Kincir Air Tradisional: Alat Irigasi Sawah di Jambi

Kincir air adalah sebuah alat irigasi untuk mengalirkan air ke sawah. Alat ini berputar pada sumbunya karena didorong oleh air sungai atau air dari bukit yang dibendung. Di Jambi, kincir air digunakan untuk mengairi sawah irigasi, yaitu sawah yang tidak mengandalkan air hujan (tadah hujan) atau yang tidak mempunyai sumber air yang dialirkan lewat parit. Kincir air tradisional yang terbuat dari bahan kayu lebih murah biayanya, sederhana pembuatannya, dan ramah lingkungan daripada kincir air modern.

1. Asal-usul

Umumnya para petani Jambi akan membuat atau memperbaiki parit sebagai saluran air untuk mengairi sawahnya. Air parit berasal dari mata air atau dari sungai. Namun apabila tidak terdapat mata air dan terkadang sungai kering, mereka terpaksa mengalirkan air melalui air sungai yang ditampung kemudian dialirkan dengan menggunakan kincir air. Jambi adalah sebuah provinsi yang terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera berhadapan dengan Laut Cina Selatan dan Selat Karimata.

Secara geografis Provinsi Jambi banyak berupa tanah, baik berupa tanah hutan maupun tanah persawahan. Dengan demikian mayoritas masyarakat Jambi bermata pencaharian sebagai petani. Tidak heran jika kehidupan petani Jambi meninggalkan jejak-jejak budaya berupa alat-alat pertanian tradisional yang cukup unik, salah satunya adalah kincir air. Sayangnya alat ini sudah jarang ditemui di perdesaan Jambi, padahal alat ini cukup efektif untuk menyiasati musim kemarau yang identik dengan kekurangan air sehingga mengganggu petani dalam mengairi sawahnya.

Dalam mengolah sawah irigasi di Jambi, ada berbagai macam aktivitas yang dilakukan petani, yaitu membabat rumput dan jerami, mencangkul dan membajak, mencindang tanah atau membalikkan tanah, membabat pematang, dan menghaluskan tanah. Pada sawah irigasi, untuk melakukan aktivitas di atas para petani memerlukan sistem irigasi yang baik, jika tidak ingin kesulitan mengolah tanahnya. Dalam konteks ini, peran kincir air sangat vital karena tanah yang keras akan sulit diolah tanpa adanya air yang cukup sehingga tanah mudah untuk dicangkul (Ibrahim Budjang et al., 1990).

Kincir air adalah sebuah alat yang terbuat dari kayu dan dipola seperti kipas, berbentuk bulat di mana bagian tengahnya diberi tuas sebagai poros sehingga dapat berputar ketika kincir mengenai air. Maka dari itu alat ini disebut kincir air. Berbeda dengan kincir angin yang digerakkan oleh tiupan angin, kincir air berfungsi untuk mengalirkan air dari sungai atau tebing ke sawah. Kincir air dipakai di daerah persawahan yang memakai sistem irigasi, yaitu sawah yang tidak mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan).

Dalam perkembangannya, tercipta dua model kincir air, yaitu kincir air tradisional dan kincir air modern. Keduanya sama-sama untuk mengalirkan air, namun perbedaannya hanya terdapat pada bahan yang digunakan untuk membuatnya. Kincir air tradisional umumnya berbahan kayu dan bambu, sedangkan kincir air modern berbahan besi dan plastik (pipa paralon). Adapun efektivitas dalam menghasilkan debit air dan ketahanannya, keduanya sama-sama relatif. Hal itu tergantung pada proses pemeliharaan kincir air tersebut.

2. Bahan yang Digunakan

Jika dilihat sepintas, kincir air memiliki bentuk yang sederhana dengan bahan-bahan yang mudah ditemukan di hutan Jambi. Kincir air tradisional terbentuk dari beberapa komponen, yaitu:
  • Kincir
  • Peraku (menara air)
  • Besut (pembuluh air)
  • Empangan (penampung air)
  • Peluang kincir (jalan air)
Adapun bahan yang diperlukan untuk membuat kincir air tradisional antara lain:
  • Bambu
  • Batang kayu nyiur
  • Rotan
  • Batu sungai
  • Pasir
3. Proses Pembuatan

Kincir air yang biasa dipakai oleh para petani Jambi tergolong sebagai alat tradisional. Maka dari itu cara pembuatannya juga cukup sederhana namun memerlukan ketelitian. Kesalahan dalam mengikat baling-baling dan bambu akan menyebabkan pergerakan air tidak lancar karena kincir tidak dapat berputar secara seimbang.

