Mengayau: Upacara Keberanian Laki-laki Dayak Iban, Kalimantan Barat

Oleh Empuesa

Mengayau berasal dari kata kayau yang berarti memotong kepala musuh. Mengayau adalah upacara adat Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat yang dilakukan ketika akan berperang. Tradisi ini bertujuan untuk menunjukan keberanian, melindungi warga suku, memperluas wilayah, dan salah satu cara untuk bertahan hidup. Mengayau dilakukan dengan mandau (senjata khas suku Dayak) dan hanya oleh kaum laki-laki Dayak. 

1. Asal-usul

Secara umum, mengayau berarti mencari musuh atau mencari kepala musuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005 halaman 519, disebutkan bahwa mengayau berasal dari kata kayau yang berarti membunuh orang untuk diambil kepalanya. Dalam kajian kebudayaan, mengayau dikenal sebagai sebuah upacara adat suku Dayak di pulau Kalimantan (Borneo) (Yekti Maunati, 2006). Mengayau memiliki banyak tujuan seperti menunjukkan keberanian, mempertahankan dan memperluas wilayah, melindungi warga suku, persembahan kepada dewa, dan salah satu cara untuk bertahan hidup. Sementara itu, menurut JU Lontaan (1975: 533-535), mengayau memiliki beberapa tujuan, yaitu melindungi pertanian, untuk mendapatkan daya rohaniah, balas dendam, dan daya tahan berdirinya suatu bangunan.

Mengayau dilakukan dengan menggunakan mandau[1] (senjata khas suku Dayak) dan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal itu disebabkan karena laki-laki dianggap sebagai pelindung suku dan keluarga. Akibat dari tradisi ini, banyak ditemukan para perempuan Dayak yang menjadi janda karena suami mereka mati. Tradisi pemenggalan kepala musuh ini berkaitan erat dengan pola hidup suku Dayak yang masih mengandalkan dan membanggakan suku mereka. Sehubungan dengan ini, Alfred Russel Wallace (1986) mengartikan tradisi mengayau sebagai a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe.

Tradisi ini terus berlangsung lama hingga akhirnya mulai berkurang ketika agama Kristen masuk ke Kalimantan. Saat ini upacara adat mengayau hanya digelar untuk merayakan pesat adat. Adapun sebagai pengganti kepala manusia panitia menggunakan kepala babi (http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/20/03152149/Meski.di.Pedalaman.Mereka.Punya.Ponsel). Walaupun tradisi ini akrab dengan suku Dayak, namun satu hal yang harus dimengerti adalah bahwa tidak semua suku Dayak mempraktekkan tradisi ini. Hal ini disebabkan oleh varian tradisi di antara Suku Dayak itu sendiri.

Salah satu sub suku Dayak yang masih mempraktekkan tradisi mengayau ini adalah suku Dayak Iban yang tinggal di Kalimantan Barat.[2] Mayoritas suku Dayak Iban hidup tersebar di wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau/Malenggang dan sekitarnya, Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu), Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunei Darusalam. Penting untuk dipahami kembali bahwa tidak semua Suku Dayak Iban melakukan tradisi ini. Hal ini dikarenakan suku Dayak Iban terdiri dari sub-sub suku yang beragam seperti sub suku Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya (Tjilik Riwut, 2003). Adapun suku Dayak Iban yang masih mempraktekkan tradisi ini adalah mereka yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu.

Pada suku Dayak Iban, tradisi mengayau konon pertama kali diturunkan oleh seorang leluhur mereka yang bernama Urang Libau Lendau Dibiau Takang Isang. Berkat keberanian dan kegagahannya padanya disematkan gelar Keling Gerasi Nading Bujang Berani Kempang. Keling berarti orang yang gagah berani. Menurut bahasa Dayak Iban kayau artinya musuh. Dalam konteks ini ngayau mempunyai makna turun berperang dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara memenggal kepala manusia. Dalam konteks suku zaman dahulu, banyaknya kepala musuh yang dibawa pulang merupakan bukti bahwa kekuasaan mereka semakin bertambah luas. Namun, dalam konteks pribadi, semakin banyak kepala musuh yang diperoleh seseorang, maka semakin kuat dan perkasa orang tersebut.

Suku Dayak Iban juga memaknai Ngayau sebagai kegiatan berburu kepala yang dilakukan secara berkelompok. Mereka menyebut aktivitas ini dengan "kayau banyak". Adapun orang yang berhasil memperoleh kepala dianggap sebagai pahlawan perang dan mendapat gelar "Bujang Berani". Bagi leluhur Dayak Iban pada zaman dahulu, budaya mengayau atau pemenggalan kepala sebenarnya tidak hanya terbatas pada kepala musuh saja, akan tetapi juga berlaku pada keluarga yang akan dikorbankan sebagai persembahan kepada dewa yang mereka yakini.

Berdasarkan data di atas, sebenarnya bagi suku Dayak Iban, ngayau adalah upacara adat yang dilakukan secara khusus dan tidak sembarang orang dapat mengayau karena terdapat aturan yang harus ditaati. Pengayauan sesungguhnya adalah hukuman yang sangat berat bagi pemenang kayau karena suatu ketika dirinya akan dikayau oleh orang lain.

Mengayau juga tidak dibolehkan terjadi di sembarang tempat akan tetapi harus sesuai dengan tempat yang telah ditentukan dan sudah diberitahukan terlebih dahulu oleh ketua adat. Apabila didapati orang mengayau di sembarang tempat, maka dia dianggap bukan pengayau yang baik. Untuk itu, mengayau memiliki sarat dan ketentuan yang cukup rumit.

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Zaman dahulu, ketika tradisi mengayau masih sering dilakukan, upacara mengayau selalu digelar ketika akan berangkat mengayau ke medan kayau. Namun, saat ini, ketika tradisi mengayau sudah jarang dilakukan, maka upacara mengayau hanya dilaksanakan pada saat-saat tertentu, seperti saat gelar budaya Dayak atau musim panen.

Upacara adat mengayau ini dimulai sejak seminggu sebelum upacara inti digelar. Waktu seminggu diperlukan untuk mempersiapkan segala sesuatu seperti peralatan dan sesaji yang akan dipakai untuk acara inti. Peralatan dan sesaji sangat penting disiapkan jauh-jauh hari. Hal ini disebabkan jika peralatan dan sesaji tidak lengkap maka sakralitas upacara akan terpengaruh bahkan berujung pada kekalahan perang.

Adapun tempat pelaksanan upacara adat mengayau dipusatkan di rumah adat betang, yaitu rumah adat suku Dayak. Rumah adat ini memang dikhususkan untuk menyelenggarakan segala upacara adat termasuk upacara adat mengayau. Rumah betang dianggap sakral, untuk itu tidak sembarangan orang boleh masuk kecuali atas izin dari ketua adat atau menjadi peserta upacara seperti dalam upacara adat mengayau.

3. Pemimpin dan Peserta Upacara
Upacara adat mengayau dipimpin oleh kepala kampung dan kepala adat Suku Dayak Iban. Keduanya terus memimpin sebelum, saat upacara berlangsung hingga penutupan upacara. Segala peralatan dan bahan-bahan sesaji disiapkan satu minggu sebelum upacara dilaksanakan. Saat upacara berlangsung, prosesi upacara dilaksanakan di rumah betang dengan dihadiri oleh peserta upacara dan disaksikan oleh seluruh warga suku Dayak Iban. Saat penutupan, para pengayau pulang dari medan perang.

Upacara adat mengayau diikuti oleh para pengayau yang akan maju perang dan warga suku Dayak Iban baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Para pengayau dan beberapa warga baik kaum perempuan maupun laki-laki menjadi peserta aktif saat persiapan, saat upacara berlangsung, dan saat penutupan. Kaum perempuan bertugas menyiapkan sesaji, menghidangkan sesaji, menyerahkannya kepada kepala kampung atau kepala adat, serta menemani para pengayau menari. Sementara itu, kaum lelaki bertugas menghias rumah betang, menyiapkan alat-alat perang, serta peralatan dan bahan yang dibutuhkan.

4. Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan dalam upacara mengayau ini meliputi peralatan yang harus ada dan peralatan pelengkap. Beberapa peralatan tersebut seperti tombak, mandau dan perisai, biasanya sudah tersedia bahkan ditempatkan pada tempat khusus dan tidak boleh sembarang orang memegangnya karena dianggap sakral.

Adapun peralatan yang harus ada dalam upacara ini antara lain:
  • sangkok atau tombak
  • terabi atau perisai
  • mandau
Alat yang menjadi pelengkap meliputi:
  • tersang atau ancak yang terbuat dari bambu untuk menyimpan sesaji
  • selembar bendera lima warna, yaitu merah (melambangkan sifat berani), hijau (melambangkan kesuburan), kuning (melambangkan ketulusan), hitam (melambangkan perlindungan dari orang yang bermaksud jahat), dan putih (melambangkan hati dan pikiran yang suci dan jernih).
  • grumung atau gong kecil
  • tawak atau gong besar
  • gendang
  • bebendai atau gong sedang
Selain alat-alat di atas, dalam upacara ngayau biasanya juga disiapkan pedara (sesaji) berupa:
  • tujuh piring pulut (ketan)
  • tujuh piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras)
  • tujuh piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai)
  • tujuh butir telur ayam matang
  • sirih, sedek (gambir), rokok, kapur pinang, buah pinang dan tembakau yang ditempatkan dalam satu piring sendiri
  • tujuh buah ketupat yang diikat
  • tujuh jalong cubit, yaitu seikat benang yang diikatkan pada ketupat
  • sepiring utai bekaki, yaitu tepung pulut dicampur dengan tepung beras
  • dua ekor babi (jantan atau betina)
  • tiga ekor ayam jantan
  • tengkorak manusia sebagai simbol manusia
  • sebuah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia
  • minuman tuak
Seluruh alat dan bahan di atas sangat mudah diperoleh di lingkungan sekitar hutan Kalimantan Barat karena hampir semuanya berasal dari alam. Bahan-bahan tersebut bahkan sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari suku Dayak Iban.

5. Proses Pelaksanaan
Upacara mengayau secara umum berisi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan upacara, dan penutup. Ketiga tahap tersebut dilakukan oleh seluruh peserta upacara dengan instruksi dari kepala kampung dan ketua adat.
Persiapan

a. Persiapan upacara mengayau diisi dengan aktivitas mempersiapkan seluruh peralatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh panitia yang berasal dari warga suku Dayak Iban berdasarkan arahan dari ketua adat. Instruksi harus terus diberikan agar peralatan dan bahan tidak ada yang terlupa sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar dan sakral.

Persiapan dimulai satu minggu sebelum upacara mengayau di gelar. Pada saat itu, para wanita melakukan engkira, yaitu membuat pedara (sesaji). Sementara itu, kaum laki-laki mempersiapkan segala sesuatu seperti menyiapkan peralatan perang, menyiapkan pengaroh (jimat) dan mencari lauk-pauk untuk perbekalan selama mengayau. Setelah semua persiapan dirasakan cukup, selanjutnya dimulai pelaksanaan upacara.
Pelaksanaan

b. Pelaksanaan upacara adat mengayau secara umum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu mengantarkan pedara atau sesaji, turun ngayau, dan memasuki rumah betang.

1). Mengantarkan pedara atau sesaji 
Upacara adat mengayau dimulai dengan mengantar pedara atau mengantar sesaji ke rumah betang (rumah adat Suku Dayak) sebagai tempat upacara. Sejenak kemudian, para pengayau datang dan duduk secara berderet. Setelah mereka duduk dengan rapi, lalu dihidangkan tujuh piring pedara yang telah disiapkan sebelumnya oleh dua orang perempuan. Tujuh piring konon melambangkan tujuh lapisan langit.

