366 Cerita Rakyat Nusantara

Oleh Empuesa

Judul          : 366 Cerita Rakyat Nusantara
Penulis     : Tim Adicita dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM)
Penyunting : Mahyudin Al Mudra et al
Penerbit     : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Cetakan     : Pertama, Maret 2008
Tebal        : 991 halaman

Pada zaman dahulu ketika manusia di nusantara ini masih sulit menularkan informasi dengan cepat seperti sekarang, mereka menciptakan sebuah seni bertutur yang menarik, yaitu mendongeng. Dongeng berisi tentang berbagai peristiwa yang mereka alami maupun mereka dapatkan dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Dongeng inilah yang pada perkembangan selanjutnya oleh orang modern disebut cerita rakyat, dan dalam kajian ilmiah disebut mitos. Cerita rakyat berisi tentang sejarah kehidupan manusia dengan berbagai ekspresi kehidupan. Ada sedih, gelak tawa, cinta, kebencian, kebohongan, perselingkuhan, pembunuhan, pemberontakan, pertumpahan darah dan persahabatan. Cerita rakyat jika diceritakan akan berujung dengan cerita yang tiada akhir dan banyak makna. Itulah esensi dari cerita.

Satu hal yang lebih penting dipahami dari cerita rakyat adalah orang yang bercerita. Cerita rakyat adalah barang “mati”, menjadi “hidup” karena “dihidupkan” oleh pencerita. Cerita rakyat adalah realitas yang “diciptakan” oleh pencerita. Maka sebenarnya orang bukan menuliskan atau menceritakan realitas, akan tetapi mencipta realitas baru. Begitu kata Derrida. Dari sinilah cerita rakyat di tangan pencerita mempunyai fungsi yang beragam.

Cerita memiliki fungsi yang beragam jika diceritakan, seperti fungsi pendidikan, kajian ilmiah, hanya sekedar pengantar tidur, rileksasi, humor, atau alat legitimasi kekuasaan. Hal itu tergantung kepada apa tujuan dari si pencerita. Hal itu tergantung niat si pencerita. Namun terlepas dari apapun tujuan pencerita, cerita sebagai sebuah realitas perlu untuk dipahami agar dapat diketahui apa maksud sesuatu di balik cerita tersebut.

Cerita dapat berfungsi sebagai alat pendidikan. Melalui cerita para orangtua dari zaman dahulu hingga sekarang berusaha mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya memahami hidup dan kehidupan. Dalam kisah cerita rakyat nusantara tersebutlah cerita tentang Malin Kundang (hal 267). Kisah ini mengajarkan agar anak tidak durhaka terhadap orangtua. Kemudian ada juga kisah tentang bawang merah bawang putih (hal 368), konon kisah ini mengajarkan bahwa kebaikan dimanapun akan selalu mengalahkan keburukan.

Cerita juga berfungsi sebagai alat politik. Kisah-kisah heroik dan supranatural menjadi modal efektif bagi para penguasa dahulu untuk menancapkan legitimasi kekuasaannya. Cerita itu dimodifikasi dengan sedemikian rupa kemudian dihubungkan dengan kekuasaannya. Kisah tentang Nyai Roro Kidul konon sangat berkait erat dengan kekuasaan Sultan Mataram yang bersekutu dengan Ratu Kidul, makluk gaib penguasa pantai selatan Jawa. Persekutuan tersebut melahirkan sebuah kekuasaan Raja Mataram yang dapat menguasai alam nyata dan alam gaib. Dengan legitimasi seperti ini tentu rakyat akan takut melawan Sultan.

Di Romawi tersebutlah kisah tentang cawan suci. Cawan suci adalah sebuah cawan berisi minyak suci yang biasa dipakai oleh Yesus Kristus melumuri tubuhnya. Konon Yesus memilih Raja dan rakyat Romawi untuk diwarisi cawan suci tersebut. Hitler dengan kekuasaanya waktu itu dan keinginannya untuk menciptakan ras Arya (Jerman) lebih tinggi dari segala ras di dunia memerintahkan seorang Yahudi bernama Otto Rahn untuk mengubah cerita tentang cawan suci tersebut. Hitler menginginkan bahwa cawan suci tersebut sebenarnya diwariskan kepada orang Jerman.

