Tulup: Senjata Tradisional Berburu Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat

Tulup adalah salah satu senjata tradisional berburu Suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tulup terbuat dari kayu meranti yang dilubangi, berpeluru potongan-potongan seperti lidi dari pelepah pohon enau yang berbentuk seperti mata panah yang disebut ancar. Mata ancar biasanya diolesi racun dari getah pohon tatar.


1. Asal-usul

Orang Indonesia umumnya mengenal tulup sebagai alat yang terbuat dari bambu yang memiliki ros (batasan pada bagian bambu) atau kayu yang dilubangi. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005 halaman 1219 mengartikan tulup dengan dua arti, yaitu sumpitan dan tiup. Arti ini tampaknya merujuk pada bentuk dan cara menggunakan tulup tersebut. Tulup digunakan dengan cara ditiup melalui mulut. Anak-anak di perdesaan menggunakan alat ini untuk permainan yang mereka sebut tulup-tulupan atau sumpit-sumpitan. Peluru tulup mereka berupa tanah basah yang dibentuk bulat. Permainan ini sebenarnya cukup berbahaya, karena terkadang dapat mengenai mata dan menyebabkan kebutaan.

Dalam sejarahnya, tulup sudah dikenal akrab dalam kebudayaan suku-suku yang banyak mendiami daerah pedalaman Indonesia, seperti Kalimantan, Sumatera, Papua atau Nusa Tenggara. Oleh mereka tulup digunakan untuk membunuh binatang buruan seperti babi, kera, macan, atau gajah. Berburu merupakan salah satu model mata pencaharian paling tua selain bercocok tanam yang dilakukan oleh suku-suku tersebut. Dan salah satu alat berburu yang harus dimiliki adalah tulup.

Nenek moyang Suku Sasak yang mendiami pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, juga mengenal tulup sebagai alat mereka berburu binatang di hutan. Menurut Kamus Bahasa Sasak- Indonesia tahun 2001 terbitan Balai Pustaka halaman 312, tulup diartikan dengan sumpit. Menulup berarti menyumpit. Oleh orang Sasak tulup digunakan untuk berburu babi dan kera yang banyak berkeliaran di hutan-hutan Lombok (Lalu Wiracana, 1998).

Pemburu tradisional Sasak beranggapan bahwa, selain sebagai senjata berburu, tulup juga dianggap sebagai benda sakral. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa berburu adalah mata pencaharian mereka sedangkan tulup adalah alat mereka mencari rezeki, untuk itu tulup perlu dihargai dan dihormati. Pensakralan terhadap tulup mereka ekspresikan dalam bentuk memberi doa atau jampi-jampi pada tulup mereka. Selain untuk penghormatan dan permohonan kepada Yang Kuasa, doa dan jampi-jampi ditujukan agar tulup dapat menghasilkan banyak binatang buruan. Maka dari itu tidak heran jika oleh beberapa pemburu, tulup beserta ancar (peluru tulup) dan terontong (tempat menyimpan ancar) selalu digantung di atas tembok rumah-rumah mereka (Lalu Wiramaja et al., 1993).

Di zaman sekarang, beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di dekat hutan, masih menggunakan tulup untuk berburu. Hutan Lombok yang lebat dan banyaknya babi serta kera yang berkeliaran di sana membuat praktik berburu ini masih diminati oleh beberapa penduduk. Akan tetapi ketika pemerintah propinsi yang bekerjasama dengan Departemen Kehutanan melarang kera (lutung budeng atau trachypithecus auratus kohlbruggei) untuk dibunuh karena hewan ini termasuk hewan yang dilindungi, jumlah pemburu tradisional semakin hilang [1].

Hilangnya profesi pemburu akibat larangan pemerintah daerah yang berdalih pelestarian binatang dan ekosistem, ternyata justru berganti dengan pemburu hutan lainya yang lebih ganas. Pemburu hutan model baru tersebut justru mengakibatkan ekosistem hutan rusak dan kehidupan manusia menderita. Tepatnya pada tahun 2006 yang lalu terdapat tiga orang tewas, dan satu orang hilang, akibat banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Banjir dan tanah longsor ini merupakan bencana alam susulan yang sehari sebelumnya juga terjadi di Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Lokasi bencana dibatasi bukit Sembalun dan bukit Bumbung yang merupakan kaki Gunung Rinjani ( http://www.arsip.net/id/link.php?lh=VVMBBFENAQRU).

