Mangaan Ulun Tinafa: Upacara Musim Tanam dan Panen Orang Simeulue, NAD

Oleh Empuesa

Mangaan Ulun Tinafa adalah upacara adat untuk merayakan musim tanam dan musim panen Orang Simeulue. Oleh orang Aceh umumnya, upacara ini sering disebut dengan Kenduri Blang (kenduri sawah).

1. Asal-usul

Simeulue adalah nama salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam. Secara administratif Kabupaten Simeulue dibagi menjadi delapan kecamatan, yaitu Simeulue Timur, Teupah Barat, Teupah Selatan, Simeulue Tengah, Teluk Dalam, Salang, Alafan, dan Simeulue Barat. Delapan kabupaten tersebut dihuni oleh mayoritas Suku Simeulue dan sebagian suku pendatang seperti Suku Aceh, Minangkabau dan Nias. Masyarakat Simeuleu sehari-hari menggunakan tiga bahasa, yaitu Ulau, bahasa Sibigo, dan bahasa Jamee (Dado Meuraxa, 1956).

Masyarakat Simeulue mempunyai adat dan budaya yang unik. Sebagian dari adat dan budaya tersebut oleh beberapa kelompok masyarakat Simeulue masih dipraktekkan dan dijaga dengan baik. Salah satu kebudayaan tersebut adalah upacara adat Mangaan Ulun Tinafa, yaitu upacara adat untuk merayakan musim tanam dan musim panen. Oleh orang Aceh umumnya, upacara ini sering disebut dengan Kenduri Blang (kenduri sawah). Upacara Mangan Ulun Tinafa sendiri berisi kenduri (selamatan) yang dilaksanakan dalam tiga saat yang berbeda, yaitu saat mulai menanam padi, saat bulir padi berisi, dan saat panen tiba (Rusdi Sufi at al, 2004).

Asal-usul upacara ini adalah keyakinan orang Simeulue terhadap ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa ketika Tuhan (Allah SWT) telah memberikan rejeki yang banyak pada pertanian mereka, maka mereka harus mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Nya. Ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan tersebut mereka wujudkan dalam bentuk upacara, yaitu Mangaan Ulun Tinafa. 
Upacara ini dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh para petani. Namun, dalam persiapannya dibantu oleh saudara dan para tetangga. Untuk memeriahkan upacara ini, biasanya seusai kenduri waktu panen juga digelar berbagai kesenian tradisional, salah satunya adalah kesenian kendang yang dimainkan oleh para anak muda Simeulue. Permainan kendang terdengar merdu dan mendayu dengan iringan nandong, yaitu nyanyian yang berbentuk syair atau puisi dan berisi petuah-petuah adat, syair agama, dan pantun muda-mudi (Rusdi Sufi dan Wibowo, 2004).

2. Peralatan dan Waktu Pelaksanaan

Upacara Mangaan Ulun Tinafa dipimpin oleh Teungku Balee (pemimpin balai pengajian) atau Teungku Meunasah (pemimpin masjid atau pesantren). Upacara ini dilakukan di dua tempat berbeda, yaitu di sawah yang akan ditanami dan di rumah masing-masing petani. Adapun waktunya dibagi dalam tiga saat, yaitu saat mulai menanam padi, saat bulir padi mulai berisi, dan saat panen tiba.

Peralatan yang perlu disediakan dalam upacara ini antara lain:
  • Nasi sedekah
  • Ayam
  • Ubon (pohon pisang emas)
  • Santan
3. Proses Pelaksanaan

Pelaksanaan upacara Mangaan Ulun Tinafa secara umum dibagi dalam dua tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan upacara. Adapun pada tahap pelaksanaan upacara dibagi dalam tiga saat, yaitu saat akan memulai menanam padi, saat bulir padi mulai berisi, dan saat panen tiba.

