Nginum Brem

Brem adalah bahasa Sasak untuk menyebut sebuah nama minuman tradisional yang terbuat dari ketan putih atau hitam, yang difermentasi. Sejarah mencatat brem sudah dikenal manusia sejak berabad-abad lamanya.

Prolog

Sejak berangkat dari Yogyakarta menuju pulau Lombok, saya sudah merindukan ingin cepat-cepat pergi ke Bayan, jika sudah tiba di Lombok kelak. Bayan adalah sebuh kampung yang dihuni oleh sekelompok orang yang masih memegang adat budaya leluhur hingga kini. Bayan yang diterangkan oleh dosen saya di Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada begitu menarik, eksotis, dan asli. Konon keseharian masyarakatnya masih senang memakai pakaian adat, apalagi saat melaksanakan upacara adat. Nama-nama masyarakatnya masih memakai nama-nama zaman dahulu, lengkap dengan gelarnya. Misalnya Raden Sumbawa, Raden Kertanji, Raden Anom, Dende Ayu, Dende Widoh, juga Dende Ratnisah.[1]

Satu hal yang membuat saya semakin ingin melihat Bayan dari dekat adalah cerita bahwa orang Bayan mempunyai tradisi minum brem (mereka menyebutnya nginum brem), tradisi ini konon selalu menyertai upacara ritual adat mereka. Brem adalah sebutan untuk minuman produksi rumahan yang terbuat dari ketan putih atau hitam, jika diminum badan akan terasa hangat dan sensasi yang melambung. Konon brem, ritual adat dan orang Bayan tidak dapat dipisahkan, ketiganya seakan dua sisi mata uang. Namun tradisi ini dalam konteks kehidupan orang Sasak yang mayoritas muslim dianggap menyimpang.

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat tradisi minum brem secara apa adanya (fenomenologi),[2] seperti kejadian yang dialami (experienced) orang Bayan sendiri. Dalam hal ini pengalaman (experience) manusia menempati posisi sentral bagi penyelidikan (Simatupang. 2007). Brem dan tradisi minum brem saya bayangkan sebagai media yang dipakai oleh orang Bayan untuk menikmati ritual adat, sehingga dapat berinteraksi dengan dunia spiritual, yang memiliki kebijakan lokal atau local knowledge dalam istilah Geertz (1986), yang hanya bisa difahami oleh orang Bayan sendiri.

Sekilas Tentang Orang Sasak dan Orang Bayan 

1. Orang Sasak atau Lombok

Orang atau suku Sasak yang saya maksud menunjuk pada dua batasan yaitu, pertama secara administratif imajinatif orang-orang yang hidup di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kedua secara imajinatif budaya terikat dengan adat dan kebudayaan Sasak, siapapun dan dimanapun mereka berada. 

Folklore Sasak menuturkan sebutan Sasak mengacu pada nama sampan (Sak-sak) yang dipakai oleh orang yang pertama kali datang di pulau Lombok, dan akhirnya beranak pinak hingga menjadi orang Sasak sekarang ini. Namun pendapat lain mengatakan, konon orang Sasak asli itu sudah tidak ada, karena pasca meletusnya gunung Rinjani ribuan tahun silam menyebabkan banyak orang Sasak meninggal dunia, dan yang ada sekarang ini adalah para pendatang baru dari Jawa, Sumbawa, Bima dan Sulawesi (Budiwanti. 2000. Ali 2008). Nama Lombok sendiri sudah disebut dalam kitab Negara Kretagama karangan Empu Prapanca dari Majapahit untuk menyebut sebuah pulau dekat Bali.

Orang Sasak memiliki bahasa daerah yang disebut Bahasa Sasak, yang mempunyai lima macam logat yaitu logat Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), dan Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan). Sekilas saya dengarkan, bahasa Sasak ada kesamaan dengan bahasa Jawa seperti pawon (dapur), nggih (ya), lawang (pintu), dan sugeng rawuh (selamat datang).

Mayoritas orang Sasak beragama Islam. Mereka yang beragama Hindu dan Budha terpusat dikantong-kantong tertentu seperti di Lombok Barat dan Lombok Tengah, dan sangat sedikit yang beragama kristen. Kebudayaan Sasak saat ini masih cukup terjaga, terbukti dari masih sering dipentaskan dalam berbagai peristiwa, seperti ulang tahun kota, provinsi, saat merariq, lomba-lomba, juga festival. [3] Saya melihat tarik menarik antara kebudayaan tradisional dengan ajaran agama masih berlangsung hingga sekarang. Dalam ranah tertentu ajaran agama yang diwakili oleh Nahdatul Wathan dan Muhammadiyah sangat kuat, karena didukung mayoritas dan para Tuan Guru[4] dan da’i[5] yang terkadang diatangkan dari luar Lombok. Namun dalam ranah tertentu budaya tradisional memberi perlawanan (walaupun tidak secara langsung), yang cukup netral, seperti yang dilakukan oleh orang Bayan.

2. Orang Bayan

Orang Bayan yang saya maksud dalam tulisan ini merujuk pada dua batasan yaitu, pertama secara administratif imajinatif yaitu mereka yang hidup dan tinggal di sebuah desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Kedua secara imajinatif budaya terikat pada adat dan kebudayaan Bayan, dalam hal ini adalah siapapun yang terikat dengan adat dan budaya Bayan, dan dimanapun mereka berada. Orang Bayan juga disebut orang Sasak, karena suku yang tinggal di pulau Lombok disebut dengan orang Sasak dan berbahasa Sasak.

Bayan terletak di sisi utara gunung Rinjani, gunung yang sakral dalam imajinasi orang Sasak umumnya. Sebelumnya Desa Bayan masuk ke dalam Daerah Administrasi Kabupaten Lombok Barat, namun sejak tahun 2007 terjadi pemekaran daerah otonom baru, sehingga Bayan masuk menjadi daerah Administrasi Kabupaten Lombok Utara yang baru. [6]

Profil Desa Bayan yang tergantung di kantor Desa Bayan memperlihatkan bahwa Bayan juga merupakan kecamatan, didalamnya terdiri dari delapan desa yaitu desa Bayan, Loloan, Sambik Elen, Akar-akar, Senaru, Ancak, dan Mumbul Sari. Bayan sendiri terdiri dari lima dusun yaitu Bayan Timur (disebut juga Bayan Beleq, karena jika acara adat semua desa berkumpul di Dusun ini), Sembulan, Mandala, Teres Genit, dan Dasan Tutul. Khalayak umum di Indonesia dan Lombok, orang Bayan di sebut juga orang wetu telu, yaitu sebuah komunitas yang mempraktekkan ajaran Islam, namun berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya.

Berdasar hasil obrolan saya dengan Raden Kertanji dan beberapa orang Bayan, mereka tidak mau disebut dan menyebut diri mereka orang wetu telu, mereka sendiri tidak tahu wetu telu itu apa.
“Yang kami tahu adalah kami menjalankan ajaran Islam yang pernah diajarkan oleh nenek moyang kami dahulu dan itu kami anggap benar”. Kata Raden Edi (obrolan, 1 Januari 2007).
Orang Bayan sendiri lebih suka menyebut dirinya orang Bayan, karena Bayan dalam bahasa Arab berarti jelas atau penjelas. Istilah wetu telu baru mereka tahu setelah ada orang yang bertanya dan adanya tulisan dari seorang peneliti Belanda bernama Van Baal. [7] Maka dari itu dalam tulisan ini saya memilih memakai istilah Bayan untuk menghormati mereka.

Selain masih sering melaksanakan adat, Bayan juga terkenal karena di desa tersebut masih berdiri dua bangunan yang disakralkan yaitu bale adat dan masjid adat Bayan yang konon berusia tiga ratus tahun (orang umum menyebut masjid kuno). Disakralkan karena keduanya merupakan peninggalan leluhur yang harus dihormati, untuk itu tidak boleh orang masuk sembarangan, kaum perempuan kalau ingin masuk tidak boleh jika sedang haid, berpakaian adat dan harus diantar oleh kyai atau pemangku adat. 

Bale adat terletak di tengah Dusun Bayan Timur, didalamnya berdiri pula beberapa berugaq [8] tempat tamu, dapur dan tempat bertemu antara raja dan masyarakat, semuanya masih terawat dengan baik. Memang bale adat dianggap orang Bayan sebagai kerajaan kecil Bayan pada zaman dahulu, tempat leluhur orang Bayan ketika masih sedikit.

Sedangkan masjid adat terletak di dataran tinggi, di pinggiran Dusun Bayan Timur. Masjid ini dianggap sebagai tempat beribadah pertama kali, ketika orang Bayan mendapatkan ajaran Islam yang dalam sejarahnya konon di ajarkan oleh Sunan Prapen putra Sunan Giri, salah satu wali sembilan pendakwah Islam di Jawa. Sekitar masjid terdapat lima kuburan yang dianggap sebagai kuburan pengikut Sunan Prapen. 

Saat ini, bangunan masjid sudah mulai rusak, dan tidak dipakai lagi, hanya halaman masjid masih dipakai untuk arena perisean saat menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW bulan maulud.
Bale dan masjid adat, keduanya menjadi ikon bagi tradisi budaya Bayan, menjadi alasan para turis, mahasiswa dan peneliti datang. Selain keduanya, di Bayan saya melihat satu hal yang lebih menarik, yaitu brem dan tradisi meminumnya.

Orang Bayan dalam Persepsi Orang Lombok

Mayoritas orang Lombok (self) beragama Islam. Ajaran Islam yang banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku orang Lombok adalah yang dikembangkan oleh dua kelompok organisasi besar Islam yaitu Nahdatul Wathan (NW) dan Muhammadiyah. [9] Kedua pengikut organisasi ini umumnya menganggap Islam yang dianut orang Bayan berbeda (others) dari Islam yang mereka anut, Islam orang Bayan mereka sebut Islam wetu telu, sedangkan Islam orang Lombok umumnya disebut Islam wetu lima.[10]

NW dan Muhammadiyah bersepakat, bahwa Islam yang difahami orang Bayan salah, karena masih bercampur dengan kebudayaan nenek moyang dan kadang tidak sesuai dengan perintah Islam. Muhammadiyah menyebut mereka masih melakukan syirik (menyekutukan Allah) dan bid’ah (melakukan sesuatu ajaran yang di zaman Nabi tidak ada). NW menganggap melihat masih melakukan kegiatan haram dan tidak sesuai denga ajaran Islam yang sesungguhnya seperti minum brem (disamakan dengan kamer) sambil perisean atau gendang beleq, atau membaca Alquran sambil minum brem.

Kedua kelompok organisasi Islam terbesar di Lombok ini sejak duhulu hingga sekarang, melakukan ekspansi ajarannya ke Bayan, dengan tujuan “mengIslamkan” orang Bayan yang menurut mereka belum Islam secara sempurna. Jika dapat menyadarkan orang Bayan untuk meninggalkan tradisi mereka, itu adalah sebuah kemenangan Islam atas kesyirikan. Ekspansi dilakukan dengan mengirimkan para da’i untuk berceramah di masjid-masjid dekat kampung Bayan (di Bayan memang tidak ada masjid selain masjid kuno adat), mengirimkan mahasiswa untuk kuliah kerja nyata (KKN) di Bayan, atau membeli tanah untuk didirikan pesantern di kampung dekat Bayan.

Kira-kira tahun 2007, seorang Haji dari desa tetangga sengaja membeli tanah dan mendirikan pesantren serta masjid di dusun Bayan Barat, bersebelahan dengan dusun Bayan Timur atau Bayan beleq (hanya dipisah jalan raya). Tujuannya tentu saja untuk “mengIslamkan” orang Bayan. Saat ini pesantren telah dihuni kurang lebih sepuluh santri. Walaupun Dusun Bayan Barat sendiri sebenarnya masih termasuk desa adat Bayan, para pemangku adat dan kyai tidak melarang pendirian bangunan tersebut, bagi mereka membeli tanah dan mendirikan bangunan adalah hak setiap orang dan itu tidak bertentangan dengan adat Bayan, karena orang Bayan merasa mereka juga beragama Islam, dan masjid adalah simbol Islam.

Pemahaman Islam yang berbeda serta perilaku keIslaman orang Bayan yang kadang memakai simbol-simbol Islam ini, tampaknya meresahkan umat Islam pemeluk kedua organisasi Islam terbesar ini, karena mereka merasa memiliki pemahaman yang benar dan terpercaya tentang Islam sesungguhnya (rezim of truth). Perilaku keagmaan seperti membaca Alquran dengan irama seperti orang Hindu membaca mantra, menyalakan dupa, merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan bermain perisean dan minum brem, sembahyang dengan memakai pakai adat, serta berdo’a sambil menenggak brem adalah perilaku yang “tidak Islami”.

Diantara berbagai praktek tradisi orang Bayan, tradisi minum brem adalah tradisi orang Bayan yang paling mudah dilihat. Brem selalu gampang dilihat dan menjadi kesan pertama, karena brem selalu menyertai ritual adat Bayan. Tampaknya dari tradisi minum brem inilah, stigma negatif tentang orang Bayan semakin menguat. Hingga saat ini, stigma negatif itu belum berubah. Sebenarnya apakah itu brem dan bagaimana orang Bayan memahami brem?

Brem

Brem adalah bahasa Sasak untuk menyebut sebuah nama minuman tradisional yang terbuat dari ketan putih atau hitam, yang difermentasi. Sejarah mencatat brem sudah dikenal manusia sejak berabad-abad lamanya. Seperti terekam dalam buku Prof. Dr. Slamet Mulyana (2007) Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, karangan Empu Prapanca, pada pupuh ke 90 halaman 401-402 berikut ini

Dihidangkan santapan untuk orang banyak
Makanan serba banyak serta serba sedap
Berbagai bagai ikan laut dan ikan tambak
Berdera cepat datang menurut acara
Daging katak, cicak, keledai, tikus, anjing
Hanya dihidangkan kepada para penggemar
Karena asalnya dari pelbagai desa
Mereka diberi kegemaran biar puas
Mengalir pelbagai minuman keras segar
Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya
Itulah hidangan minuman yang utama
Wadahnya emas berbentuk aneka ragam
Porong dan guci berdiri terpencar pencar
Berisi minuman keras dari aneka bahan
Beredar putar seperti air mengalir
Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk
Merdu merayu nyanyian para biduan
Melagukan puji pujian Sri Baginda
Makin deras peminum melepaskan nafsu
Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau
Dalam bait-bait syair Negara Kretagama di atas jelas sekali disebutkan bahwa brem dipakai untuk hidangan minuman yang utama, dalam perjamuan makan kerajaan zaman itu. Brem hanyalah salah satu minuman keras yang dihidangkan, dan itu ditujukan untuk menghormati tamu yang berasal dari berbagai desa.

Di Bali brem juga dijadikan alat perjamuan lepas panen dan untuk upacara keagamaan serta obat tradisional (Mika, dan Winarno, 1983). Wujud dan sebutan brem di Bali sama dengan brem di Bayan, terbuat dari ketan putih atau hitam.

Riwut (2007) juga mencatat bahwa leluhur Dayak juga minum brem yang mereka sebut mihup baram. Baram juga berasal dari ketan putih dan hitam. Jika melihat kata brem dan baram yang mirip, dan suku Dayak sudah hidup sejak ratusan tahun silam, maka masuk akal jika brem sudah dikonsumsi manusia sejak lama. Bahkan dapat dikatakan terjadi persebaran kebudayaan kuliner antar suku bangsa, atau mungkin terjadi evolusi minuman tradisonal.