Setelah semua pengayau menghadapi sesaji, ketua adat mulai
membaca mantra sambil mengibas-ngibaskan seekor ayam di atas kepala pengayau sebanyak tiga kali. Selanjutnya, kepala kampung meminta ketua adat untuk membacakan mantra atau jampi-jampi kepada sesaji yang ada. Seusai membaca mantra, ketua adat menuangkan air tuak ke tanah sebanyak tujuh kali untuk memanggil roh nenek moyang agar melindungi dan membantu pengayau dalam perang.

Setelah itu, ketua adat menumpahkan tuak sebanyak tiga kali ke tanah untuk mengundang dewa-dewa agar hadir di rumah betang. Kemudian, ketua adat meminum tuak. Hal ini dilakukan agar supaya roh-roh nenek moyang yang sudah berada di rumah betang ikut menikmati sesaji yang dipersembahkan. Sesaji yang pertama kali makan adalah pulut. Pulut dianggap sebagai lambang perekat kebersamaaan atau kekompakan pasukan dalam perang kelak.

Ketua adat dan kepala kampung selanjutnya menikmati hidangan diikuti oleh para pengayau dan para tamu lainnya. Mereka bersama-sama meminum tuak. Tuak dianggap memiliki pengaruh terhadap tubuh sehingga tubuh menjadi panas. Dengan demikian, kelak ketika perang berlangsung, pengayau akan bersemangat. Kepala kampung kemudian mengambil tempe, lalu menaburkan padi ke atas kepala pengayau. Hal ini merupakan lambang bahwa suku Dayak Iban mempunyai hati nurani yang jujur dan luhur laksana padi.

Ketua adat kemudian mengambil sirih, rokok, daun apok, serta perlengkapan sesaji yang lain, masing-masing lima batang, untuk untuk diletakkan dalam piring. Bahan-bahan tersebut lalu ditaruh di ancak (tempat sesaji), kemudian didirikan di tiang bagian tengah rumah betang (tiang ranyai). Sesaji ini dimaksudkan agar para dewa hadir di rumah betang.

Setelah usai proses mengantar pedara (sesaji), proses selanjutnya adalah turun ngayau.

2). Turun Ngayau 
Bagian ini diawali dengan pembacaan mantra ketua adat yang ditujukan pada peralatan perang agar diberkati oleh roh ketua-ketua adat yang telah lebih dahulu meninggal. Kemudian, ketua adat memotong ayam. Pemotongan ini dilakukan di atas tangga rumah betang. Darah ayam diambil dan dioleskan pada kaki dan dahi para pengayau yang akan berperang agar diberkati. Setelah itu bulu ayam dicabut dan dioleskan di dahi para peserta yang lain agar tidak diganggu oleh roh-roh jahat.

Setelah itu, para pengayau mengambil peralatan perang mereka yang diselipkan dipinggang. Lalu, para pengayau itu menuruni tangga rumah betang sambil membawa satu ekor babi dengan maksud agar para dewa di kahyangan ikut bersama dan membantu dalam perang.

Selanjutnya, para pengayau mengatur strategi supaya dapat memotong kepala musuh dengan cepat dan tepat walaupun jaraknya jauh. Setelah itu, dibayangkan telah terjadi peperangan di mana musuh akhirnya kalah dan dipotong kepalanya, yang dilambangkan dengan kelapa tua atau tengkorak manusia. Setelah berhasil memotong kepala musuh, para pengayau meluapkan kegembiraannya dengan menari-nari, lalu kembali ke rumah betang. Para pengayau kemudian meletakkan kepala musuh yang berhasil dipotong selama perang itu di depan tangga rumah betang sambil bercengkerama antarsesama pengayau dan mengisahkan pengalaman mereka selama perang.

