Laskar Pelangi

Oleh Empuesa

Penulis      : Andrea Hirata
Penyunting : Suhindrati a. Shinta
Penerbit     : Bentang, Yogyakarta
Cetakan     : Kedua puluh, Mei 2008
Tebal         : xviii + 534 halaman
Ukuran       : 20, 5 cm

Laskar Pelangi merupakan salah satu dari empat novel (tetralogi) yang berkisah tentang anak-anak murid sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Gantung di pulau Belitong, Sumatera (saat ini menjadi bagian dari sebuah provinsi yang berdiri sendiri, yaitu Bangka Belitung). Tiga novel lainnya adalah Sang Pemimpi, Edensor, dan Mimpi-mimpi Lintang Maryamah Karpov. Semua novel ini ditulis oleh Andrea Hirata, yaitu orang yang menjadi salah satu pelaku dalam empat novel tersebut.

Novel pertama ini berkisah tentang masa kecil Laskar Pelangi yang terdiri dari Ikal, Arai, Lintang, Harun, Sahara, Kucai, Mahar, Trapani, A Kiong, dan Borek. Kesembilan anggota Laskar Pelangi ini adalah anak-anak kampung yang tak beruntung dalam hidup dan pendidikannya, namun mereka dapat menemukan “diri” dalam ketidakberuntungan itu (hal 63-78). Novel pertama ini juga berkisah tentang awal mula mereka masuk sekolah, guru-guru mereka, kelucuan mereka, mimpi-mimpi, kekonyolan, petualangan dan kisah cinta monyet mereka serta suasana pulau Belitong yang ramai berkat adanya perusahaan timah. Pulau Belitung kala itu memang ramai, namun penduduknya miskin dan pendidikan anak-anak terabaikan.

Secara umum, Laskar Pelangi merupakan dokumentasi nyata yang menggambarkan ketidakadilan pemimpin negeri ini. Novel ini seakan menampar keras para pemimpin negeri kaya ini yang selalu lalai dengan kondisi rakyat yang dipimpinnya. Novel ini merupakan teriakan Andrea bahwa ketidakdilan itu nyata, terstruktur, dan hanya menguntungkan pemilik modal. Lebih penting lagi, novel ini ingin menyatakan bahwa meskipun tidak memakai tembakan, meriam atau bom, namun penjajahan itu masih ada di negeri ini dan penjajahan itu bernama hegemoni dan diskriminasi.

Secara khusus, novel ini ingin menyadarkan dunia pendidikan di Indonesia. Sungguh sangat ironis. Dalam novel ini digambarkan bagaimana pulau Belitung yang kaya dengan tambang timah kala itu, justru memiliki sekolah, yaitu sekolah yang ditempati oleh Laskar Pelangi, yang tak sedikit pun menyimbolkan kekayaan pulau tersebut. Walaupun demikian, sungguh sangat beruntung di pulau itu tinggal anak-anak seperti Laskar Pelangi. Meskipun mereka serba terbatas fasilitas pendidikannya namun mereka masih mempunyai semangat dan mimpi yang dapat mengalahkan anak-anak pegawai perusahaan timah yang memiliki fasilitas pendidikan lebih lengkap.

SD Muhammadiyah Gantong saat itu susah mencari murid, bangunan sekolahnya hampir roboh, buku pelajaran terbatas, seragam sekolah pun tak ada, dan para murid terkadang bersekolah dengan bertelanjang kaki. Para guru yang mengajar hanya digaji berupa beras sebanyak 15 kilogram. Ibu Muslimah, salah satu guru perempuan di sekolah itu, hanya diberi gaji berupa beras 15 kilogram setiap bulan. Padahal dia harus mengajar hampir semua mata pelajaran dan seusai mengajar dia harus menerima jahitan dan bekerja sampai larut malam (hal 30).

Ini berkebalikan sekali dengan sekolah yang dikelola untuk anak para pegawai pabrik timah. Sekolah PN (Perusahaan Negara) namanya. Sekolah ini termasuk di dalam kawasan yang disebut Gedong. Sekolah ini berpagar tembok tinggi. Di setiap tembok tergantung tulisan “Dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”. Para muridnya adalah anak-anak orang kaya pegawai PN Timah yang berbaju bersih, dan bukunya lengkap, dan gaji guru di sekolah itu memadai, bahkan setelah jam sekolah murid-murid itu masih diberi pelajaran ekstra seperti bermain piano.

Novel ini juga merupakan novel yang lucu namun mengandung nilai pelajaran hidup. Suatu ketika Ibu Muslimah menceritakan tentang pentingnya menjadi pemimpin yang sesuai dengan karakter Islam. Bu Muslimah mengutip perkataan Umar Bin Khatab, salah satu pemimpin Islam zaman Nabi: “Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai Amir (pemimpin) dan telah kami tetapkan gajinya untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya adalah penipuan”. Artinya bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggungjawabkan nanti di hari kiamat. Ketika mendengar ini Kucai berteriak.
“Ibunda guru, ibunda mesti tahu kalau kelakuan anak-anak kuli ini seperti setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa. Aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas yang baru. Aku juga tak sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku di padang mahsyar nanti, anak-anak kumal yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku”. Akhirnya pemilihan ulang pun digelar. Namun apa mau dikata, ternyata Kucai terpilih lagi. Hanya dia yang memilih selain dirinya: dia memilih Borek.
Novel ini juga memadukan unsur sastra dan sains. Andrea memahami betul tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu eksakta, seperti bidang fisika, kimia, astronomi juga biologi. Andrea sangat lihai dalam membincangkan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan timah dan unsur-unsurnya, seperti granit, zirconium, silica, senotim, monazite, kaolin, kuarsa, dan topas. Andrea juga memahami sekali kondisi pengolahan timah yang tidak berbanding lurus dengan kondisi kehidupan masyarakat dan pendidikan anak-anak Belitung kala itu (hal 35-55).

Novel ini juga dihiasi dengan drama cinta monyet antara Ikal dengan gadis bernama A Ling. A Ling adalah anak pemilik toko kelontong Sinar Harapan yang bernama A Miauw. Bermula dari keengganan Ikal karena disuruh membeli kapur oleh Bu Muslimah ke kota, tenyata berubah menjadi semangat cinta yang menggelora. Hanya karena ingin melihat jari-jari tangan A Ling, Ikal sering berbohong kepada Bu Muslimah kalau kapur sekolah habis (hal 191-214). Kisah cinta Ikal dan A Ling ternyata juga disinggung pada novel berikutnya.

Membaca novel ini, pembaca akan diajak untuk berselancar ke negeri Belitong masa lalu, negeri yang kaya akan sumber daya alam berupa timah, namun pendidikan anak-anaknya sangat memprihatinkan. Walaupun demikian, keberadaan Laskar Pelangi memberikan keyakinan bahwa untuk menjadi manusia ternyata tidak tergantung pada sesuatu di luar diri sendiri karena sebenarnya kualitas manusia itu tergantung pada diri masing-masing. Dalam konteks ini, novel Laskar Pelangi akan menjadi penuntun untuk memahami kemanusiaan itu sendiri. 

(Resensi ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer