. 2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta; LKIS
  • Riwut, 1958. Kalimantan Membangun. Jakarta; Endang
  • Schiller, Anne. 1996. “An ‘Old’ Religion ‘New Order’ Indonnesia: Note on Ethnicity and Religious Afiliation”. Sociology of Religion, 57(4): 409-407.
Catatan kaki:

[1] Istilah “Dayak” secara umum dipahami oleh masyarakat menunjuk pada suku asli yang tinggal di pulau Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995/1996) istilah “Dayak” dipakai pertama kali oleh DR. August Kaderland, seorang peneliti Belanda pada tahun 1895. Sedangkan menurut JJ. Rousseau (dalam Maunati, 2006: 59), istilah ”Dayak” muncul pada akhir abad ke XIX dalam konteks pendudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman kalimantan. Arti kata “Dayak” hingga saat ini masih diperdebatkan, misalnya Yuvenus Lahajir (1993: 3) mencatat setidaknya ada empat istilah yang hampir sama dengan Dayak, yaitu; Daya’, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkungan merekalah yang menyebut “Dayak”.

[2] Tetek Tatum adalah cerita tentang asal-usul nenek moyang, sejarah dan epik kepahlawanan Suku Dayak Ngaju kepada generasi penerus. Cerita berseri ini dilantunkan atau dinyanyikan sebagai pengantar tidur, diiringi dengan alat musik kecapi. Selain itu, juga menjadi salah satu cara untuk membentuk sikap dan perilaku sang anak. (http://id.wikipedia.org/).

[3] Nama Kaharingan mulai dipakai ketika pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helo” (http://www.kaskus.us/). Sejak tahun 1980, pemerintah orde baru memasukkan Kaharingan dalam kategori agama Hindu (Schiller, 1996; 409).

Komentar

Postingan Populer