Sejenak kemudian, dua orang perempuan dan seorang pawang menuruni tangga rumah betang untuk mengantar sesaji sebagai simbol pemberkatan terhadap hasil perang. Selanjutnya, tuan rumah mengibaskan seekor ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesaji. Sesaji tersebut akan dipersembahkan kepada dewa yang dianggap telah membantu perang. Sesaji diletakkan di depan tangga menuju rumah betang. Sesaji dibiarkan di tempat tersebut selama tiga hari tanpa boleh dipindah. Jika dipindah, maka hal itu diyakini akan mendatangkan musibah.

Setelah bagian ini selesai dilaksanakan, proses upacara memasuki bagian ketiga, yaitu memasuki rumah betang.

3). Memasuki rumah betan
Bagian ini dimulai dengan membunyikan alat-alat musik tradisional Dayak Iban. Bunyi tersebut merupakan tanda bahwa para pengayau dibolehkan masuk ke rumah betang. Sebelum memasuki rumah betang, terlebih dahulu ketua adat membacakan mantra sambil mengibas-ngibaskan ayam di atas kepala para pengayau. Ketua adat juga mencabut bulu ayam dan memotong ayam tersebut lalu mengoleskan darah ayam di dahi para pengayau, setelah itu barulah para pengayau dipersilakan menaiki tangga rumah betang. Ketika sampai di tangga paling atas, para pengayau disiram dengan tuak, lalu ketua adat memberikan minuman tuak tersebut kepada para pengayau dengan maksud memberikan semangat kepada para pengayau yang telah berhasil memotong kepala musuh.

Di dalam rumah betang, kepala kampung sudah menyiapkan sesaji. Ketika para pengayau sudah memasuki rumah betang, ketua adat kembali mengibaskan seekor ayam di atas kepala pengayau dan memotong ayam tersebut, lalu darahnya dioleskan ke kepala musuh yang disimbolkan dengan tengkorak manusia dan buah kelapa. Ketua adat juga mencabut bulu ayam lalu dioleskan di dahi para pengayau. Setelah selesai, sebuah sesaji digantungkan pada salah satu tiang rumah betang, yaitu di tiang ranyai. Setelah semua pengayau memasuki rumah dan menjalani prosesi upacara di dalam rumah betang, upacara kemudian ditutup dengan tarian kemenangan.

c. Penutup

Menurut anggapan suku Dayak Iban, membawa pulang banyak kepala musuh adalah sebuah kebanggaan dan keberhasilan yang layak dirayakan dengan gembira. Untuk itu, upacara adat mengayau ditutup dengan prosesi tarian. Para pengayau, sambil membawa kepala musuh yang disimbolkan dengan kelapa menari mengelilingi tiang ranyai diikuti oleh kaum perempuan. Tarian ini dianggap sebagai ungkapan syukur kepada dewa yang telah membantu perang. Tidak cukup hanya di dalam rumah betang, selanjutnya menari dilakukan dengan mengelilingi rumah betang sesuai instruksi ketua adat.

6. Doa-doa
Dalam upacara adat mengayau doa dilantunkan oleh ketua adat. Doa yang dilantunkan berupa mantra yang ditujukan pada tiga pihak, yaitu pertama kepada pengayau. Kedua pada senjata pengayau, dan ketiga kepada peserta yang ikut hadir dalam upacara adat.

Mantra yang dibaca untuk para pengayau berupa mantra permohonan kepada dewa agar pengayau diberikan semangat, kekuatan, dan keberanian melawan musuh. Mantra ini dilantunkan ketika pengayau akan berangkat mengayau. Mantra yang dilantunkan untuk senjata pengayau berupa mantra agar senjata tersebut dapat bergerak cepat dan tepat mengenai sasaran, yaitu kepala musuh. Konon, bahkan senjata pengayau dapat bergerak sendiri (terbang) mencari kepala musuh. Ajaibnya, senjata tersebut dapat membedakan mana kepala musuh dan mana kepala suku Dayak Iban. Mantra terakhir ditujukan untuk peserta yang ikut upacara, yaitu berupa mantra agar peserta tersebut tidak diganggu oleh roh-roh jahat selama mengikuti upacara tersebut. Mantra ini juga sangat penting untuk melindungi peserta selama perang berlangsung.