Tulup orang Sasak mempunyai tiga komponen penting yaitu, gagang tulup, ancar (peluru tulup), dan terontong (tempat menyimpan ancar). Agar binatang cepat mati, biasanya pada ancar (peluru tulup) dioleskan racun yang berasal dari getah pohon tatar. Getah ini sangat manjur untuk membunuh binatang. Binatang seperti kera akan mati dalam waktu lebih kurang 15-30 menit. Sementara babi membutuhkan waktu lebih kurang 2 hari (Wiramaja et al., 1993). Saat berburu, ketiga komponen tersebut harus dibawa karena ketiganya saling melengkapi.

2. Bahan, Alat dan Proses Pembuatan 

Orang Sasak cukup mudah untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan jika ingin membuat tulup. Hal ini dikarenakan bahan-bahan tersebut tersedia dan tumbuh di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Tulup memiliki tiga komponen penting, yaitu gagang tulup, ancar (peluru tulup), racun tulup dan terontong (tempat menyimpan ancar). Dalam berburu, semua komponen ini harus dibawa agar memudahkan proses perburuan dan juga karena ketiga komponen tersebut saling berhubungan. Sebagai contoh, jika tidak ada ancar maka tulup tidak akan punya peluru, begitu juga sebaliknya. Jika tidak ada terontong, ancar yang dibawa menggunakan tangan akan berbahaya jika tangan menyentuh getah racun yang sudah dioleskan pada ancar. Akibatnya tangan akan bengkak dan bernanah.

Bahan-bahan untuk membuat komponen-komponen tulup antara lain:
  • Kayu meranti untuk membuat gagang tulup
  • Pelepah pohon enau (pinang atau aren) untuk membuat batang dan mata ancar (peluru tulup)
  • Getah pohon tatar untuk membuat racun
  • Bambu untuk membuat terontong (tempat menyimpan ancar)
Bahan-bahan di atas nanti akan diolah menjadi tulup dengan menggunakan alat-alat seperti:
  • Kapak untuk memotong kayu
  • Pusut (seperti bor) untuk membuat lubang
  • Maja atau pangot (pisau) untuk menghaluskan
Proses pembuatan tulup, ancar dan terontong dapat dikatakan cukup rumit dan memerlukan ketelitian serta ketrampilan yang terlatih. Hal ini sangat penting untuk dimiliki oleh setiap pemburu karena jika tidak terampil dan jeli dalam membuat ketiganya, maka tulup akan tidak nyaman dipakai bahkan ancar tidak dapat melesat dengan cepat jika lubang pada tulup tidak sesuai dengan ukuran yang seimbang.

Berikut adalah proses pembuatan tulup, ancar dan terontong.

Tulup

Secara umum tulup memiliki bentuk yang mirip dengan tombak. Perbedaan keduanya terdapat pada ujung masing-masing. Ujung tombak berbentuk lancip, sementara ujung tulup berbentuk rata. Pada ujung tulup terdapat mangan (mata tulup). Mangan ini berfungsi untuk mengontrol daya lesat ancar agar lurus dan tepat sasaran jika ditiup.

Proses pembuatan tulup cukup rumit. Langkah pertama adalah memilih kayu meranti yang mempunyai diameter kurang lebih 3,2 cm. Kayu selanjutnya dipotong sepanjang kurang lebih 160 cm. Panjang ini dianggap cukup ideal karena jika terlalu pendek atau terlalu panjang, selain susah untuk menggunakannya, ancar akan lambat daya lesatnya. Hal ini juga disesuaikan dengan kekuatan tiupan umumnya orang dewasa atau orang tua Suku Sasak.

Langkah selanjutnya adalah melubangi kayu. Diameter lubang lebih kurang 1,5 cm. Ukuran diameter ini juga dianggap ideal karena disesuaikan dengan ukuran ancar sekaligus memperhitungkan juga daya lesat ancar. Jika lubang tulup terlalu kecil, maka proses keluarnya ancar tidak lancar. Sebaliknya jika lubang tulup terlalu lebar, maka daya lesat ancar berkurang karena udara yang masuk lubang terpecah dan tidak fokus pada ancar.

Ancar (peluru tulup)

Perlu dipahami sebelumnya bahwa ancar mempunyai dua unsur, yaitu batang ancar dan mata ancar. Batang ancar adalah tubuh ancar yang berbentuk seperti potongan lidi. Adapun mata ancar adalah ujung dari batang ancar yang berbentuk lancip. Pada mata ancar inilah biasanya dioleskan racun dari getah pohon tatar untuk memberikan efek kematian pada binatang yang terkena tulup. Dalam proses pembuatannya, batang dan mata ancar dibuat dan dipasang secara terpisah.

Batang dan mata ancar terbuat dari bahan yang sama, yaitu dari pelepah pohon enau (aren atau pinang). Selain mudah untuk didapatkan, pelepah pohon enau dianggap cukup baik karena mudah untuk dibentuk dan ketika melesat ancar tidak mudah goyang jika ditiup angin. Selain itu, pelepah pohon enau cukup menyerap racun. Hal ini penting karena racun yang tidak dapat diserap oleh mata ancar tentu saja tidak akan dapat mematikan binatang.

Cara pembuatan batang ancar 

Cara pembuatan batang ancar cukup mudah. Pertama-tama adalah mengambil pelepah pohon enau. Pelepah dipilih yang tidak terlalu muda atau tua. Hal ini penting agar ancar mempunyai kekuatan untuk menembus kulit babi atau kera. Selanjutnya kulit pelepah dipotong-potong lebih kurang sepanjang 16-17 cm dengan diameter 0,5cm. Ukuran ini dianggap tepat karena ukuran tersebut yang biasa dipakai oleh para pemburu Sasak yang sukses.

Setelah dipotong-potong seperti lidi, batang ancar dihaluskan dengan menggunakan maja (pisau atau pangot). Penghalusan diperlukan untuk menjaga daya lesat batang ancar. Batang ancar yang tidak halus (masih banyak serat) akan menyebabkan daya lesatnya melemah bahkan sering macet di dalam lubang tulup. Setelah batang ancar selesai dibentuk, proses dilanjutkan dengan membuat mata ancar.

Cara pembuatan mata ancar 

Mata ancar dibuat seperti bentuk kerucut dengan panjang lebih kurang 4,5 cm. Ukuran ini dianggap sesuai dengan panjang batang ancar. Adapun ukuran diameter harus disesuaikan dengan lubang tulup. Hal ini perlu diperhatikan agar mata ancar dapat masuk ke lubang tulup. Jika tidak sesuai dengan ukuran lubang tulup maka daya lesat ancar akan terpengaruh.

Langkah selanjutnya adalah membuat lubang pada salah satu bagian pangkal mata ancar dengan menggunakan pusut (pelubang). Lubang ini nantinya difungsikan untuk ditancapkan dengan batang ancar. Setelah selesai, langkah berikutnya adalah meruncingkan salah satu bagian dari kerucut tersebut dengan menggunakan maja atau pangot (pisau). Setelah mata ancar lancip, proses selanjutnya adalah pemberian racun pada mata ancar.

Sebelum membahas tentang pemberian racun pada mata ancar, sebaiknya kita mengenal dulu bagaiamana cara membuat racun. Racun diambil dari pohon tatar dengan cara menyadap seperti halnya menyadap karet. Setelah getah terkumpul, kemudian getah tersebut diangin-anginkan hingga berwarna coklat. Getah sebaiknya diangin-anginkan lebih lama hingga warnanya hitam. Hal ini penting karena semakin lama akan semakin dahsyat kualitas racunnya. Setelah itu baru dilaksanakan proses memberi racun pada mata ancar.

Pemberian racun dilakukan dengan cara mencelupkan ujung mata ancar ke dalam getah pohon tatar yang sudah disiapkan dalam sebuah tempat tertentu. Setelah itu, mata ancar tidak langsung digunakan akan tetapi disimpan di terontong. Hal ini penting untuk dilakukan agar racun lebih meresap di mata ancar. Dengan demikian, jika mata ancar mengenai dan masuk ke bagian perut babi atau kera, racun akan langsung bekerja.

