Merayakan Keberagaman bersama Gus Dur dan Melayuonline.com

Oleh  Empuesa 

Tepatnya hari Rabu, 30 Desember 2009 lalu, bangsa ini telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seluruh Indonesia, bahkan dunia, larut dalam kesedihan dan berkabung atas meninggalnya Bapak Kyai Abdurrahman (Ad Dakhil) Wahid (Gus Dur), mantan presiden Republik Indonesia keempat, yang lahir di Jombang, Jawa Timur 7 September 1940. 

Gus Dur sebenarnya hanyalah manusia biasa, tanpa mitos keistimewaan apapun di saat kelahirannya. Di keluarga, oleh istri dan anak-anaknya Gus Dur dikenal sebagai bapak yang tidak pernah memaksakan kehendak atau suami yang mau menang sendiri. Dalam sebuah dialog di stasiun televisi swasta, Ibu Shinta Nuriyah (istri Gus Dur) pernah menceritakan bahwa dahulu kalau dirinya sedang capek, Gus Dur yang mencuci pakaian seluruh keluarga.

Pendidikan Gus Dur pun tidak terlalu istimewa. Seorang teman yang mengenal Gus Dur menceritakan, ketika belajar di Mesir, jika Gus Dur tidak suka dengan pelajarannya, dia akan pergi ke perpustakaan atau gedung bioskop untuk menonton film. Walaupun demikian, Gus Dur banyak mendapatkan gelar Doktor Kehormatan atau Doktor Honoris Causa (HC), antara lain di bidang filsafat hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000), bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora dari Sorbonne University, Paris, Prancis (2000), dari Twente University, Belanda (2000), dari Jawaharlal Nehru University, India (2000), dan bidang kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003).

Selama hidupnya, Gus Dur mendapatkan beberapa penghargaan, antara lain penghargaan dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991), penghargaan Ramon Magsaysay Award (Community Leadership) (1993), dan ditahbiskan sebagai Bapak Tionghoa (2004).

Gus Dur mulai diperhitungkan di kancah intelektual maupun politik di Indonesia sudah sejak lama, sebelum dirinya menjadi anggota DPR, melalui tulisan-tulisannya di media massa. Gus Dur dianggap kontroversial dalam ucapan dan tindakannya, seperti satu sisi saat dia menganggap Soeharto musuh, namun pada sisi lain dia justru menemui presiden Soeharto di Cendana. Sebagai pemimpin Islam dia seharusnya setuju ketika BJ Habibie mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI), namun Gus Dur justru mendirikan Forum Demokrasi (ForDem). Gus Dur bahkan menuduh berdirinya ICMI justru akan menyempitkan ruang gerak Islam dalam percaturan kehidupan sosial di Indonesia.

Gus Dur dan Visi Persatuan dalam Keberagaman

Usaha membangun bangsa (nation building) dalam bingkai negara Indonesia yang majemuk dengan beragam adat istiadat dan budaya sebenarnya sudah sejak lama dimulai oleh para founding fathers bangsa ini, seperti Abdul Kahar Mudzakir, Abi Koesnoe Tjokrosoejoso, Wahid Hasyim, Soekarno, Hatta, AA Maramis, A Soebardjo dan M Yamin. Puncaknya adalah penetapan slogan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa ini. Falsafah ini mengajarkan agar seluruh rakyat Indonesia dapat hidup damai berdampingan dengan saudara-saudara mereka yang berbeda agama, suku dan ras. Penetapan Pancasila ini menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah keniscayaan.

Gus Dur adalah salah satu tokoh yang konsisten meneruskan semangat para pendiri bangsa di atas. Sebagai sebuah usaha untuk membangun visi kebangsaan tentang kehidupan yang saling menghargai dan menghormati dalam bingkai persatuan dalam keberagaman dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), Gus Dur telah melakukan langkah-langkah “radikal”, seperti kebijakannya membebaskan kaum Tionghoa melakukan pesta dan upacara, menetapkan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional, membela kaum minoritas seperti kaum Ahmadiyah, dan merehabilitasi nama para tahanan politik.