Brem terbuat dari sari ketan putih. Proses membuat brem hampir sama dengan membuat tape dari ketan. Tape ketan adalah ketan yang difermentasi dan brem adalah ketan difermenatsi kemudian diperas. Zohdi (30) salah satu penikmat brem menerangkan pembuatan brem seperti yang dipelajari dari ibunya berikut ini :
“Pertama-tama ketan direndam dengan air dingin, kemudian direbus, seblum sampai matang (jadi bubur), diangkat kemudian disiram pakai air hangat. Kemudian didinginkan dan dicampur dengan ragi (fermentasi) dan ditaruh ditempat yang tertutup. Tunggu sampai beberapa hari maunya. Lama atau tidaknya dibiarkan dalam tempat tertutup, akan mempengaruhi kadar alkohol [11] yang terkandung dalam brem. Kalau untuk hal ini, itu tergantung selera masing-masing orang, apakah ingin yang keras alkoholnya atau yang ringan. Selanjutnya setelah sesuai dengan keinginan, ketan diambil, disiram menggunakan air dingin, terus diperas sambil disaring. Hasil saringan inilah yang disebut brem dan dijadikan minuman”. Kata Zohdi (wawancara, 1 Januari 2007).
Secara umum, brem yang dikonsumsi orang Bayan wujudnya hanya satu, yaitu berwarna putih, terbuat dari ketan, agak cair dan diminum mengiringi acara adat yang dilaksanakan di Bayan. Namun saya menemukan brem mempunyai beberapa jenis jika dilihat dari rasa dan efek setelah meminumnya, yaitu :
  • Brem manis, kategori ringan. Brem dengan warna putih putih cair dengan rasa yang agak manis, maka brem jenis ini tidak cepat membuat pusing kepala dan dikatagorikan oleh orang Bayan sendiri brem ringan, bagi yang tidak biasa minum dianjurkan untuk minum jenis ini jika ingin mencoba.
  • Brem manis mengkejit,[12] kategori biasa. Brem dengan warna putih cair dengan rasa manis agak kecut, maka brem jenis ini jika dikonsumsi oleh pemula juga tidak terlalu membuat pusing, namun bagi yang sudah biasa, jenis tidak berefek apa-apa.
  • Brem manis pahit mengkejit, kategori sedang. Brem dengan warna putih cair, dengan rasa manis dan pahit, maka brem jenis ini jika dikonsumsi pemula akan cepat membuat pusing, namun bagi yang sudah biasa apabila banyak mengkonsumsi akan berefk pada pusing kepala.
  • Brem manis, kecut, pahit mengkejit, kategori keras. Brem dengan warna putih cair, dengan rasa manis, kecut dan pahit. Maka brem ini jika dikonsumsi sedikit saja bagi yang tidak biasa akan menyebabkan pusing. Bagi sudah biasa akan cepat menyebabkan pusing juga.
Biasanya brem disimpan dalam tong besar hingga berhari-hari. Lama dan sebentar penyimpanan brem akan menghasilkan rasa dan kategori brem yang dinginkan. Dalam setiap pelaksanaan acara adat, semua jenis brem di atas selalu tersedia. Brem dan orang Bayan sendiri saya lihat merupakan racikan yang menarik.

Orang Bayan dan Brem

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman hidup bersama dan pengamatan saya ketika tinggal dengan orang Bayan yang tinggal di Desa Bayan dusun Bayan Beleq. Dan semua yang diungkapkan di bawah ini adalah pengetahuan lokal orang Bayan terhadap brem yang mereka minum yang mungkin tidak dapat difahami oleh sisi akademis ilmiah (Geertz, 2003).

Saya menyaksikan brem dan orang Bayan ibarat saudara kembar. Minum brem sudah menjadi tradisi. Tradisi yang saya maksud disini mengikuti apa yang dikatakan Umar Kayam (2000 : 21) adalah sebuah perilaku budaya yang bertahan lama dan diajarkan secara turun temurun, dan disebut tradisi karena merupakan sebuah penerimaan masyarakat kepada “hasil budaya” yang dialihteruskan secara bergenerasi. [13] Saya melihat antara adat, orang Bayan dan brem, sulit untuk dipisahkan Ketiganya menyatu dalam tradisi, menjadi bagian dalam ritus kebudayaan bahkan keagamaan.[14] Brem seakan menjadi minuman wajib yang harus disediakan warga yang akan melaksanakan upacara adat di Bayan. Brem bagi masyarakat Bayan mempunyai fungsi yang beragam, antara lain :

Brem sebagai hidangan untuk menghormati tamu

Orang Bayan kedatangan orang luar seperti turis, mahasiswa, peneliti atau pengunjung biasa, sudah sering sekali. Orang Bayan merasa senang dikunjungi, dan menganggap mereka semua tamu. Kebudayaan Bayan mempunyai tradisi dalam menghormati tamu. Ramah dan akrab dalam menyambut tamu adalah ajaran nenek moyang yang harus dijaga.
“Kita harus menghormati tamu, karena terkadang kita juga pergi ke daerah lain menjadi tamu, biar nanti juga di hormati”. Kata Dende Ayu (obrolan 1 Januari 2007).
Orang Bayan menunjukkan keramahan dan keakraban pada tamu salah satunya dengan cara mengundang siapa saja yang ingin duduk di berugaq rumahnya, berbincang sambil mencicipi hidangan yang disediakan. Selain minuman berupa kopi, teh dan makanan kecil, lazimnya orang Bayan akan menghidangkan brem. Brem dihidangkan dalam teko plastik, ditaruh dalam nampan seng disertai makanan kecil seperti rengginang atau jaja tujak (keduanya seperti krupuk dari ketan). Namun apabila tamu menolak karena menganggap brem seperti minuman keras layaknya alkohol dan dilarang oleh agama, maka orang Bayan tidak memaksa dan tidak menghidangkan. Memang dikalangan masyarakat umum, brem itu diharamkan karena dianggap memabukkan sama seperti minuman keras lainnya, seperti tuak, arak, wisky, vodka atau topi miring. [15]