Terontong (tempat menyimpan ancar)

Orang Sasak mempunyai keahlian yang cukup baik dalam membuat kerajinan dari bambu, salah satunya adalah terontong. Orang Sasak memahami terontong hanya sebagai tempat untuk menyimpan ancar. Terontong berbentuk seperti teko air tradisional yang diberi tutup. Tutup ini disambungkan dengan tali dan diikat pada salah satu badan terontong. Terontong terbuat dari belahan-belahan bambu yang dianyam dengan rapi dan halus.

Cara pembuatan terontong cukup sulit dan memerlukan keterampilan tangan. Langkah pertama adalah menebang bambu. Bambu yang dipilih adalah bambu yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Hal ini diperlukan agar ketika dianyam bambu mudah untuk ditekuk dan tidak mudah patah serta kuat. Selanjutnya bambu tersebut dibelah tipis sesuai dengan ukuran yang diinginkan.

Bilah-bilah bambu kemudian dihaluskan dan selanjutnya dianyam. Penganyaman bambu memerlukan ketelitian dan keterampilan tangan yang terasah. Jika tidak hati-hati, bambu dapat melukai tangan orang yang menganyam. Bagian pertama yang dianyam adalah badan terontong. Bambu dianyam dari bawah sebagai pola dasar, kemudian ke atas hingga selesai seluruh badan terontong.

Langkah berikutnya adalah menganyam tutup terontong. Tutup terontong sangat diperlukan agar ancar tidak mudah jatuh ketika dibawa berlarian mengejar binatang. Untuk menganyam tutup terontong hanya dibutuhkan sedikit bilah bambu karena tutup terontong bentuknya lebih kecil. Seperti pada badan terontong, tutup terontong di buat pola dasarnya dulu, kemudian menyambungkan dengan bilah bambu yang sudah disiapkan untuk dianyam lebih lanjut.

Tutup terontong yang sudah selesai kemudian diberi tali dari bilah bambu. Tali diikat ke salah satu bagian dari badan terontong. Hal ini diperlukan agar ketika dibuka, tutup terontong tidak jatuh. Jika semua komponen tulup sudah selesai dibuat, tulup siap untuk digunakan.

3. Cara Menggunakan 

Cara menggunakan tulup sangat sederhana dan mudah. Langkah pertama adalah gagang tulup diangkat kemudian ancar dimasukkan pada lubang tulup. Setelah ancar dipastikan pas di lubangnya, kemudian tulup diarahkan pada sasaran yang dituju sambil lubang tulup ditempelkan pada mulut. Jika sudah tepat sasarannya, kemudian lubang tulup ditiup sekencang-kencangnya.

Sejurus kemudian ancar akan keluar dari dari lubang tulup melesat menuju sasaran. Ancar dapat melesat cepat jika penempatan mata ancar ke dalam lubang tulup juga tepat. Selain itu kecepatan juga ditentukan oleh kekuatan tiupan angin dari mulut pemburu. Untuk itu diperlukan latihan dan pengalaman yang cukup terasah sebagai seorang pemburu.

Meskipun terlihat mudah, mengoperasikan tulup juga bisa menjadi sulit. Kesulitan bukan terjadi pada saat menulupnya, akan tetapi memastikan agar tepat sasaran. Hal ini dikarenakan ketepatan pada sasaran membutuhkan keahlian dan pengalaman yang terasah. Keahlian dapat diperoleh dengan cara berlatih ketenangan pikiran dan hati, kesabaran dan ketangkasan. Konsentrasi adalah kunci utama dalam mengoperasikan tulup.

Untuk menggunakan tulup agar nyaman dan mudah dioperasikan, biasanya orang Sasak memakai bebet (ikat pinggang). Bebet diperlukan untuk menggantungkan terontong agar mudah dibawa ke mana-mana. Selain bebet, pemburu Sasak juga sering memakai sapo’ (ikat kepala). Meskipun Sapo’ dan bebet adalah salah satu dari unsur pakaian adat orang Sasak, namun keduanya sudah menjadi unsur dari pakaian keseharian orang Sasak. Kebiasaan ini masih berlaku hingga hari ini di perdesaan Lombok.

