Leluhur Orang Rimba, Jambi

Saat ini mayoritas orang Rimba tinggal di tiga daerah yang terpisah, yaitu sekitar TNBD 30, TNBD 12 (keduanya di wilayah utara Jambi) dan sepanjang jalan lintas Sumatra (wilayah selatan Jambi). Ketiga wilayah ini diyakini Orang Rimba sebagai tempat tinggal leluhur mereka dahulu.

1. Asal-usul 

Jauh di pedalaman hutan Provinsi Jambi (TNBD),[1] terdapat masyarakat yang menamakan dirinya sendiri sebagai Orang Rimba atau Orang Rimbo. Menurut Butet Manurung (2007) sebutan ini disebabkan karena mereka merasa berasal dari rimba dan tidak mau keluar dari rimba serta melakukan kegiatan sehari-hari berdasarkan apa yang diberikan rimba. Ini berbeda dengan sebutan orang di luar hutan yang sering menyebut mereka sebagai Suku Anak Dalam atau Suku Kubu. Istilah Kubu merupakan sebutan yang digunakan para pegawai kolonial yang diikuti oleh sebagian antropolog. Adapun sebutan Suku Anak Dalam merupakan sebutan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial.

Saat ini mayoritas orang Rimba tinggal di tiga daerah yang terpisah, yaitu sekitar TNBD 30, TNBD 12 (keduanya di wilayah utara Jambi) dan sepanjang jalan lintas Sumatra (wilayah selatan Jambi). Ketiga wilayah ini diyakini Orang Rimba sebagai tempat tinggal leluhur mereka dahulu. Di wilayah ini sekarang sedang digalakkan program konversi hutan, salah satunya untuk melindungi keberadaan Orang Rimba (Lucky Ayu Wulandari, 2009).

Menurut Sutomo Muntholib (1995), asal-usul leluhur Orang Rimba dapat ditelusuri dengan dua cara. Pertama, melalui tulisan sejarah yang ada, di mana leluhur Orang Rimba dimasukkan ke dalam golongan Melayu tua (Proto Melayu) dari Yunan (2000 SM). Golongan ini terdesak masuk ke hutan karena kedatangan rombongan Melayu Muda (Deutro Melayu). Kedua, melalui penuturan lisan atau cerita yang berkembang di kalangan Orang Rimba sendiri. Menurut Munawir Muchlas (1975), cerita-cerita tersebut mempunyai banyak versi, antara lain:
  • Versi cerita Sumatra Tengah menyebutkan, leluhur Orang Rimba merupakan satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Mereka hijrah karena terdesak oleh perang ada zaman kesultanan Palembang dan pada masa penjajahan kolonial Belanda (Depsos RI, 1998: 55-56).
  • Versi lain menyebutkan, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam (TNBD), yang di kemudian hari dinamakan Moyang Segayo (http://mamas86.wordpress.com/).
  • Versi Kerajaan Melayu menceritakan tentang tiga bersaudara, yang terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki. Mereka adalah putra-putri bangsawan Kerajaan Melayu semasa pemerintahan Raja Batu. Mereka kabur dari Kerajaan Melayu yang diserbu Kerajaan Sriwijaya, kira-kira sebelum abad ke-15. Rombongan pelarian ini bermaksud ke Batu Sangkar namun tersesat di Air Hitam, kawasan hutan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Di tempat itu mereka berpisah. Kedua saudara laki-laki berangkat pulang, sementara putri sulung menolak. Sang putri berkata, "Biarlah saya mati di hutan ini". Dalam perkembangan lebih lanjut putri ini dianggap sebagai leluhur Orang Rimba sekarang. Mereka menyebutnya “nenek” (Priyono B Sumbogo dalam http://majalah.tempointeraktif.com/).
  • Versi cerita tentang perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904 menyebutkan, saat itu pasukan Jambi dibela oleh pasukan Orang Rimba yang dipimpin oleh Raden Perang. Dalam perang gerilya itu, Orang Rimba terkenal dengan sebutan Orang Kubu, artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda (Munawir Muchlas, 1975).
  • Versi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dengan kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini didengar oleh Raja Pagaruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagaruyung memerintahkan anak beserta pasukannya agar menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam. Anaknya menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang. Namun, karena jarak antara kerajaan Pagaruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh dan hanya ditempuh dengan berjalan kaki selama berhari-hari lamanya, mereka lelah dan persediaan bahan makanan habis. Akhirnya mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri dan hidup di dalam rimba karena mereka malu jika harus kembali ke Pagaruyung. Mereka inilah yang nantinya menamakan diri sebagai Orang Rimba (Muchlas, 1975).
2. Leluhur dalam Pengetahuan Orang Rimba 

Orang Rimba meyakini bahwa leluhur mereka adalah orang yang kuat pendiriannya, gagah berani, rendah hati dan menghormati perempuan. Pandangan ini tercermim dalam cerita tentang Bujang Parantau yang justru diajak menikah oleh seorang putri bernama Puti Selaras Pinang Masak. Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Selaro Pinang Masak (Munawir Muchlas, 1975).