Selain brem, orang Bayan terkadang juga menghidangkan tuak, minuman produksi rumah juga, terbuat dari air pohon enau yang dicampur dengan kulit kelapa. Tuak baunya agak keras dan tidak sedap, bau tuak yang tidak sedap ini pula yang mengundang persepsi negatif terhadap brem. Tuak juga mempunyai jenis, kategori dan efek yang hampir sama dengan brem. Orang Bayan sendiri tidak banyak yang suka dengan tuak, mereka lebih suka dengan brem karena baunya wangi dan lebih baik dirasakan bagi fisik mereka.

Brem sebagai obat lelah dan ngantuk

Saat itu malam hari kira-kira jam 9, saya dan beberapa teman mengobrol di berugak Dende Ayu (biasa dipanggil Inak Ayu) ditemani Raden Sumbawa serta kopi dan beberapa kerupuk dari ketan. Kemudian Raden Sumbawa menawarkan untuk mengeluarkan brem jika ingin mencicipi, akhirnya brem di keluarkan sama Landria anak Dende Ayu dalam dua teko (porong) plastik sedang dengan beberapa gelas. Dengan sigap Raden Sumbawa menuangkan brem dalam semua gelas penuh, saya pun mendapatkan bagian satu gelas. Saat itu akhirnya kami semua minum, dan saya mencoba dengan sedikit-sedikit, karena permulaan. Tiba-tiba Inak Ayu minta satu gelas penuh dan langsung diminum habis dalam dua teguk. [16]
“Wah hebat Inak”. Kataku

“Inak Ayu (50) mau bantu beres-beres di bale adat suf, nanti sampai malam, kalau ndak minum ndak kuat fisik Inak, ngantuk juga nanti”. Kata Inak menjelaskan.
Seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa brem dikonsumsi oleh hampir semua orang Bayan, laki-laki, perempuan, tua, muda remaja juga beberapa anak-anak. Bagi orangtua minum brem dapat dikatakan “keharusan” apalagi saat menjalankan upacara adat yang kadang terjadi sehari semalam selama berhari-hari. Kegiatan ini tentu saja memerlukan fisik dan tenaga yang kuat, karena menjalankan upacara menguras tenaga. Minum brem dirasakan oleh orang Bayan dapat membuat fisik dan tenaga mereka kuat menjalankan upacara adat, walaupun dalam jangka waktu yang lama. Minum brem menyebabkan tidak mudah capek, ngantuk dan loyo.

Lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Unicef dalam laporannya menyebutkan bahwa efek alkohol tidak sama pada semua orang, tergantung pada keadaan fisik, mental, dan lingkungan ( www.unicef.org/indonesia/id/HIV-AID). Tampaknya fisik orang Bayan yang didukung oleh mental spiritual dari adat yang menubuh (embodied) serta ditempa oleh lingkungan alam gunung yang dingin, membuat Inak Ayu dan orang Bayan merasakan efek yang berbeda setelah meminum brem. Brem tidak berefek negatif bagi mereka, namun justru positif, karena dengan itu mereka dapat menjalankan adat dengan tenang.

Brem sebagai pelengkap upacara adat

Saat itu di Bayan sedang dilaksanakan upacara adat begawe beleq (upacara besar) selama seminggu, dan pas hari untuk pelaksanaan ritual potong loloq (sunat). [17] Semua anak yang akan di potong loloqnya (saat itu berjumlah 19 anak) sudah berkmpul di berugaq bale adat yang sudah dihias sebelumnya. 

Saya melihat Lima orang laki-laki setengah baya bertelanjang dada hanya memakai sapo’, dodot dan bebet berlari-lari kecil, menari mengitari berugaq sambil menyuarakan hohah..hohah...hohah berulang-ulang kali diringi gamelan gendang beleq. 

Wajah kelima lelaki itu kemerahan, bibir dan giginya merah bekas mengunyah sirih, tubuhnya berkeringat dan sesekali menenggak brem. Mereka terus berputar sambil sesekali menarik paksa pengunjung untuk diajak menari. Saya yang saat itu berdiri di barisan depan, berhasil ditariknya, akhirnya sayapun ikut menari, berputar dan sesekali menenggak brem dan berteriak hohah...hohah..hohah.

Dimanapun tempat dan apapun acara ritualnya, brem selalu ada di Bayan. Brem dan upacara ritual adat memang selalu menyertai, setidaknya hal itu yang selalu saya temukan dalam beberapa kali mengunjungi dan tinggal di Bayan ketika ada upacara adat. Warga yang kebetulan menunaikan upacara adat, biasanya akan membuat brem tidak kurang dari 20-50 kilogram ketan. Bahkan untuk acara begawe beleq [18] warga akan membuat kurang lebih satu ton ketan. Bahan sebanyak ini biasanya akan menghasilkan 2 drum besar brem. Brem-brem ini akan dihidangkan dalam setiap pelaksanaan ritual adat dan jamuan tamu di rumah warga yang bersangkutan. Lazimnya brem dihidangkan dengan teko yang besar dan sejumlah gelas, sepiring tembakau dan kertas lintingnya, serta sekotah kapur sirih.