Setelah semua bahan disiapkan, maka hal pertama yang perlu dilakukan dalam membuat kincir adalah memotong batang nyiur sejumlah 48 hingga 56 batang (ukuran disesuaikan dengan kebutuhan). Selanjutnya dipasang baling-baling yang sebelumnya sudah dilubangi sebanyak 24 hingga 28 lubang berukuran 6 x 4 cm (ukuran disesuaikan dengan kebutuhan). Baling-baling dirangkai seperti bentuk kipas dan diikat kuat-kuat dengan rotan yang sudah dibelah.

Setelah baling-baling selesai dirangkai, langkah selanjutnya adalah membuat peraku (menara air) yang dimulai dengan menyiapkan sebatang kayu, kemudian membuat rakuk (pahat) di badan kayu sepanjang 30 cm. Peraku dibentuk lebar pada bagian atasnya dan kecil bagian bawahnya. Tujuannya agar air cepat tumpah dan mengalir ke bawah.

Selanjutnya bambu dipotong untuk dijadikan peluang kincir (jalan air). Untuk menghindari bambu agar tidak cepat keropos, harus dipilih bambu yang berkulit tebal. Panjang bambu disesuaikan dengan kebutuhan.

Proses selanjuntnya adalah membuat besut (pembuluh air) dengan memotong bambu yang disesuaikan dengan ukuran yang diperlukan. Besut berfungsi sebagai alat untuk mengontrol air agar tetap mengalir dengan lancar.

Selanjutnya adalah membuat empang. Empang adalah tempat menampung air yang mengalir dari sungai atau mata air di bukit. Empang dibuat di bagian tanah yang lebih rendah agar air dapat mengalir dengan lancar. Empang dibendung dengan meletakkan batu-batu sungai agar kuat dan air tidak mudah keluar. Jika air masih keluar para petani akan memanfaatkan karung yang diisi pasir atau jerami untuk menyumpal bagian batu yang masih bocor. Jika air sudah tertampung di empang, air lalu dihubungkan dengan peluang kincir untuk dialirkan ke sawah.

Setelah semua alat selesai disiapkan, langkah selanjutnya adalah merangkainya sehingga membentuk kincir air. Proses perangkaian dilakukan langsung di sungai agar dapat disesuaikan dengan jumlah atau volume air yang ada di sungai. Dengan begitu kincir dapat berputar terus meskipun debit air berkurang. Untuk itu empang harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menyuplai air dengan seimbang.

4. Kelebihan dan Kekurangan

Sebagai alat yang dibuat oleh manusia, kincir air tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan kincir air modern.

Kelebihan kincir air tradisional antara lain:
  • Alat dan bahan mudah untuk didapatkan apalagi untuk daerah Jambi yang masih banyak diliputi hutan
  • Biayanya relatif lebih murah bahkan hampir tidak memerlukan biaya karena bahan dan alat bisa didapatkan dari lingkungan sekitar (alam)
  • Pengoperasian lebih sederhana dan mudah
  • Ramah lingkungan
  • Pemeliharaan relatif lebih mudah karena tidak mudah berkarat
Kekurangan kincir air tradisional antara lain:
  • Memerlukan pemeriksaan yang lebih intensif karena jika ada jerami atau bahan tertentu yang tersangkut perputaran baling-baling akan terganggu
  • Tenaga yang dihasilkan relatif kecil
Kelebihan kincir air modern antara lain:
  • Relatif lebih bersih karena terbuat dari besi
  • Relatif lebih mudah perawatannya
  • Tenaga yang dihasilkan relatif lebih besar
Kekurangan kincir air modern antara lain:
  • Biaya relatif mahal
  • Besi relatif mudah berkarat karena bersentuhan dengan air terus menerus
  • Tidak ramah lingkungan karena berbahan bakar minyak atau listrik
5. Nilai-nilai

