Hoing Temodok: Upacara Penyucian Diri Ibu Hamil Suku Lamaholot, Nusa Tenggara Timur

Oleh Empuesa

Hoing temodok adalah upacara pembersihan diri yang dilakukan oleh suami dan isterinya yang sedang hamil, agar proses kelahiran bayinya dapat berjalan dengan lancar, tidak diganggu oleh roh jahat, dan diberikan keturunan yang baik. Upacara hoing temodok hingga kini masih dilakukan oleh beberapa keluarga suku Lamaholot yang tinggal di Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

1. Asal-usul

Secara semantik, kata hoing berarti membersihkan dan temodok berarti benda penghalang (batu atau kayu) yang menyebabkan kaki terantuk jika melawatinya. Arti di atas hanyalah sebuah metafora, hoing temodok secara umum diartikan sebagai upacara pengakuan dosa yang dilakukan oleh suami dan isterinya yang sedang hamil selama hidupnya kepada penguasa langit dan bumi, yakni Lera Wulan Tana Ekan.

Upacara hoing temodok diilhami dari ajaran tradisional suku Lamaholot yang terangkum dalam falsafah Koda-kehirin. Falsafah ini mengajarkan agar manusia Lemaholot selalu menjaga hubungan dengan lera wulan-tanah ekan (langit dan bumi: Tuhan), lewo tana (kampung halaman beserta segala isinya yang kelihatan dan tidak kelihatan) serta lango uma-suku ekan (sesama saudara yang kelihatan dan tidak kelihatan) (Josep Lagodini Horin dalam http://josniherin.wordpress.com/2010/03/09/kepmimpinan-lamaholot/).

Upacara hoing temodok diselenggarakan oleh suku Lamaholot, yaitu sebuah suku bangsa yang mayoritas tinggal di Flores[1] Timur yang meliputi Flores Timur daratan, Pulau Adonara dan pulau Solor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) (http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=senbud). Dahulu kala, sebelum NTT dikuasai oleh Portugis (1558) dan belum dimasuki oleh penganjur agama Kristen,[2] upacara ini masih sering dilaksanakan. Namun sangat disayangkan, saat ini hanya beberapa keluarga suku Lamaholot saja yang masih setia menyelenggarakan upacara ini (Antonio Pinto da Franca, 2000).

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan fisik dan jiwa suami isteri tersebut, agar dalam proses kelahirannya kelak tidak diganggu oleh roh-roh jahat serta agar diberikan keturunan yang baik. Upacara ini digelar ketika kandungan sang isteri berusia sembilan bulan, yaitu sambil menunggu saat-saat menunggu kelahiran jabang bayi. Saat-saat menanti kelahiran bayi dianggap sebagai saat sakral dan menegangkan, untuk itu agar proses kelahiran tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka perlu diadakan sebuah ritual upacara berupa pembersihan diri dan persembahan kepada dewa (Munandjar Widiyatmaka et al., 1981).

Proses pembersihan ibu hamil ini diwujudkan dalam bentuk pengakuan dosa suami-isteri yang sedang hamil di sebuah tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat penguasa langit dan bumi yang bernama Lera Wulan Tana Ekan. Kepercayaan kepada Lera Wulan Tana Ekan yang telah dianut masyarakat di wilayah itu jauh sebelum Portugis menginjakkan kaki di Larantuka. Kepercayaan ini meluas ke seluruh masyarakat Lamaholot dan menjiwai seluruh kehidupan mereka, baik dalam pembacaan mantra, syair, maupun pantun tradisional (Kompas, Senen, 12 April 2010).

Upacara hoing temodok terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengakuan dosa kepada Lera Wulan Tana Ekan, pembersihan diri oleh imam upacara (Marang), persembahan sesaji kepada roh-roh leluhur (huke), pelaksanaan upacara pemberian motivasi jasmani dan rohani kepada isteri yang hamil (gelete geluwer), serta ditutup dengan makan bersama. Urutan pelaksanaan upacara ini tidak boleh tertukar, karena jika hal itu terjadi maka upacara dianggap tidak sah, tidak sakral, dan melanggar adat (Munandjar Widiyatmaka dkk., 1981).