7. Pantangan atau Larangan
Dalam upacara adat mengayau, terdapat beberapa pantangan dan larangan, baik bagi pengayau sendiri maupun peserta upacara lainnya. Pantangan dan larangan tersebut antara lain:
  • Pengayau harus bersih hatinya dan dilarang berbuat buruk di masyarakat. Hal ini penting agar ia selalu mendapat lindungan dari dewa
  • Pengayau harus tetap dalam kelompok dan tidak boleh berpencar, apabila hal ini dilanggar, maka mereka akan mengalami kekalahan dalam perang
  • Seluruh warga dilarang mengambil sesaji yang diletakkan di rumah betang, jika hal ini dilanggar, maka mereka akan tertimpa musibah berupa kalah perang atau gagal panen
8. Nilai-nilai
Sebagai sebuah upacara adat dengan beragam tujuan, upacara adat mengayau juga mengandung berbagai macam nilai dalam kehidupan masyarakat suku Dayak Iban. Nilai-nilai tersebut mungkin tidak disadari secara rasional oleh masyarakat suku Dayak Iban. Akan tetapi, jika melihat begitu kuatnya tradisi ini, tampaknya nilai-nilai tersebut sudah menyatu dalam diri masyarakat suku Dayak Iban. Mengayau sudah menjadi keyakinan Suku Dayak Iban dan bukan lagi hanya sekedar upacara adat. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat mengayau tersebut antara lain sebagai berikut.
  • Nilai sakral. Nilai ini terwujud dalam berbagai mantra yang dilantunkan oleh kepala adat, berbagai peralatan perang yang disimpan khusus, dan persiapan yang dilakukan seminggu sebelum upacara digelar. Indikasi ini tentu saja beralasan karena jika tidak dianggap sakral, maka upacara hanya dipersiapkan sambil lalu saja. Selain itu, nilai ini juga terwujud dalam salah satu tujuan mengayau itu sendiri, yaitu mempertahankan kekuasaan dan wilayah serta melindungi warga. Kedua tujuan ini berkait erat dengan nyawa manusia dan tentu saja nyawa manusia dianggap sakral karena dengan hilangnya nyawa manusia berarti kehidupan juga hilang. Maka dari itu, mengayau pada satu sisi, sebenarnya dapat diartikan sebagai upacara dalam rangka menghargai kehidupan.
  • Nilai keberanian. Nilai ini tercermin pada semangat para pengayau ketika berangkat menuju medan perang. Para pengayau begitu bersemangat ingin memenggal kepala musuh. Semangat keberanian itu semakin bertambah akibat efek sensasi dari tuak yang diminum setelah diberi mantra oleh ketua adat. Selain itu, nilai ini juga terwujud dalam gelar yang diberikan bagi pengayau yang banyak memenggal kepala musuh. Semakin banyak pengayau memenggal kepala musuh, maka semakin dianggap berani dirinya di mata masyarakat.
  • Nilai kebanggaan. Nilai ini terwujud dalam tarian yang dilakukan oleh para pengayau seusai mereka pulang dari medan perang. Dengan menenteng kepala musuh yang berhasil dipenggal, para pengayau menari diiringi oleh musik dan para perempuan di dalam rumah betang dan dilanjutkan dengan mengelilingi rumah betang. Tarian ini dianggap sebagai simbol kebanggaan karena mereka telah mengalahkan musuh. Dalam situasi ini, menari seakan menjadi sebuah katarsis bagi para pengayau karena sebelumnya mereka berada dalam kondisi ketakutan dan kekhawatiran. Mereka takut jikalau mengalami kekalahan dan akhirnya mati dan dipenggal kepalanya oleh musuh. Menari juga menjadi katarsis masyarakat karena sebelumnya mereka berada dalam ketakutan akan kehilangan suami atau anak-anak mereka. Kematian dalam konteks ini menjadi sebuah kondisi yang mencekam karena disadari secara langsung dan dalam kondisi yang mengerikan.