Di mata Gus Dur, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan jabatan yang berujung pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) harus diberantas. Pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, pencopotan beberapa jenderal dari jabatannya, dan pengubahan Badan Intelejen Negara (BIN) menjadi lembaga sipil adalah perwujudan dari pola pikir ini. Aksi nyata ini jarang ditemukan pada pemimpin-pemimpin setelahnya hingga hari ini.

Menghormati keberagaman adalah keniscayaan dalam konteks ke-Indonesia-an. Hal itu dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis dengan ratusan bahkan ribuan kebudayaan yang berbeda. Realitas Indonesia yang majemuk (plural) menuntut warganya untuk saling menghormati satu sama lain, karena jika tidak demikian maka mustahil NKRI dapat terwujud.

Melayuonline.com dan Semangat Persatuan dalam Keberagaman

Walaupun hanya ditujukan untuk bangsa Melayu, dalam konteks kehidupan berbangsa, Melayuonline.com dan Gus Dur berada dalam satu simpul yang sama, yaitu mencoba membangun masyarakat yang demokratis dan saling menghormati dan menghargai di bumi Indonesia yang majemuk (plural). Melayuonline.com menyambut visi ini dengan membuat media online untuk menjembatani sekat-sekat antarpuak bangsa Melayu yang selama ini dianggap membelenggu.

Melayuonline.com adalah sebuah situs yang berusaha menggali, mengkaji, melestarikan, mengembangkan, dan mempublikasikan budaya Melayu. Dalam alu-aluannya, pemimpin Melayuonline.com Mahyudin Al Mudra menyatakan, tujuan besar MelayuOnline.com adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat Melayu sedunia serta menyatukan mereka secara kultural dengan dilandasi pengetahuan dan kesadaran akan kesamaan sejarah dan budaya. 
Pemimpin melayuonline.com melihat, perbedaan ciri-ciri kebudayaan Melayu merupakan sumber pembelajaran untuk menerima perbedaan-perbedaan itu sendiri, yang jika diinternalisasi dengan baik akan mengantarkan pada pemahaman bahwa perbedaan-perbedaan itu semata-mata merupakan variasi kebudayaan yang memperkaya lingkungan sosial. Oleh karena itu, MelayuOnline.com mengusung pemahaman “Melayu Baru” berlandaskan pada paradigma holistik, yaitu paradigma inklusif yang melihat realitas Melayu dan kemelayuan dari berbagai macam perspektif, serta mendukung pengembangan kebudayaan Melayu dalam bingkai keberagaman dalam persatuan (diversity in unity).

Secara umum, identitas bangsa Melayu hingga saat ini ditopang oleh lima fase sejarah, yaitu fase Pra Hindu-Budha, fase Hindu –Budha, fase Islam, fase Kolonial, dan fase pasca kolonialis. Panjangnya fase ini menyebabkan tingkat pengaruh budaya berbeda-beda antara orang Melayu satu dengan lainnya (Mudra, 2008). Berdasar realitas di atas, Melayu dan ke-Melayu-an telah mengalami deteritorialisasi (Abdullah, 2006). Melayu dan ke-Melayu-an adalah konsep imajinatif (Anderson, 1983). Melayu adalah bangsa di mana pun mereka berada, yang pernah atau masih mempraktekkan budaya Melayu tanpa dibatasi oleh sekat-sekat baik agama, ras, bahasa, geografi, apalagi afiliasi politik (Mudra, 2008: 5).

Walaupun di ruang yang berbeda, namun apa yang dilakukan Gus Dur dan Melayuonline.com adalah sama-sama ingin membangun masyarakat yang menghargai perbedaan. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada (baca: utopis), karena bagaimanapun perbedaan harus terus dipahami dan diterima, demi kemanusiaan itu sendiri.
Apa tanda Melayu berbangsa, arif menyimak peredaran masa
Apa tanda Melayu berakal, tahu bersiap mencari bekal
 (Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)



Komentar

Postingan Populer