Cerita juga dapat berfungsi sebagai alat kajian ilmiah. Lewat pengumpulan cerita yang berjumlah kurang lebih 600 mitos yang ada di Suku Trobriand, Levis Strauss konon menjadi Antropolog pertama yang menemukan bahwa mitos merupakan memori kolektif sebuah masyarakat yang dapat mengambarkan situasi diri dan kondisi masyarakat lampau. Sejak ada tulisan Levis Strauss tersbut mitos tidak lagi ada di “pinggir” kajian ilmiah, akan tetapi justru menjadi lapangan kajian ilmiah baru. Mitos menjadi ruang ”kuasa kata” baru bagi para akademisi.

Lalu ketika negeri ini sudah dipenuhi dengan berbagai produk elektronik seperti televisi, internet, dan hanphone, di mana anak-anak kecil sudah dapat mengakses dengan mudah (bahkan difasilitasi oleh orangtua mereka), masih pentingkah cerita rakyat untuk mendidik anak? Bukankah sekarang merupakan abad virtual, sehingga bercerita dengan cara manual, yaitu dengan membuka buku cerita lalu membacakan kepada anak dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak efektif?

Tidak. Cerita rakyat masih sangat penting untuk diceritakan secara manual di era modern ini karena bercerita dengan cara manual memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri dibandingkan dengan hanya sekedar menonton cerita atau film di televisi atau internet. Bercerita dengan cara manual tidak hanya dapat dilakukan dengan membacakan cerita saja, tetapi juga dapat diiringi dengan ekspresi gerak tubuh, mimik atau penyertaan media properti. Bagi pencerita manual, ekspresi gerak tubuh, mimik maupun media properti memiliki sensasi tersendiri dan memudahkan. Bagi anak-anak yang mendengarkan, cerita menjadi mudah untuk dipahami. Cerita menjadi meida hiburan dan tidak membosankan untuk dinikmati.

Sekarang ini banyak orangtua, pendidik, akademis dan para ahli media yang mulai menyadari efek negatif dari media elektronik seperti televisi, hanphone, dan internet. Media-media elektronik modern ini selain memudahkan ternyata juga dapat menjerumuskan anak-anak ke dalam situasi yang membahayakan. Beberapa tahun yang lalu masyarakat dikejutkan oleh seorang anak yang menendang temannya hingga tulangnya patah karena terinspirasi dari acara gulat smack down ala Amerika. Banyak pula anak-anak sekolah yang masuk dalam geng remaja yang merusak. Sebagian dari anak-anak juga terjerumus ikut mempraktekkan film porno yang “dicuri” dari internet, tidak sedikit pula yang tergoda untuk memperkosa. Baru-baru ini seorang remaja putri di Tangerang pergi dengan laki-laki yang diduga pacarnya dan tidak pulang selama beberapa hari selepas janjian lewat facebook di internet.

Dalam kondisi seperti ini, bercerita dengan cara manual penting untuk digalakkan kembali. Model bercerita secara manual dapat dijadikan alat resisten (perlawanan) terhadap perkembangan media elektronik yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan perilaku dan jiwa anak-anak dan remaja. Perlawanan ini menjadi tugas bersama baik pemerintah, orangtua dan para pendidik.

Buku 366 cerita rakyat nusantara ini tampaknya menemukan momennya. Buku ini dihadirkan untuk merespon masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan media elektronik yang semakin memprihatinkan. Bagi para orangtua dan pendidik sangat penting untuk membaca dan memiliki buku ini. Melalui buku ini, para orangtua dan para pendidik tidak perlu lagi kesusahan untuk mencari tema apa yang akan diceritakan, karena jika satu tahun berjumlah 366 hari maka setiap hari para orangtua dan pendidik dapat bercerita satu tema cerita rakyat dari seluruh nusantara.

(Resensi ini pernah dimuat di www.melayuonlien.com)

Komentar

Postingan Populer