  • Nilai kekuasaan. Nilai ini tercermin dalam anggapan suku Dayak Iban bahwa ketika para pengayau banyak membawa pulang kepala musuh berarti wilayah kekuasaan mereka bertambah luas. Anggapan ini tentu saja tidak berlebihan karena memang jikalau musuh dapat ditaklukkan konon setelah itu, musuh akan menjadi pengikut suku yang memenangkan perang (menjadi tawanan). Dalam konteks ini, kekuasaan menjadi tujuan material yang menggiurkan dan membanggakan bagi suku.
  • Nilai tanggung jawab sosial. Penting untuk dipahami bahwa salah satu tujuan mengayau adalah sebagai perwujudan tanggung jawab sosial ketua adat dalam melindungi warganya. Mengayau merupakan sebuah tradisi memotong kepala musuh yang dilakukan ketika jiwa warga dan stabilitas keamanan warga suku terancam. Kepala kampung dan ketua adat tentu harus berusaha melindungi warganya. Dalam kondisi ini, mengayau dianggap sebagai jalan keluar yang sesuai kala itu untuk melindungi warga suku yang terancam jiwanya. Terpotongnya kepala musuh dianggap sebagai terpotongnya peluang pihak musuh untuk membunuh warga suku pemotong. Padahal, tidaklah demikian adanya. Sebenarnya tradisi mengayau akan melahirkan sebuah tradisi pembunuhan yang tiada berakhir karena konon salah satu tujuan mengayau adalah membalas dendam. Terlepas dari efek tersebut di atas, mengayau merupakan cara bertahan, melawan dan membela diri ketika diri dan masyarakat terancam jiwanya.
  • Nilai pendidikan dan penyadaran. Nilai ini tercermin dari tujuan diadakannya upacara adat mengayau sekarang ini. Seperti diketahui, sekarang upacara ini ditujukan untuk beberapa hal, antara lain:
  • Untuk mengikis pemahaman negatif orang di luar suku Dayak tentang tradisi mengayau yang dianggap sebagai tradisi buruk (baca: kanibal atau primitif) orang Dayak khususnya Dayak Iban
  • Untuk memahami makna dari tradisi mengayau yang sesungguhnya, yakni bukan hanya sekadar memotong kepala musuh akan tetapi lebih kepada tanggung jawab sosial dan sakral
  • Untuk memahamkan kepada generasi penerus tentang efek negatif dari tradisi mengayau yang tidak sesuai aturan. Salah satu efek negatifnya adalah munculnya konflik dan banyaknya janda.
9. Penutup
Sebagai sebuah upacara adat yang bertujuan untuk mencari makna dan mengambil sisi baiknya, seperti keberanian, kebanggan, kekuatan, semangat, dan tanggung jawab sosial, upacara adat mengayau penting untuk diapresiasi. Akan tetapi, sebagai sebuah tradisi yang juga mempunyai sisi negatif, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah modern dan berlandaskan Undang-undang Dasar 45, maka tradisi mengayau harus ditinggalkan karena hal itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun demikian, terlepas dari sisi negatif tradisi mengayau tersebut, satu hal yang sangat penting untuk dipahami adalah bahwa Suku Dayak adalah suku yang cinta damai dan bukan suku yang primitif seperti masih banyak dibayangkan oleh orang luar Dayak selama ini. 
(Artikel ini pernah di muat di www.melayuonline.com)
Referensi
Catatan kaki:
  • [1] Mandau terkadang dihias dengan motif tertentu. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya (http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2007/12/30/Perjalanan/index.html).
  • [2] Sebenarnya, pada tahun 1894 dan 1909, pemerintah Belanda memprakarsai kesepakatan antarsesama suku Dayak untuk tidak lagi mempraktekkan tradisi mengayau. Kesepakatan ini dilakukan di Kalimantan Tengah dan dikenal sebagai perjanjian Tumbang Anoi. Namun, tampaknya kesepakatan ini tidak berpengaruh hingga terjadi konflik antara orang Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, beberapa tahun lalu.

Komentar

Postingan Populer