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan upacara hoing temodok dimulai pada pagi hari. Waktunya bertepatan dengan saat kandungan seorang perempuan berusia sembilan bulan, yakni ketika menunggu detik-detik kelahiran jabang bayi. Jika telah tiba waktunya, keluarga, suami, sanak saudara, kepala suku dan imam upacara (Marang), mulai sibuk mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan upacara ini. Waktu upacara ini tidak boleh dimajukan atau dimundurkan karena memang waktu inilah yang sudah ditentukan oleh adat.

Selanjutnya, dikarenakan upacara hoing temodok berisi ritual-ritual dan dilakukan dalam beberapa tahap, maka tempat pelaksanaan upacara juga berbeda-beda. Tahap-tahap pelaksanaan upacara ini antara lain:
  • Tahap pengakuan dosa kepada Lera Wulan Tana Ekan dilaksanakan disebuah tempat yang disebut korke. Di tempat tersebut terdapat sebuah tiang yang disucikan. Tiang ini biasanya digunakan untuk berdoa kepada Lera Wulan Tana Ekan.
  • Tahap pembersihan diri oleh Marang dilakukan di rumah kepala suku. Selanjutnya tahap persembahan sesaji kepada roho-roh leluhur dilaksanakan di tempat-tempat keramat.
  • Tahap pemberian motivasi kepada isteri yang sedang hamil (gelete geluwer), dilakukan di rumah kepala suku. Sedangkan pada tahap terakhir, yaitu makan bersama dilakukan di tempat-tempat yang keramat.
Dalam upacara hoing temodok ini, waktu dan tempat upacara tidak boleh ditukar-tukar. Jika hal itu terjadi, maka upacara dianggap tidak sah dan harus diulang. Selain itu, penukaran waktu juga akan menghilangkan nilai kesakralan upacara ini.

3. Pemimpin dan Peserta Upacara

Meskipun upacara hoing temodok bersifat pribadi, yakni hanya dilakukan oleh suami dan isterinya yang sedang hamil, namun pelaksanaan upacara ini menjadi upacara kolektif yang melibatkan masyarakat suku Lahaholot. Dalam konteks ini, upacara adat selain menjadi ruang spiritual pribadi juga menjadi ruang sosial.

Upacara hoing temodok dipimpin oleh kepala suku dan imam upacara yang disebut Marang. Kepala suku bertugas saat pembersihan diri di rumahnya, dan Marang menjadi pemimpin saat pemberian motivasi pada isteri yang sedang hamil dan persembahan sesaji untuk roh-roh leluhur di tempat-tempat keramat. Meskipun memiliki tugas yang berbeda, namun kedua pemimpin tersebut harus ikut serta hadir dalam setiap pelaksanaan tahap upacara. Hal ini dikarenakan keduanya yang memberi perintah pada setiap tahap pelaksanaan upacara tersebut.

Upacara hoing temodok disaksikan oleh masyarakat dan sanak keluarga suami isteri yang sedang hamil. Masyarakat tidak hanya sekedar menyaksikan akan tetapi juga ikut aktif dalam upacara tersebut. Hal ini terlihat ketika ikut berdoa dan mengantarkan sesaji ke tempat-tempat keramat serta ikut makan bersama.

Melihat banyaknya peserta, upacara ini satu sisi merupakan sebuah ruang meditasi dan introspeksi suami-isteri yang sedang hamil atas segala dosa yang pernah mereka lakukan, dan dari sisi yang lain juga merupakan sebuah perayaan kegembiraan mereka berdua karena akan diberi momongan. Maka dari itu, para peserta yang hadir ikut memberi doa sekaligus juga ikut bersuka cita atas kebahagiaan yang dirasakan oleh suami-isteri tersebut.

4. Peralatan dan Bahan

Meskipun diselenggarakan dalam beberapa tahap yang berbeda, upacara hoing temodok secara umum memerlukan peralatan dan bahan yang cukup sederhana. Hal ini dikarenakan upacara ini hanya berpusat pada kesiapan (kebersihan jiwa) suami-isteri yang sedang hamil tersebut untuk mengaku dosa dan berjanji tidak mengulanginya.

Upacara hoing temodok hanya memerlukan dua alat sederhana, yaitu:
  • Wadah untuk tempat sesaji yang terbuat dari daun lontar
  • Wadah untuk tempat makanan
Adapun bahan-bahan yang dibutuhan terbagi dalam dua hal, yaitu bahan yang harus ada dan bahan yang hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara. Bahan-bahan yang harus ada tersebut meliputi:
  • Brika, yaitu benang merah yang dianggap simbol penenang jiwa ibu yang sedang hamil
  • Braha, yaitu kapas yang digulung kecil-kecil berbentuk lonjong. Braha berfungsi sama dengan brika, yaitu penenang jiwa ibu yang sedang hamil.
  • Seekor ayam jantan untuk disembelih sebagai lauk makan bersama
  • Beberapa butir telur ayam yang hampir menetas sebagai simbol bayi yang akan lahir
  • Anak ayam yang berumur satu atau dua hari sebagai simbol bayi yang telah lahir
  • Sebiji kemiri untuk dihaluskan lalu dilumurkan ke badan suami dan isterinya yang sedang hamil sebagai penolak roh jahat.
Adapun bahan-bahan yang fungsinya hanya sebagai pelengkap upacara meliputi:
  • Beras merah untuk bahan sesaji
  • Arak untuk diminum ketika upacara usai
  • Sirih pinang untuk pesta sesusai upacara
  • Tembakau untuk disajikan pada tamu sesusai upacara
5. Proses Pelaksanaan

Proses pelaksanaan upacara hoing temodok secara umum terbagi dalam tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Proses pelaksanaan upacara ini tidak boleh ditukar-tukar, jika hal itu dilakukan maka upacara dianggap tidak sah dan harus diulang dari awal. Maka dari itu, di sinilah letak pentingya kepala suku dan imam upacara (Marang) sebagai pemberi perintah.
a. Persiapan

Pada tahap persiapan ini biasanya dimulai dengan menyiapkan segala alat dan bahan-bahan yang diperlukan dalam pelaksanaaan upacara nanti. Aktivitas ini dilakukan oleh suami dari isteri yang sedang hamil dan dibantu oleh sanak saudara dan gotong royong masyarakat.

Setelah alat dan bahan-bahan selesai dipersiapkan, sang suami dan kepala suku bermusyawarah untuk merundingkan kapan waktu yang tepat untuk melakukan upacara hoing temodok. Setelah itu, kepala suku menyampaikan kepada panitia upacara (keluarga) agar mereka bersiap untuk melakukan upacara pada waktu yang telah disepakati. Jika semua pihak, alat dan bahan sudah siap semua, pelaksanaan upacara hoing temodok segera dimulai.

b. Pelaksanaan upacara

1) Tahap pengakuan dosa

Pelaksanaan upacara hoing temodok dimulai saat pagi hari. Pertama-tama suami dan isterinya yang hamil terlebih dahulu pergi ke korke untuk mengakui segala dosanya kepada Lera Wulan Tana Ekan. Doa berupa permohonan agar Lera Wulan Tana Ekan mengampuni semua dosa yang telah diperbuat oleh suami isteri tersebut selama hidup mereka.

Pengakuan dosa dilakukan di bawah tiang suci yang biasa dipakai oleh masyarakat Lamaholot berdoa kepada Lera Wulan Tana Ekan. Tiang ini memang diciptakan oleh suku Lemaholot sebagai simbol tuhan mereka.

2) Tahap pembersihan suami isteri

Setelah pengakuan dosa selesai dilaksanakan, suami isteri yang sedang hamil tersebut kemudian pergi ke rumah kepala suku. Pada mulanya, sebelum kedatangan suami isteri ini, di rumah kepala suku sudah dilakukan beberapa persiapan, seperti memasak nasi. Nasi yang sudah dimasak kemudian diambil sedikit untuk dijadikan mati (sesaji). Beberapa ibu-ibu juga sudah membuat wadah sesaji dari daun lontar dan menyiapkan telur ayam untuk sesaji sebagai persembahan kepada roh-roh leluhur dan dewa.

Upacara di rumah kepala suku diawali dengan ucapan pengakuan dosa kembali oleh suami isteri kepada imam upacara (Marang). Setelah itu Marang mengambil braha dan brika serta secara simbolis menyapukan keduanya (braha dan brika) dari depan suami-isteri tersebut berdiri hingga ke belakang mereka sambil mengucapkan doa.

Setelah pengucapan doa selesai, Marang kemudian membawa braha dan brika tersebut ke luar kampung untuk dibuang. Pembuangan ini merupakan simbol pembuangan dosa suami isteri tersebut.

3) Tahap pemberian sesaji persembahan ke roh-roh leluhur

Setelah Marang membuang braha dan brika ke luar kampung, Marang yang diikuti oleh suami dan masyarakat kemudian membawa sesaji-sesaji yang sudah dipersiapkan ke tempat-tempat yang dianggap keramat sebagai persembahan kepada roh-roh leluhur. Peletakan sesaji ini diiringi doa oleh Marang. Doa yang dibaca berupa doa permohonan agar roh-roh jahat tidak mengganggu ibu yang sedang hamil tersebut.

4) Tahap penguatan jasmani dan rohani istri yang sedang hamil (gelete geluwer)

Setelah memimpin pesembahan sesaji dan doa di tempat-tempat keramat, Marang kembali ke rumah kepala suku untuk melaksanakan upacara gelete geluwer, yaitu upacara yang bertujuan memberikan kesegaran jasmani dan rohani ibu yang sedang hamil agar nantinya siap dan kuat saat melahirkan.

Upacara ini diawali dengan pemotongan seekor ayam jantan yang telah disiapkan. Kemudian darah ayam dioleskan ke warada, yaitu tempat ibu melahirkan, serta dioleskan juga pada kemiri yang telah disiapkan sebelumnya. Oleh Marang, kemiri tersebut selanjutnya dipecah dan isinya dikunyah bersamaan dengan sirih dan pinang hingga hancur. Hasil kunyahan tersebut selanjutnya dioleskan dengan bentuk tanda silang ke dahi dan dilumurkan ke seluruh badan ibu yang sedang hamil. Hal ini merupakan simbol perlindungan dan penolakan terhadap roh-roh jahat yang dapat mengganggu ibu yang sedang hamil saat kelahiran kelak.

Tahap ini diakhiri dengan mengantarkan sesaji berupa makanan yang sudah dimasak ke tempat-tempat keramat. Sesaji yang dibawa berupa beberapa potong daging dan hati ayam, arak, sirih pinang, dan tembakau.

c. Penutup

Upacara hoing temodok ditutup dengan makan sirih pinang bersama dan dilanjutkan dengan makan nasi bersama di rumah suami isteri yang sedang hamil. Acara ini merupakan simbol kebersamaan dan perayaan kebahagiaan bersama.
6. Doa-doa

Dalam upacara hoing temodok ini, banyak doa yang dipanjatkan. Salah satu doa yang biasa disenandungkan tersebut berbunyi sebagai berikut.
Koda ekan rua telo, kiring ekan pa lima, go pate nuhut helo wowa, hue nuhu gie wewel, go gute braha rera wulan pile brika tana ekan, deink ala pate nuhu sadik kala helo wowa, nuhu peen bu’ butung rera wulan, koda peen hapun roran tana ekan.
Artinya: kalau anda sudah terlanjur bicara mengakulah akan kesalahanmu dengan jujur, mulutmu yang terlanjur bicara dan lidahmu yang bisa berbohong, kubersihkan dengan kapas putih dari Tuhan, karena Tuhan menghendaki demikian, semoga hati bersih seperti kapas sehingga kamu layak dihadapan-Nya.