Penggunaan tulup sebagai alat berburu saat ini hampir tidak ditemukan lagi. Masyarakat Sasak sudah banyak yang beralih profesi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
  • Banyak orang Sasak yang berpindah menjadi petani seperti petani tembakau atau peternak sapi atau kuda atau menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
  • Adanya aturan dari pemerintah daerah dan Departemen Kehutanan tentang larangan berburu kera dan binatang lain yang dilindungi khususnya di hutan-hutan Lombok yang dijadikan taman nasional, salah satunya adalah Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
  • Seperti diketahui mayoritas orang Sasak saat ini menganut agama Islam. Dalam ajaran agama Islam diyakini bahwa daging binatang babi dan kera adalah haram. Ajaran ini tampaknya juga menyebabkan berkurangnya orang Sasak yang berprofesi menjadi pemburu.
4. Kelebihan dan Kekurangan 

Tulup sebagai senjata berburu tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan senjata berburu modern, misalnya senapan. Kelebihan dan kekurangan ini tentu saja terkait dengan beberapa hal, seperti kecepatan, ketepatan, dan kepraktisan. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan kedua senjata tersebut.

Kelebihan senjata tradisional tulup antara lain:
  • Murah dan mudah untuk dibuat. Hal ini disebabkan karena bahan cukup banyak tersedia di hutan-hutan Lombok dan dapat dibuat sendiri oleh pemburu sesuai dengan keinginan.
  • Ramah lingkungan. Hal ini diindikasikan dari racun dalam ancar yang berasal dari getah pohon tatar tidak berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan hewan lain. Berbeda dengan racun yang ada di mesiu (peluru senapan). Unsur kimia yang ada pada mesiu akan berpengaruh buruk terhadap ekosistem jika tidak tepat sasaran dan terpendam dalam tanah. Selain itu suara senapan juga dapat membuat takut binatang seperti burung dan lain-lain.
Kekurangan senjata tradisional tulup, yaitu:
  • Hanya dapat digunakan dalam jarak lebih kurang 10-15 meter (ukuran umumnya tinggi pohon kelapa). Jangkauan ini lebih pendek dibanding jangkauan peluru senapan yang dapat mencapai lebih kurang satu sampai satu setengah kilometer
  • Relatif kurang tepat sasaran karena tidak dilengkapi dengan tele focus
  • Kelebihan senapan adalah:
  • Lebih jauh jangkauan jaraknya jika dibandingkan dengan tulup
  • Lebih praktis dalam pengoperasiannya, apalagi senapan yang lebih modern
  • Relatif lebih tepat sasaran apalagi yang dilengkapi dengan tele focus
  • Relatif lebih mudah untuk dibawa ke mana-mana
Kekurangan senapan adalah:
  • Tidak ramah lingkungan, di mana bekas mesiu yang mengandung kimia akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekosistem hutan. Suara senapan juga dapat membuat takut binatang .
  • Lebih mahal harganya jika dibandingkan dengan tulup
5. Nilai-nilai 

