Halo Nio Halo Dewa

Dunia dalam pengetahuan orang Rimba adalah arena kehidupan yang harus dijaga keberadaannya karena sudah dititahkan oleh dewa mereka. Dunia diyakini terdiri dari dua bagian besar, yaitu Halo Nio (dunia Nyata) dan Halo Dewa (dunia dewa/dunia setelah mati).

Asal-usul

Orang Rimba merupakan sebutan lain untuk Suku Kubu atau Suku Anak Dalam yang tinggal di pedalaman rimba di Provinsi Jambi. Istilah ”Orang Rimba” dianggap oleh Orang Rimba sendiri lebih sesuai dengan kehidupan mereka yang tinggal di rimba dan ”tidak mau” keluar dari hutan. Ketidakmauan mereka keluar dari hutan ini berkaitan erat dengan pandangan dunia mereka yang menganggap bahwa hutan adalah tempat hidup dan rumah mereka sejak dulu (Butet Manurung, 2007).

Saat ini mayoritas Orang Rimba menghuni tiga daerah terpisah di sekitar Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD) Provinsi Jambi, yaitu sekitar TNBD 30, TNBD 12 (keduanya di wilayah utara Jambi) dan sepanjang jalan lintas Sumatra (wilayah selatan Jambi). Ketiga wilayah ini diyakini Orang Rimba sebagai tempat tinggal leluhur mereka dahulu. Di wilayah ini sekarang sedang digalakkan program konversi hutan, salah satunya untuk melindungi keberadaan Orang Rimba (Lucky Ayu Wulandari, 2009).

Orang Rimba memiliki kehidupan yang unik dan menarik untuk dikaji. Oleh leluhurnya mereka diwariskan sebuah pengetahuan tentang dunia yang sangat sesuai dan berperan penting dalam pengelolaan hutan tempat mereka tinggal. Dalam pandangan mereka, dunia adalah arena kehidupan yang harus dijaga keberadaannya karena sudah dititahkan oleh dewa mereka. Dunia diyakini terdiri dari dua bagian besar, yaitu Halo Nio (dunia Nyata) dan Halo Dewa (dunia dewa/dunia setelah mati). Setiap Orang Rimba akan merasakan hidup di kedua alam ini. Untuk itu mereka harus menyiapkan bekal dengan baik ketika hidup di alam nyata, agar kelak mendapat balasan yang setimpal dari dewa di dunia setelah mati.

Orang Rimba sejak awal mula diciptakan telah dibekali pengetahuan tentang aturan-aturan oleh dewa yang menguasai alam. Agar dapat menjalani hidup dengan baik, aturan tersebut harus ditaati oleh semua Orang Rimba, karena jika dilanggar akan mengakibatkan turunnya kutukan dari dewa, yaitu berupa bencana alam atau kesulitan makanan (Muntholib Soetomo, 1995).

Dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan di atas turut mempengaruhi pola hidup Orang Rimba, khususnya dalam mengelola alam sekitar. Orang Rimba sangat menghargai dan terikat dengan lingkungan sekitar (hutan). Mereka makan dan minum dari apa yang disediakan di hutan. Bagi Orang Rimba, hutan merupakan bagian dari hidup mereka yang harus dilindungi. Mereka mempunyai semboyan, hutan adalah kehidupan dan kehidupan adalah hutan. Keduanya berjalan seiring dan mereka tidak pernah menginginkan untuk hidup di luar hutan karena hutan dirasakan sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka (Wulandari, 2009).

Konsep Halo Nio Halo Dewa

Dalam pengetahuan Orang Rimba, dunia dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu Halo Nio (dunia nyata) dan Halo Dewa atau Dewo (dunia dewa). Di Halo Nio, Orang Rimba harus berbuat baik karena perbuatan baik di dunia nyata itu akan mendapatkan balasan yang baik juga kelak di dunia dewa. Begitu pula sebaliknya, perbuatan buruk di dunia nyata akan mendapat balasan yang buruk ula kelak di dunia dewa. Untuk itu, dalam kehidupan di dunia nyata, sesama Orang Rimba dituntut untuk saling mengasihi. Orang Rimba juga diharuskan untuk menghormati makhluk hidup yang ada di rimba, baik hewan, tumbuhan maupun makhluk hidup yang tidak terlihat.

Adapun dalam menyikapi terhadap Halo Dewa, Orang Rimba dituntut untuk selalu mentaati aturan dewa. Mereka meyakini bahwa dewa mereka tidak dapat dilihat, akan tetapi dapat didengar sebagaimana bunyi alam yang keras seperti kicau burung. Dewa dianggap sangat berkuasa dalam segala kehidupan Orang Rimba. Untuk itu ketaatan terhadap dewa adalah hal mutlak, agar kehidupan mereka di Halo Nio sesuai dengan ketentuan aturan di Halo Dewa (Soetomo, 1995).