7. Pantangan atau Larangan

Upacara hoing temodok memberikan pantangan dan larangan yang harus ditaati, baik untuk suami maupun isteri yang sedang hamil. Larangan dan pantangan tersebut adalah sebagai berikut.

a. larangan untuk suami
  • Dilarang membawa tali pengikat bambu yang biasa dilingkarkan di leher untuk mengikat bambu pada pohon lontar yang berfungsi sebagai tangga memanjat pohon nira. Sebagai gantinya, tali tersebut diikatkan pada pinggang. Hal ini dimaksudkan agar tali pusar bayi tidak melilit di lehernya.
  • Dilarang pulang larut malam, karena dikhawatirkan akan ada roh-roh jahat yang mengikutinya
b. larangan untuk isteri yang sedang hamil
  • Dilarang makan gurita, baik gurita kecil maupun besar. Hal ini dimaksudkan agar saat kelahiran, tali pusar tidak membelit badan atau leher bayi seperti halnya jari-jari gurita yang melekat pada tangannya. Jika hal ini terjadi, maka akan menimbulkan bencana bagi si ibu maupun bayi.
  • Dilarang makan daging kera (munak) agar jika dewasa kelak bayi tersebut tidak seperti kera yang suka mencuri.
  • Dilarang makan daging babi landak karena dikhawatirkan akan merepotkan ibunya ketika melahirkan, seperti orang yang makan dan tenggorokannya tersangkut duri (seperti duri landak).
  • Dilarang makan buah pisang yang buahnya berdempetan agar bayi yang lahir tidak cacat seperti berdempet.
  • Dilarang duduk di depan pintu, karena pintu merupakan pintu masuk orang termasuk roh halus. Larangan ini dikhususkan pada sore hari, karena saat itu merupakan waktu keluarnya roh jahat mencari mangsa khususnya bayi.
  • Dilarang duduk di atas periuk (kenali), karena dikhawatirkan bayi akan lahir menjadi abnormal seperti lumpuh atau kakinya terlipat.
  • Dilarang duduk di dekat tungku api karena dikhawatirkan terbakar.
  • Dilarang mengambil kayu bakar yang masih terikat. Jika ingin diambil, ikatannya harus dibuka terlebih dahulu. Hal ini dikhawatirkan tali pusar bayi melilit kaki, tangan, atau lehernya.
  • Dilarang keluar malam hari. Jika terpaksa keluar, perempuan yang hamil tersebut dianjurkan menyelipkan kulit kapok pada pangkal konde rambutnya agar tidak diganggu roh jahat.
  • Dilarang mengunjungi orang meninggal karena dikhawatirkan roh yang meninggal mengganggu bayi yang berada di dalam kandungan.
8. Nilai-nilai