Leluhur Orang Rimba juga diyakini sebagai orang yang sangat menghargai alam sekitar (hutan). Hutan dan Orang Rimba dianggap sebagai dua hal yang berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. Barang siapa merusak hutan berarti merusak kehidupan Orang Rimba sendiri. Aturan-aturan hidup ini telah diwujudkan dalam hukum adat mereka yang berbentuk seloko (mantera) yang selalu dibacakan ketika penyelenggaraan upacara adat atau jika ada seseorang yang melanggar adat. Jika Orang Rimba melanggar hukum adat, maka dia akan mendapat sanksi adat dan kutukan leluhur, seperti yang tercermin dalam seloko berikut ini:
“Di bawah idak berakar, di atai idak bepucuk, kalo di tengah ditebuk kumbang, kalau ke darat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya, secara umum, jika Orang Rimba melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.
Leluhur Orang Rimba dalam pola kehidupannya diyakini persis seperti dalam seloko dibawah ini:
“Bertubuh onggok, berpisang cangko, beratap tikai, berdinding baner, melemak buah betatal, minum air dari bonggol kayu, berkambing kijang, berkerbau tenu, bersapi ruso”. Artinya secara garis besar: Sehari-hari tanpa baju, kecuali cawat untuk menutup kemaluan, rumah beratap rumbia, berdinding kayu, makan buah-buahan dari hutan, minum air sungai dengan bonggol kayu, tidak makan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa (http://www.gp-ansor.org/).
3. Implikasi Sosial 

Pengetahuan orang Rimba tentang leluhur mereka tampak berpengaruh dalam kehidupan sosial mereka, antara lain:
  • Pelaksanaan hukum adat. Leluhur Orang Rimba diyakini telah mewariskan aturan-aturan yang dituangkan dalam hukum adat yang berupa seloko (mantera). Beberapa hukum adat itu antara lain:
  • Laki-laki asing boleh masuk hutan hanya jika dia ditemani Orang rimba. Ketika akan masuk dia harus berteriak terlebih dahulu: Ado jentan kiuna (Ada laki-laki di sana?). Setelah mendapat jawaban, baru dia bisa masuk.
  • Pria yang mandi dilarang bertelanjang bulat, akan tetapi dia harus tetap mengenakan penutup alat vital. Jika melanggar, pelaku akan dihukum dengan membayar denda berupa sejumlah kain.
  • Laki-laki dan perempuan dilarang berduaan. Jika ketahuan, mereka akan dikawinkan paksa, dan sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan sebagai hukuman karena telah mempermalukan orangtua.
  • Pengelolaan sumber daya alam. Leluhur Orang Rimba dikenal sebagai orang yang hidupnya berpindah karena mencari daerah yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang lebih baik serta menjaga keseimbangan alam. Pola ini sampai sekarang masih dilakukan oleh Orang Rimba sebagai ketaatan terhadap adat leluhur. Leluhur Orang Rimba memiliki cara dan istilah tersendiri dalam mengolah hutan, misalnya mereka membedakan antara hutan (rimba), sesap, belukor (belukar), dan benuaron.
  • Sistem kekerabatan. Orang Rimba secara umum menganut sistem kekerabatan matrilineal, sama dengan budaya Minangkabau. Mereka meyakini leluhurnya sangat menghormati kaum perempuan, seperti dalam cerita Putri Selaro Pinang Masak. Bahkan jika terjadi perkawinan antarkelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Sistem kekerabatan ini masih berlaku hingga sekarang dan ini menandakan bahwa Orang Rimba memposisikan perempuan dengan cukup baik.
  • Keyakinan akan rimba sebagai tempat tinggal yang sesuai dengan petuah leluhur. Rimba yang dipilih adalah di Taman Nasional Bukti Dua Belas (TNBD) karena Orang Rimba meyakini bahwa jika tinggal di TNBD mereka akan selalu dilindungi oleh roh leluhur yang tinggal di rimba itu. TNBD merupakan dataran tinggi yang memiliki dua belas undakan, yang melambangkan dua belas tingkatan menuju dewa.
4. Penutup

Walaupun terdapat banyak versi tentang leluhur Orang Rimba, namun satu hal yang perlu diapresiasi bersama adalah bagaimana Orang Rimba menghormati leluhur mereka dengan melaksanakan berbagai upacara adat dan aturan adat yang ada, dengan tujuan menjaga keseimbangan alam. Realitas ini menandakan bahwa ajaran leluhur masih dijaga oleh mereka.

(artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi

  • Tim penelitian Despos RI, 1998, Masyarakat terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani. Jakarta Direktorat Bina Masyarakat Terasing.
  • Munawir Muchlas, 1975, Sedikit tentang kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di Provinsi Jambi. Jambi: Kanwil Depsos Provinsi Jambi.
  • Butet Manurung, 2007. Sokola Rimba. Yogyakarta: Insist Press.
  • Muntholib Soetomo, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi. Bandung: Universitas Padjajaran.
  • Lucky Ayu Wulandari, 2009. Konversi hutan Taman Nasional Bukit 12 menjadi media pendekatan gradual terhadap upaya pengubahan pola hidup Suku Anak Dalam (Suku Kubu) Jambi. Jurusan bahasa Inggris, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi.
  • Dian Prihatini, 2007. Makalah ”kebudayaan Suku Anak Dalam”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
  • Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.
  • http://majalah.tempointeraktif.com/. Judul: Tersesat di rimbo. Diunduh tanggal 10 Januari 2010.
  • http://www.gp-ansor.org/. Judul: Mengunjungi Orang Rimba, Suku Anak Dalam di Jambi. Diunduh tanggal 20 Januari 2010.
  • http://arfaangel.blogspot.com/2008/07/asal-usul-dan-sejarah-suku-anak-
  • http://www.jambiprov.go.id/. Judul: Pemprov. Jambi Tampilkan Sandra Tari Suku Anak Dalam. Diunduh tanggal 10 Januari 2010.
  • http://www.jambiprov.go.id/. Judul: Mengenal Suku Anak Dalam. Diunduh tanggal 20 Januari 2010.

Catatan kaki:

[1] Tempat ini dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Orang Rimba bukit ini memliki 12 undakan. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh leluhur, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan (Kharis Sutarno dalam http://mamas86.wordpress.com/).

Komentar

Postingan Populer