Brem sebagai pelengkap upacara adat sudah berlaku sejak zaman dahulu kala, seperti disebutkan dalam serat Negara Kretagama karang Empu Prapanca sebelumnya (baca pembahasan bagian brem). Dikatakan sebagai pelengkap karena upacara ritual adat terasa tidak lengkap jika tidak diselingi minum brem. Brem menjadi minuman yang “diwajibkan” oleh warga Bayan hanya dalam konteks sejarahnya, artinya brem dan tradisi minum brem sudah dilakukan oleh nenek moyang Bayan sejak lama, terlepas dari kandungan ketan dan alkohol sendiri yang konon berpengaruh positif terhadap kondisi tubuh.

Jika saya cermati sebenarnya brem sebagai sebuah minuman, fungsinya tidak lebih dari pengurang dahaga layaknya kopi, teh, air putih atau minuman lain di masyarakat sekarang. Dimana ketika beraktifitas seperti membaca do’a, berbicara atau aktifitas sekedar santai, semakin lama akan mengeringkan tenggorokan, dan saat itu perlu minuman untuk membasahinya. Dan brem ketika diposisikan sebagai pelengkap ritual adat, maka stigma negatif masyarakat lain tentang brem dan praktek mengkonsumsinya menjadi terabaikan, dan tidak dianggap sebagai masalah bagi orang Bayan. Apalagi menurut cerita yang saya dapat, orang Bayan tidak ada yang mati karena minum brem, walaupun dalam porsi yang banyak.

Minum Brem : Cara Lain Orang Bayan Menikmati Adat

Malam itu secara adat rencananya kaum laki-laki Bayan dari orangtua sampai anak-anak di atas sepuluh tahu, akan tidak tidur semalaman, bermain kartu sambil minum brem di atas batu nisan kubur adat Bayan. Konon untuk menghibur keluarga yang bersedih dan menemani Dende Widoh, ibu dari pak lurah Bayan yang tadi siang baru saja dikuburkan. Tepat jam 9, orang-orang sudah berkumpul di areal pekuburan. Sebagian sudah membuat lingkaran dan mengocok kartu. 

Sejenak kemudian satu nampan brem dalam teko beserta dua piring rengginang dan jaja tujak (krupuk ketan), serta sepiring temabakau dan kertas linting dihidangkan. Brem mulai dituang digelas masing-masing. Jika isi teko habis, tuan rumah akan mengisi lagi. Mereka semua bergembira.

Gelak tawa, sendau gurau bersahutan diselingi rokok dan minum. Padahal sehari sebelumnya mereka bersedih dan lelah melaksanakan upacara adat kematian. Semakin malam semakin ramai, orang datang silih berganti, diantara mereka ada yang pulang duluan karena besok akan ke sawah. Saya lihat beberapa diantar mereka ada yang tertidur di atas kuburan, tertelungkup memeluk batu nisan hingga pagi tiba.

Secara kasat mata, perilaku orang Bayan di atas tidak masuk akal, aneh bahkan mungkin “tidak sopan”. Namun dalam melihat perilaku seperti ini, yang harus dikedepankan adalah kesadaran untuk memahami bukan menghukumi (Efendi, 2006). Setiap masyarakat memiliki pengetahuan lokal sendiri (Pritschard. 1976.Geertz, 2003).

Saya melihat, dengan brem orang Bayan begitu menikmati ritual adat walaupun sebelumnya lelah dan sedih. Gambaran di atas adalah salah satu buktinya. Tampak di dalam upacara adat “kesedihan” pun orang Bayan masih bisa menikmati dengan tertawa, gembira sambil minum brem, apalagi dalam upacara adat yang bersifat “kegembiraan”. [19] Maka dari itu saya melihat tradisi minum brem orang Bayan tidak lebih dari sebuah konsep orang Bayan dalam memposisikan upacara adat.

Saya menemukan konsepsi yang berbeda pada orang Bayan ketika melaksanakan upacara adat. Mereka memakai konsep “menikmati” adat, bukan “menjalankan” adat. Menikmati dan menjalani adalah dua kata yang dianggap berbeda oleh orang Bayan. Menjalani lebih mengacu kepada perilaku tanpa memaknai, hanya sekedar melakukan. Akan tetapi menikmati adalah perilaku dengan memaknai. Sehingga menikmati adat bagi orang Bayan adalah menjalankan adat dengan memaknai setiap ritual adat, apabila konsep ini dipakai maka adat akan dilaksanakan dengan penuh konsentrasi dan penghayatan. Implikasi dari konsep ini adalah orang Bayan merasakan adat bukan lagi membebani mereka, namun sesuatu yang harus disiasati dan ditaati.

Seperti kita ketahui, upacara adat dalam kebudayaan suku bangsa apapun di negeri ini, memiliki banyak sekali ritual yang harus dijalankan, serta memerlukan biaya yang tidak sedikit. [20] Kondisi seperti ini juga dialami oleh orang Bayan. Hampir setiap hari-hari besar Islam, khususnya saat kelahiran Nabi Muhammad SAW (maulud) dan bulan Muharam (suro), Bayan selalu ramai dengan upacara ritual adat. Tentu pada titik ini setiap orang membutuhkan ruang-ruang dan media untuk melepaskan kelelahan namun tetap malaksanakan ritual adat yang harus dijalani.