Bagi suku Lamaholot, upacara hoing temodok bukan hanya sekedar upacara ritual, akan tetapi sebuah upacara yang memiliki nilai-nilai positif, baik bagi individu pelaksana upacara maupun masyarakat. Nilai-nilai yang dapat dipetik dari pelaksanaan upacara hoing temodok ini antara lain:
  • Nilai spiritualitas dan sakralitas. Nilai tampak sekali pada tujuan dari diadakannya upacara hoing temodok ini, yakni sebagai ruang untuk pembersihan diri suami dan isterinya yang sedang hamil dari semua dosa yang pernah mereka lakukan agar bayi yang dikandung dapat lahir secara lancar dan diberikan keturunan yang baik. Mencermati tujuan ini, maka satu hal ingin dicapai dari pelaksanaan upacara ini adalah bersihnya diri suami atau isteri yang sedang hamil secara jiwa dengan cara mendekatkan diri kepada dewa Lera Wulan Tana Ekan. Tentu ini bertujuan sebagai penguatan spiritual suami dan isterinya yang sedang hamil tersebut. Tuhan dianggap sebagai sandaran puncak yang dapat memberi pertolongan kepada mereka berdua pada saat kelahiran kelak. Kedua nilai ini, juga terefleksi dari doa-doa yang dipanjatkan serta persembahan sesaji untuk roh-roh leluhur di tempat-tempat yang dikeramatkan.
  • Nilai ketaatan pada aturan adat. Upacara hoing temodok dilaksanakan karena masyarakat Lamaholot mentaati aturan yang telah ditetapkan oleh adat. Dalam konteks ini, adat dianggap dapat menjadi pengatur kehidupan mereka sesuai dengan aturan yang dimaui oleh Lera Wulan Tana Ekan. Melalui kepala suku dan imam upacara, pelaksanaan upacara hoing temodok memiliki nilai tertentu bagi suami atau isteri yang sedang hamil, yaitu bahwa mereka telah mentaati adat. 
  • Nilai kebersamaan. Nilai ini tampak sekali dalam pelaksanaan upacara yang disaksikan oleh masyarakat yang ikut aktif dalam upacara tersebut. Selain sebagai peserta, masyarakat satu sisi terlihat juga ikut serta dalam perayaan kebahagiaan yang dirasakan oleh suami dan isterinya yang sedang hamil. Mereka berdua berbahagia karena sebentar lagi mereka akan dikaruniai keturunan. Upacara yang penuh kebersamaan tentu saja akan berpengaruh terhadap menguatnya solidaritas dan kebersamaan serta menguatkan identitas kekeluargaan mereka sebagai sebuah suku besar.
  • Nilai kasih sayang suami terhadap isteri dan penghormatan terhadap kaum perempuan. Pelaksanaan upacara hoing temodok jika dicermati juga memuat nilai ini. Meskipun sudah menjadi aturan adat, pelaksanaan upacara ini sangat bergantung pada kesiapan suami untuk ikut mengakui dosanya agar anak yang dikandung isterinya dapat lahir selamat dan menjadi anak yang baik. Hal ini dapat dibayangkan jika suami tersebut tidak ikut terlibat, tentu saja berdasar kepercayaan suku Lamaholot proses kelahiran akan tidak berjalan lancar dan anak yang dilahirkan akan menjadi anak yang tidak baik. Maka dari itu, suami yang mau ikut terlibat dalam upacara ini merupakan suami yang sayang kepada isterinya.
9. Penutup
Sebagai sebuah upacara yang bertujuan untuk mendoakan isteri yang akan melahirkan dan penghormatan terhadap kaum perempuan, upacara hoing temodok telah mengajarkan bahwa perempuanlah yang sebenarnya melahirkan kehidupan manusia. Berdasar realitas ini, tampaknya sadar gender telah dipahami oleh suku Lamaholot sejak lama. Realitas ini juga menyadarkan kepada kita bahwa adat istiadat suku zaman dahulu tidak kalah dengan apa yang didengungkan oleh orang modern. Dalam konteks ini, kajian terhadap adat istiadat suku-suku zaman dahulu penting untuk terus dilakukan.
(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Antonio Pinto da Franca, 2000. Pengaruh Portugis di Indonesia. Diterjemahkan oleh Pericles Katoppo dari Portuguese Influence in Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Hans J Daeng, 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Anropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Jhon Ghono, 1992. Nilai Religius Budaya NTT Sebelum dan Sesudah Masuknya
  • Pengaruh Kristianitas. Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian Budaya Lokal. Yogyakarta: Forum Studi Eureka.
  • Kornelis Kewa Ama/Arbain Rambey. Kompas, Minggu, 11 April 2010. Berita tentang Jejak Silang Budaya LARANTUKA.
  • Munandjar Widiyatmaka dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
  • Stephanus Osias Fernades, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.
  • Yoseph Yapi Taum, 2002. Rasa religiositas orang Flores: Sebuah Pengantar ke Arah Inkulturisasi Musik Liturgi. Makalah Sarasehan 'Rasa Religiositas Orang Flores' yang diselenggarakan oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, tanggal 15 Januari 2002.
  • Yoseph Lagadoni Herin. Kepemimpinan Lamaholot (online). Terdapat di http://josniherin.wordpress.com/2010/03/09/kepmimpinan-lamaholot/. (Diunduh tanggal 15 April, 2010).
  • Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Budaya Nusa Tenggara Timur (online). Terdapat di http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=senbud. (Diunduh tanggal 18 April 2010).
  • Pemerintah Kabupaten Flores Timur. Sekilas Flores Timur (online). Terdapat di http://www.florestimurkab.go.id/florestimur/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=101. (Diunduh tanggal 19 April 2010).
Catatan kaki:
  • [1] Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, Orinbao (1969) lewat sebuah studi yang cukup mendalam mengungkapkan, bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores (Yoseph Yapi Taum, 2002).
  • [2] Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor (Yoseph Yapi Taum, 2002).

Komentar

Postingan Populer