a. Persiapan

Pada tahap ini para petani yang dibantu tetangga dan saudara mulai mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk upacara. Semua perlengkapan harus disediakan karena jika tidak maka upacara dianggap kurang sakral. Jika semua sudah lengkap maka langsung dilaksanakan upacara sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

b. Pelaksanaan

Saat akan mulai menanam padi

Saat ini adalah saat yang paling berbahagia bagi para petani dan keluarganya. Pagi-pagi sekali keluarga petani sudah mempersiapkan nasi sedekah. Kurang lebih jam 6 pagi, nasi sedekah dibawa ke sawah. Di sana sudah menunggu beberapa petani yang diundang. Upacara dimulai dengan menanam ubon (pohon pisang emas) di dekat sawah yang akan ditanami, kemudian dilanjutkan dengan menyembelih ayam yang telah disiapkan di dekat ubon sambil diiringi bacaan salawat ahai (salawat padi) disambung doa yang dipimpin oleh Teungku Meunasah atau Teungku Balee, dan disaksikan oleh keluarga dan beberapa orang yang diundang. Setelah itu para hadirin secara bersama-sama makan nasi sesaji yang telah disiapkan.

Seusai makan, petani akan langsung berhamburan ke sawah untuk mulai menanam padi. Sedangkan ayam yang disembelih dibawa pulang untuk dimasak dan nantinya akan dimakan keluarga. Upacara ini dilakukan sebagai tanda dimulainya musim tanam.

Saat bulir padi mulai berisi

Ketika melihat bulir padi yang mereka tanam sudah mulai berisi, para petani Simeulue beranggapan bahwa Tuhan telah mengabulkan doa yang mereka panjatkan pada waktu mulai menanam dulu. Maka dari itu tanpa dikomando para petani mulai menyiapkan upacara untuk merayakannya.

Upacara ini diawali dengan menyembelih ayam yang telah disiapkan sebelumnya. Penyembelihan ayam merupakan simbol persembahan kepada Tuhan. Ayam yang disembelih kemudian dibawa pulang untuk dimasak. Seusai menyembelih ayam, Teungku Meunasah atau Balee menaburkan santan ke tanaman padi sambil diringi bacaaan mantera yang berisikan salawat.

Setelah ritual selesai dilaksanakan, diadakan selamatan sederhana dengan hidangan nasi sedekah. Selamatan ini disebut dengan kenduri ureh (menjaga padi). Teungku Meunasah memimpin membaca doa diamini oleh orang yang hadir. Selesai doa dipanjatkan, upacara dilanjutkan dengan makan nasi sedekah bersama-sama.

Saat padi siap dipanen
 
Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh semua petani, termasuk petani Simeulue. Sebelum padi dipanen seluruhnya, setiap petani diwajibkan untuk membawa segenggam padi baru yang diambil dari sawah mereka masing-masing. Padi segenggam tersebut kemudian dibawa pulang untuk dimasak.

Pada malam harinya diadakan kenduri dengan mengundang tetangga dan saudara. Kenduri merupakan sarana petani untuk saling berbagi dengan sanak saudara dan tetangga, dikarenakan pada kenduri ini akan dilaksanakan merompak, yaitu makan nasi baru dari padi yang dipanen. Merompak dilaksanakan secara bergantian di rumah masing-masing petani. Jika tiba saat panen, masyarakat biasanya akan kebanjiran nasi. Hal itu dikarenakan setiap keluarga petani yang mengadakan kenduri akan membawakan nasi untuk dibawa pulang.

Esok harinya biasanya akan digelar kesenian kendang oleh para pemuda. Kesenian kendang akan diiringi dengan nandong, yaitu lantunan nyanyian syair keagamaan, petuah adat dan pantun muda-muda. Momen ini biasanya banyak ditunggu oleh kaum muda karena biasanya mereka memanfaatkannya untuk mencari jodoh diantara sesama penonton atau pelantun nandong.

4. Doa

Setiap pembacaan doa selalu disertai dengan niat. Doa yang dipanjatkan adalah sama, yaitu doa keselamatan, doa kesehatan lahir dan batin, doa perlindungan, dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW, namun niat yang dimaksudkan berbeda-beda. Niat ketika mulai menanam padi dimaksudkan agar padi dapat tumbuh subur dan berisi. Niat waktu bulir padi berisi dihaturkan agar padi tidak diserang hama dan terus berisi hingga panen tiba. Niat ketika panen tiba dihaturkan agar rezeki yang diberikan Tuhan tetap mengalir hingga musim tanam yang akan datang.