Dalam kondisi ini, saya melihat terdapat ruang-ruang yang diberikan adat sebagai ruang penikmatan (leisure space) dalam melaksanakan ritual adat dengan santai namun tidak meninggalkan sisi sakralitas dari ritual adat tersebut. Brem saya lihat merupakan media yang disahkan adat untuk mengisi ruang-ruang penikmatan tersebut. brem menjadi alat pelepasan (katarsis) orang Bayan dalam mengiringi rtual adat yang dirasakan cukup melelahkan, menguras energi dan membutuhkan konsentrasi.

Minum brem dalam sejarahnya adalah sebuah perjamuan untuk perayaan raja dan syukur terhadap hasil panen (Mulyana, 2007). Ini adalah kebudayaan agraris dimana Bayan berada pada kondisi ini di masa lalu dan sekarang. Perjamuan adalah ruang menikmati dan sekaligus pelepasan untuk menyenangkan tamu sekaligus kita yang dihormati karena didatangi. Syukur adalah juga ruang menikmati dan pelepasan untuk kebahagiaan yang perlu diluapkan. Bagi orang Bayan, keduanya perlu untuk dinikmati bukan hanya sekedar dijalani.

Ketika minum brem tidak dapat dilepaskan dari upacara adat Bayan, maka secara umum tidak ada pilihan lain bagi orang Bayan untuk taat, karena tidak melaksanakan adat berarti melanggar aturan nenek moyang. Dan itu tidak mungkin dilakukan oleh orang Bayan, karena pengalaman mengajarkan beberapa orang yang tidak melaksanakan adat, mengalami sakit. Adat dalam hal ini mempunyai nilai dominan dalam tradisi minum brem, karena berpengaruh luas terhadap ruang lingkup sistem sosial orang Bayan (Koediran, 2004).

Dengan demikian minum brem merupakan bagian dari diri orang Bayan itu sendiri, karena minum brem selalu menyertai setiap upacara ritual adat, dan upacara ritual adat sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun silam. Dalam konteks ini, minum brem tidak dianggap sebagai sebuah kegiatan individu, tetapi kegiatan bersama (kolektif). Makanya brem selalu dihidangkan untuk menjamu tamu, melengkapi upacara adat, lebih jauh menikmati adat. Minum brem dan upacara adat tidak dilihat sendiri-sendiri, tetapi bersamaan. Minum brem ya melaksanakan adat, melaksanakan adat ya minum brem.

Dengan demikian minum brem merupakan perilaku budaya, untuk itu harus dilihat secara budaya juga, bukan agama. Adapun kenapa itu dilakukan dalam rangka upacara keagamaan, harus disadari bahwa agama oleh orang Bayan tidak hanya sekedar dipandang sebagai ideologi atau suatu sistem kepercayaan, tetapi juga suatu institusi sosial dan sistem sosio budaya (Moris dalam Suhardi, 2009). Sehingga biarpun dalam upacara keagamaan terdapat ritual budaya maka itu dimaknai sebagai sebuah sistem sosio budaya mereka yang tidak boleh ditinggalkan dan tidak dihukumi buruk.

Praktek keagamaan yang bercampur dengan perilaku budaya dimaknai sebagai cerminan “kesadaran manusia tentang yang transenden” (Tambiah dalam Suhardi, 2009). Suatu “rasa terhadap yang numinous” (Otto dalam Suhardi, 2009). Bagi orangtua-orangtua Bayan brem dijadikan teman dalam menyenandungkan pujian dalam lontar, membaca Alquran, duduk tenang menunggui orang yang sedang meninggal, serta membaca mantra. Pada kondisi ini tentu saja kesadaran seperti yang dikatakan Tambiah dan Otto diataslah yang dirasakan oleh orang Bayan.

Namun NW dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi Islam terbesar di Lombok dan merasa memiliki otoritas penafsir ajaran Islam yang benar (rezim of truth) tidak terima dengan perilaku minum brem orang Bayan ini, karena nampaknya mereka menganggap agama sebagai ideologi dan sistem kepercayaan saja. Maka dari itu kenapa mereka menghukumi orang Bayan, syirik dan bid’ah. Penghukuman sepihak seperti ini tentunya tidak adil, karena hanya berdasarkan satu sisi. Sebagai sebuah ritual keagamaan yang bercampur dengan budaya, minum brem saya lihat merupakan salah satu pencarian jalan spiritual orang Bayan, brem hanya media, minum brem hanya simbol. Dan ketika sebuah kekuasaan yang lebih besar menolak, maka kekuasaan atas diri (autonomy subject) yang lebih berkuasa (Faucoult, 1987).

Epilog
“Experience is culturally constructed, while understanding presupposes experience”. (Bruner, 1986 : 6) .
Minum brem dalam situasi perayaan upacara keagamaan dan adat Bayan, tampak tidak masuk akal dan kurang ajar. Namun saya melihat, hal itu adalah sebuah pengalaman yang disadari oleh orang Bayan. Sadar bahwa adat adalah segalanya, ketaatan pada leluhur adalah kenisacayaan, karena menjadi orang Bayan adalah menjadi adat. Jika demikian upaya memahami harus didahulukan ketika melihat tradisi minum brem, karena itu tidak lebih dari cara lain orang Bayan menikmati adat.