Kedua dunia di atas dianggap oleh Orang Rimba sebagai dunia yang harus dihormati dan dijalani sesuai aturan dewa. Pelanggaran terhadap aturan dewa akan mengakibatkan ketidakharmonisan hubungan kedua dunia tersebut. Maka dari itu salah satu upaya menghindari hal tersebut adalah Orang Rimba membuat upacara adat seperti upacara Besale (upacara penyembuhan). Hingga sekarang upacara adat menjadi bagian penting dalam kehidupan Orang Rimba dalam mengelola hutan di TNBD (Wulandari, 2009).

Dalam menyikapi kehidupan nyata, Orang Rimba juga membagi dunia nyata menjadi dua bagian, yaitu dunia orang Rimba dan dunia luar yang ditempati oleh orang Melayu atau orang Terang. Bagi Orang Rimba, orang Melayu dianggap berbeda karena tinggal di perkampungan dan memelihara ternak yang dilarang untuk Orang Rimba. Orang Rimba memang tidak tinggal di dalam rumah atau menetap dalam perkampungan, karena mereka menganut pola hidup berpindah dan membuat rumah bertiang kayu dan beratap daun yang bersifat sementara.

Orang Rimba juga meyakini bahwa tumbuhan, pohon, buah, sungai, dan hutan tertentu harus dihormati secara khusus, karena dijaga oleh dewa-dewa kebaikan dan keburukan. Sebagai contoh dewa yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai dewa yang bermanfaat, sementara dewa yang tinggal di hilir sungai dianggap sebagai dewa pembawa hal-hal yang buruk seperti penyakit cacar. Maka dari itu Orang Rimba sering melakukan ritual untuk menghormati kedua dewa tersebut. Kepada dewa kebaikan, mereka berharap agar memberikan limpahan kebaikan, dan kepada dewa keburukan agar dijauhkan dari malapetaka yang ada.

Pengaruh Sosial

Pengetahuan Orang Rimba tentang dunia di atas ternyata berbekas pada perilaku Orang Rimba dan menjadi landasan mereka dalam menjalani kehidupan. Beberapa aktivitas kehidupan mereka terlihat dipengaruhi oleh pengetahuan tersebut, antara lain:
  • Upacara Besale, yaitu upacara penyembuhan dan permohonan kepada dewa-dewa yang ada di hutan agar menyembuhkan penyakit mereka dan selanjutnya melindungi mereka dari berbagai penyakit yang ada. Upacara Besale dilakukan untuk menjaga hubungan baik antara manusia dengan dewa-dewa sehingga mendapat kebaikan ketika menjalani kehidupan. Bagi Orang Rimba, jika tidak melaksanakan upacara Desale, maka dewa penunggu alam itu akan marah dan kehidupan mereka akan terancam.
  • Seloko, yaitu mantera yang diyakini sebagai Sumpah Dewo Tunggal yang berpengaruh dalam kehidupan nyata. Seloko itu berbunyi:“Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah dan berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu”. Arti secara umum seloko di atas adalah: Orang Rimba dilarang untuk berkampung dan membangun rumah dengan beratap seng, akan tetapi harus membangun rumah dengan bahan dari daun dan kayu hutan. Orang Rimba tidak boleh berternak karena mereka telah memiliki kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, dan rusa. Mereka juga telah memiliki babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.
  • Upacara adat saat melahirkan anak. Kelahiran merupakan peristiwa sakral bagi Orang Rimba karena kelahiran anak dianggap sebagai kelahiran dunia. Untuk itu pada saat kelahiran anak mereka harus dilaksanakan upacara adat agar sang anak dapat menjalani kehidupan di dunia nyata dengan baik, serta mentaati aturan dewa sehingga mendapatkan balasan yang baik kelak di dunia dewa. Pada upacara ini, biasanya Orang Rimba akan menyiapkan sesaji berupa buah-buah untuk menyenangkan dewa-dewa yang melindungi alam.
  • Upacara adat pernikahan. Seperti halnya pada peristiwa kelahiran, pernikahan juga dianggap sebagai peristiwa sakral oleh Orang Rimba, karena pernikahan dianggap sebagai awal mula manusia Rimba akan merasakan hidup yang baru, mempunyai tanggung jawab baru sebagai orangtua, dan melindungi keluarga. Pada upacara ini, biasanya Orang Rimba akan membangun bangsal (rumah) di tengah hutan, membuat sesaji berupa hasil kebun untuk menghormati dewa-dewa yang diyakini telah menjaga melindungi hidup mereka sehingga dapat melaksanakan pernikahan.
  • Upacara adat pembersihan diri. Ritual ini dianggap penting oleh Orang Rimba karena akan mengembalikan seseorang menjadi bersih kembali, sehingga siap menjalani kehidupan di dunia nyata dan dunia dewa sesuai dengan aturan dewa. Pada saat upacara dilaksanakan biasanya peserta upacara tidak boleh makan makanan yang tabu seperti kambing, ayam, bebek, sapi dan telur. Peserta upacara juga tidak diperbolehkan memakai harum-haruman karena dianggap menghina dewa-dewa mereka. Jika aturan ini dilanggar upacara dianggap gagal dan harus diulang.
  • Pengelolaan sumber daya hutan. Pengetahuan Orang Rimba tentang dunia ternyata melahirkan beragam aturan dalam pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan hutan merupakan rumah mereka, ruang (di dunia nyata) di mana mereka harus menjalani kehidupan dengan aturan dewa agar mendapatkan balasan yang baik di dunia tidak nyata kelak. Jika hutan rusak, maka rusaklah kehidupan mereka. Untuk itu mereka mengenal dan membedakan istilah-istilah seperti hutan, sesap, belukor, dan benuaron agar tanah tempat tinggal mereka dapat dikelola dengan baik.
  • Hutan atau rimba, yaitu daerah yang dapat diolah sebagai ladang untuk menyiapkan makanan pokok seperti ubi kayu, padi, dan ubi jalar.
  • Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan tetapi masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Biasanya mereka akan menanami buah-buahan di tanah ini.
  • Belukor adalah ladang yang tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih berupa tanah yang dipenuhi oleh buah-buahan dan berbagai tumbuhan liar seperti durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu kruing, kedundung, pulai, kayu kawon), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jenang.
  • Benuaron adalah tanah yang dibiarkan untuk tumbuhnya buah-buahan dan kayu yang bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil). Seiring berjalannya waktu, di saat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
  • Tanah peranok-on merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaannya karena merupakan tempat yang disakralkan karena dijadikan sebagai tanah yang dikhususkan untuk tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi.
Penutup

Seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media masa, kondisi hutan di Indonesia saat ini sangat kritis akibat pembalakan liar dan salah kelola yang berujung pada salah kebijakan dari pemangku kekuasaan. Jika mencermati pengetahuan Orang Rimba tentang dunia di atas, dalam mengelola hutan khususnya dan tentang pengelolaan sumber daya alam, maka terlihat jelas kearifan lokal mereka. Berdasar realitas ini, tentunya program pemberdayaan masyarakat atau pemberian Hak Penguasaan Hutan (HPH) hendaknya mempertimbangkan kearifan lokal ini, karena jika tidak maka keberadaan Orang Rimba lambat laun akan terancam punah dan hutan Indonesia akan semakin kritis. Untuk itu semua pihak baik di pusat maupun daerah, sangat penting untuk melakukan kajian yang seimbang terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan dalam mengelola hutan Jambi.

(artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Butet Manurung, 2007. Sokola Rimba. Yogyakarta: Insist Press.
  • Dian Prihatini, 2007. Makalah ”kebudayaan Suku Anak Dalam”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
  • Lucky Ayu Wulandari, 2009. Konversi hutan Taman Nasional Bukit 12 menjadi media pendekatan gradual terhadap upaya pengubahan pola hidup Suku Anak Dalam (Suku Kubu) Jambi. Jurusan bahasa Inggris, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi.
  • Munawir Muchlas, 1975. Sedikit tentang kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Jambi: Kanwil Depsos Provinsi Jambi.
  • Muntholib Soetomo, 1995. Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal Provinsi Jambi. Bandung: Universitas Padjajaran.
  • Tim penelitian Despos RI, 1998. Masyarakat terasing Suku Anak Dalam di Dusun Solea dan Melinani. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing.
  • http://www.mapalaui.info/. Judul: Orang Rimba, masyarakat terasing yang semakin termarginalisasi. Diunduh tanggal 8 Januari 2010.
  • · http://www.acicis.murdoch.edu.au/. Judul: Organisasi sosial dan kebudayaan kelompok minoritas Indonesia Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden. Diunduh tanggal 8 Januari 2010.
  • http://www.indosiar.com/. Judul: Fokus, Suku Anak Dalam. Diunduh tanggal 10 Januari 2010.
  • http://mamas86.wordpress.com/. Judul: Suku Anak Dalam Jambi (Suku Kubu). Diunduh tanggal 12 Januari 2010.
  • http://www.jambiprov.go.id/. Judul: Mengenal Suku Anak Dalam. Diunduh tanggal 20 Januari 2010.






















Komentar

Postingan Populer