5. Pantangan dan Larangan
Tidak ada pantangan atau larangan khusus dalam upacara Mangaan Ulun Tinafa. Akan tetapi para petani selalu dihimbau oleh Teungku Menasah atau Teungku Bale untuk memperbanyak sedekah agar Tuhan tetap memberikan rezeki yang melimpah saat panen kelak. Selain itu, para petani dimohon untuk menjaga tanaman padinya agar tidak terkena hama dan selalu memeriksa airnya agar tanaman tidak mati. Lebih daripada itu semua, agar doanya dikabulkan, para petani dianjurkan untuk ikhlas ketika melaksanakan upacara Mangaan Ulun Tinafa karena jika tidak ikhlas maka apapun yang diniatkan oleh para petani tidak akan terwujud.

6. Nilai-nilai

Bagi orang Simeulue, upacara ini memiliki nilai-nilai tertentu dalam kehidupan mereka, antara lain:
  • Nilai terima kasih kepada Allah SWT. Masyarakat Simeulue mayoritas beragama Islam dan mereka sangat taat dengan ajaran Islam. Ketaatan ini melahirkan sebuah sikap di mana mereka selalu menghubungkan antara peristiwa kehidupan mereka dengan kebesaran Tuhan. Penyelenggaraan upacara Mangaan Ulun Tinafa adalah salah satu contohnya. Para petani Simeulue menganggap bahwa mereka berkewajiban untuk mengungkapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rezeki pertanian mereka. Upacara tersebut harus dilaksanakan karena jika tidak maka mereka menganggap diri mereka tidak bersyukur kepada Tuhan, dan itu akan menyebabkan dicabutnya karunia Tuhan dari kehidupan mereka.
  • Nilai kebersamaan. Nilai ini terlihat dengan jelas pada saat perisiapan upacara ini. Para petani yang dibantu oleh saudara dan tetangga secara bergotong royong menyiapkan segala perlengkapan upacara yang dibutuhkan. Aktivitas ini tentu saja memperkuat rasa kebersamaan mereka dalam mengelola pertanian pada khususnya dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Hal ini terbukti: ketika padi diserang hama tikus, mereka secara bersama-sama mengepung sawah untuk mengusir tikus. Rasa kebersamaan ini lebih terasa ketika masyarakat merayakan Mangaan Ulun Tinafa dengan berjoget bersama mengikuti irama kendang yang dimainkan oleh para pemuda saat merayakan panen. Nilai kebersamaan ini juga melahirkan jejaring sosial para pemuda, yang tidak mustahil berujung pada pernikahan.
  • Nilai spiritual. Nilai ini tercermin dari berbagai doa yang dipersembahkan kepada Allah SWT, yang oleh orang Simeulue dianggap telah memberikan rezeki yang melimpah pada lahan pertanian mereka. Dalam konteks ini Mangaan Ulun Tinafa ternyata tidak hanya sekedar tradisi, tetapi juga merupakan sebuah ruang di mana orang Simeulue dapat mendekatkan diri dengan Tuhan untuk memohon, mengadu dan meminta perlindungan dari segala keburukan dalam hidup mereka.
  • Nilai berbagi kepada sesama. Nilai ini terlihat sekali khususnya pada saat perayaan Mangaan Ulun Tinafa seusai panen, di mana semua petani memasak hasil panen pertama mereka, kemudian secara bergantian mengundang para tetangga dan saudara ke rumah mereka masing-masing untuk makan bersama. Mereka menyebutnya Merompak (makan nasi baru hasil panen). Nuansa berbagi bertambah kental karena mereka yang hadir pada kenduri masih dibungkuskan nasi beserta lauk pauknya untuk dibawa pulang.
7. Penutup

Ketika tsunami menghantam pulau Simeulue pada tahun 2004 yang lalu, ternyata masyarakat Simeulue hanya sedikit yang menjadi korban. Berdasakan cerita masyarakat, hal itu dikarenakan orang Simeulue masih memegang semangat kebersamaan. Antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain masih terjalin ikatan dan rasa tanggung jawab untuk saling mengingatkan jika ada bahaya. Berdasar pengalaman ini, maka upacara Mangaan Ulun Tinafa yang mengandung nilai kebersamaan ini penting untuk terus diapresiasi dan dijaga, mengingat pulau Sumatera umumnya dan Simeulue khususnya rentan dengan bencana alam.
(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Rusdi Sufi at al. 2004. Keanekaragaman suku dan budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
  • Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Ragam sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam.
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.

Komentar

Postingan Populer