Tulup sebagai senjata tradisional Sasak mengandung banyak nilai pelajaran hidup. Patut disayangkan, hilangnya profesi pemburu yang menggunakan tulup turut juga menghilangkan nilai-nilai ini. Beberapa nilai yang dapat dipetik dari keberadaan senjata tradisional tulup ini antara lain:
  • Nilai kedekatan dan penghargaan terhadap alam. Penggunaan tulup yang hampir seluruhnya berbahan baku dari alam secara tidak langsung merupakan sikap penghargaan orang Sasak terhadap alam itu sendiri. Dari alam dikembalikan kepada alam tanpa merusak alam. Hal ini dapat dilihat dari racun yang ada pada ancar yang terbuat dari getah pohon tatar tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekosistem dan hewan lain di hutan. Berbeda dengan mesiu yang berbahan kimia, jika tercampur air dan terserap udara maka secara kesehatan tidak baik bagi pernafasan manusia dan secara biologis tidak baik bagi perkembangan tumbuhan dan hewan.
  • Nilai kerajinan dan mengasah keterampilan. Pembuatan tulup beserta komponen lainnya seperti ancar dan terontong sangat memerlukan keterampilan dan kejelian pembuatnya. Tanpa itu semua, maka tulup tidak akan nyaman untuk dipakai, bahkan akan mengurangi ketepatan ancar saat melesat. Dikarenakan dibuat dengan keterampilan yang terlatih, tulup juga indah bentuknya sehingga dapat dijadikan koleksi.
  • Nilai kesabaran dan menata hati. Seperti diketahui, mengoperasikan tulup tidak hanya membutuhkan kemampuan belaka, akan tetapi juga kesabaran dan ketenangan hati. Tanpa itu semua maka mata ancar akan sulit untuk ditepatkan pada sasaran. Menurut cerita orang Sasak yang pernah menjadi pemburu, jika hati mereka tidak tenang dan tidak sabar, maka tangan selalu bergoyang saat menggunakan tulup. Hal ini menyebabkan mata ancar selalu meleset dari sasaran. Menulup sangat memerlukan konsentrasi dan kepekaan perasaan. Hal itu dapat diperoleh dari pengalaman serta kesabaran.
  • Nilai sakralitas. Nilai ini sangat tampak pada pemberian do’a atau jampi-jampi yang dibacakan pemburu pada tulup mereka agar menghasilkan banyak binatang buruan. Hal ini dilakukan oleh pemburu karena berburu adalah mata pencaharian mereka, sedangkan tulup adalah alat mereka berburu atau mencari rejeki. Berdasarkan alasan ini maka tulup dianggap sakral dalam kehidupan mereka. Maka dari itu oleh beberapa pemburu tulup beserta ancar dan terontong-nya terkadang digantung di atas tembok rumah-rumah mereka dengan tujuan utnuk menghormati tulup tersebut.
  • Nilai tradisi budaya. Tulup merupakan peninggalan nenek moyang Sasak yang dahulu pernah memiliki kebudayaan mata pencaharian berburu. Jika demikian keberadaan tulup mengandung nilai kebudayaan yang cukup luhur. Tulup adalah simbol kehidupan orang Sasak masa lampau. 
6. Penutup 

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan antara tulup dan senjata berburu modern, tulup sebagai senjata tradisional Sasak penting untuk dipelihara, karena tulup merupakan artefak budaya Sasak yang mengandung banyak nilai dan simbol, salah satunya adalah simbol kedekatan orang Sasak terhadap alam. Melalui artefak dan simbol-simbol tersebut manusia modern dapat belajar tentang kehidupan orang Sasak yang sangat menghargai alam. Mempelajari tulup juga dapat menjadi kritik terhadap perilaku orang modern yang kurang menghargai alam atau bahkan merusak alam. Hal ini terlihat dari banyaknya bencana banjir dan tanah longsor yang terus berulang dan berulang.

(artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
  • Lalu Wiramaja et al., 1993. Senjata tradisional di daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Lalu Wiracana,1998. Sejarah daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Bahasa Sasak-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Taman Nasional Gunung Rinjani (internet). Tersedia di http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_rinjani.htm. (Diakses tanggal 16 Februari 2010).
  • Tempo Interaktif. Bencana Tanah Longsor Susulan di Lombok (internet). Tersedia di http://www.arsip.net/id/link.php?lh=VVMBBFENAQRU. (Diakses tanggal 18 Februari 2010).

Catatan kaki:

[1] Berburu juga dilarang khususnya di daerah Taman Nasional Gunung Rinjani. Taman Nasional Gunung Rinjani merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan pegunungan rendah hingga pegunungan tinggi dan savana di Nusa Tenggara. Selain terdapat satu jenis mamalia endemik yaitu musang rinjani (paradoxurus hemaproditus rinjanicus), juga terdapat kijang (muntiacus muntjak nainggolani), lutung budeng (trachypithecus auratus kohlbruggei), trenggiling (Manis javanica), burung cikukua tanduk (philemon buceroides neglectus), dawah hutan (ducula lacernulata sasakensis), kepudang kuduk hitam (oriolus chinensis broderipii), dan beberapa jenis reptilia (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_rinjani.htm).

Komentar

Postingan Populer