Kincir air tradisional mengandung nilai-nilai budaya yang cukup penting dalam pemberdayaan dan pendidikan masyarakat desa. Nilai-nilai itu antara lain:
  • Nilai ekonomi. Nilai ini tampak jelas dari biaya yang relatif murah jika ingin membuat kincir air tradisional ini. Bahkan bagi masyarakat Jambi yang daerahnya banyak dikelilingi oleh hutan, maka bahan-bahan tersebut akan mudah didapatkan. Nilai ekonomi juga tampak dari biaya operasional dan pemeliharaan, karena bahan kayu dan bambu hanya cukup dibersihkan dari sesuatu yang dapat mengganggu perputaran baling-baling.
  • Nilai kebersamaan. Pembuatan kincir air biasanya akan dilakukan secara bergotong royong oleh para petani. Hal itu karena satu kincir air akan dimanfaatkan oleh banyak petani. Proses pembuatan secara bergotong royong ini tentu saja akan semakin menguatkan rasa solidaritas dan kebersamaan antarsesama petani. Jika kincir air mengalami kerusakan para petani akan bergotong royong pula memperbaikinya.
  • Nilai pelestarian lingkungan. Kincir air tradisional lebih ramah lingkungan daripada kincir air modern. Selain bahan kayu yang didapat dari alam, kayu yang bercampur dengan air yang akan dialirkan ke sawah tidak akan berpengaruh negatif terhadap tanaman petani atau habitat ikan yang ada di sungai. Hal ini berbeda jika memakai kincir air modern dengan bahan besi karena besi yang dibuat lewat proses pabrik penuh dengan bahan kimia. Jika besi itu bercampur dengan air yang akan dialirkan ke sawah tentu akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman petani dan habitat ikan di sungai. Hal ini akan lebih parah jika pemeliharaannya memakai minyak pelumas. Minyak pelumas buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan ke sungai, kolam atau sawah dan sebagainya.
  • Nilai pelestarian tradisi budaya. Kincir air tradisional adalah alat pengairan sawah yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Dengan demikian menggunakan kincir air dapat diartikan sebagai upaya untuk tetap melestarikan tradisi budaya masa lalu. Hal ini tentunya perlu terus digalakkan mengingat kincir air tradisional lebih banyak kelebihannya daripada kincir air modern atau alat pengairan modern seperti alat yang menggunakan mesin diesel.
  • Nilai kesederhanaan dan fungsi. Pembuatan kincir air tradisional dari kayu juga mengajarkan kepada para untuk memikirkan kesederhanaan dan fungsi daripada gaya. Memang kincir air modern dapat menghasilkan tenaga yang relatif lebih kuat sehingga air lebih banyak dihasilkan. Namun jika mengingat biayanya yang mahal dan pemeliharaannya yang rumit, maka kincir air tradisional lebih bermanfaat daripada kincir air modern. Apalagi jika terkait dengan fungsi, kincir air tradisional fungsinya tidak jauh berbeda dengan kincir air modern.
  • Nilai seni. Pembuatan kincir air tradisional juga mengandung nilai seni yaitu seni kriya. Kincir air tradisional bahannya terbuat dari kayu, dalam membuat lubang dan memasah kayu agar halus tentu diperlukan ketrampilan seni kriya yang terasah. Apalagi jika melihat baling-baling yang berbentuk bulat seperti bunga, tentu hal itu mengandung nilai seni yang tinggi.
6. Penutup

Isu tentang efek rumah kaca yang berdampak pada kemarau panjang membuat petani sulit mendapatkan air untuk mengairi sawahnya. Penggunaan mesin diesel air yang berbiaya cukup mahal (pembelian mesin dan solar) dan dampak yang buruk terhadap manusia dan lingkungan (penyakit dan udara yang kotor akibat asap), memunculkan semangat untuk memperkenalkan kembali kincir air model petani Jambi ini kepada seluruh petani di Indonesia.

Semangat ini semakin kuat jika dicermati kelebihan dan kekurangan kincir air tradisional dibandingkan dengan kincir air modern serta nilai-nilai kincir air tradisional. Bagaimanapun alat pengairan modern yang dianggap dapat menghasilkan panen lebih baik tidak harus mengesampingkan sikap peduli terhadap lingkungan itu sendiri. Namun terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing, pemerintah memang masih mempunyai tugas yang belum selesai, yaitu terus meningkatkan derajat ekonomi dan pendidikan para petani. Hal ini bertujuan agar petani dapat hidup layak dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi

Komentar

Postingan Populer