Daftar pustaka

  • Bartolomew, John Ryan. 2001. Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta : Tiara Wacana
  • Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak, Wetu Lima versus Wetu Telu. Yogyakarta : Kanisius.
  • Bruner, Edward. M. 1986. Experience and Its Expressions” in Turner, Victor W and Bruner Edward M. (eds). The Anthropology of Experience., pp-1-30. Urbana, Chicago : University of Illinois Press.
  • Efendi, Yusuf. Dunia Orang Parangkusumo. Studi Kasus Wong Wedok Nakal (tesis). Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2006
  • Faucoult, Michael. 2002. Power Knowledge. Yogyakarta : Bentang
  • - Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal Esai-esai Lanjutan Antropologi Interpretif. Yogyakarta : Rumah Merapi
  • Jackson, Michael. 1996. Introduction : Phenomenology, Radical Empiricism, and Antrhopological Critique’ dalam Thing As They are, New Direction in Phenomenological Antrhopology, Michael Jackson (ed). Blomington and Indianapolis : Indiana University Press.
  • Kayam, Umar. 1984. Gelandangan : Pandangan Ilmuwan Sosial. Artikel Mengapa Hidup Menggelandang. Cetakan ke 2 Jakarta : LP3ES
  • Koediran. Sistem Nilai Budaya dan Modernisasi dalam Perspektif Antropologi. Pidato Ilmiah, Rapat Senat Terbuka, Dies Natalis ke-58. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. 3 Maret 2004
  • Ketut, Mika dan Winarno. Pembuatan Brem di Bali. Buletin Pusbangtepa/FTDC. IPB. Agustus 1983.
  • Kumalasari, Ika. DN. Mereka Bicara Tentang Alkohol. Pemaknaan Konsumen dan Pebisnis Dunia Malam (skripsi). Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2008.
  • Mulyana, Slamet. 2007. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, karangan Empu Prapanca. LKIS : Yogyakarta
  • Pals, Dabiel. L. 2001. Seven Theories of Religion. Dari Animisme EB. Taylor Materialisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta : Kalam.
  • Pritchard, Evans. E.E. 1976. The Nuer. A Description of The Modes of Livelihood and Political Institutions of Nilotic People. New York : Oxford University.
  • Riwut, Tjilik. 2006. Tjilik Riwut, Sanama Mantikei. Mamasar Panatan Tatu Hiang. Menyelami Keluarga Leluhur. Palangkaraya : Pusaka Lima
  • Saroenggalo, Tino. 2008. Ayah Anak Beda Warna, Anak Toraja Kota Menggugat. Yogyakarta : Rumah Budaya Tembi.
  • Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Cetakan ke 1. Yogyakarta : LKIS
  • Setyaningsih, Aryani. Lelaki Pepadu (Tesis). 2009. Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Simatupang, Lono Lastoro G.R. 2007. Pendekatan yang Berpusat Pada Pagelaran, Fenomenologi dan Etnografi. Diktat Kuliah Seni Pertunjukan, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
  • Suhardi. Ritual : Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif Antropologi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 18 Maret 2009
  • Suhartono. 1970. Pengaruh bangsa-bangsa luar di Lombok. Buletin no 3 Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta  
  • http//www.lombokutarakab.go.id  
  • www.unicef.org/indonesia/id/HIV-AID
Catatan kaki:
  • [1] Stratifikasi sosial bangsawan Lombok terbagi menjadi tiga yaitu Raden untuk bangsawan yang tinggal di Bayan, Lalu untuk bangsawan Lombok secara umum, dan Tuan Guru untuk bangsawan Lombok dalam bidang keagamaan. Sedangkan Mamik adalah sebutan pengganti untuk bangsawan Sasak, baik yang bergelar Lalu atau Raden. Raden adalah sebutan untuk bangsawan Bayan laki-laki dan Dende untuk bangsawan perempuan. Kata Raden terdengar mirip dengar anak bangsawan Jawa dahulu kala. Mungkinkah gelar ini juga pengaruh dari kerajaan Jawa (baca : Majapahit)?. Jikalau menilik referensi yang ada, di dalam kitab Negara Kretagama memang pernah tertulis bahwa kekuasaan Majapahit pernah sampai di pulau Lombok (Suhartono, 1970. Setyaningsih, 2009).
  • [2] Perspektif fenomenologi yang saya pakai merujuk pada filsafat fenomenologi yang digagas antara lain oleh Edmund Husserl, Wilhelm Dilthey, John Dewey, Martin Heidegger, Maurice Marleau-Ponty dan Charles Sanders Pierce (Bruner, 1986; Jackson, 1996). Bagi mereka awal ikatan antara manusia dengan dunia diperantarai oleh tubuhnya bukan fikiran. Tubuh menjadi media manusia untuk berinteraksi dengan dunia material, sosial maupun mental/spiritual.
  • [3] Tahun 2008 lalu diadakan festival seribu gendang beleq yang disponsori oleh roko Dji Sam Soe. Setiap menyambut kemerdekaan 17 Agustus diadakan lombo perisean di beberapa Desa di Lombok.
  • [4] Tuan Guru adalah gelar di Lombok untuk para penganjur agama (seperti kyai kalau di Jawa atau Buya kalau di Padang).
  • [5] Sebutan untuk pengkotbah agama Islam.
  • [6] Lebih lanjut cek website resmi kabupaten Lombok Utara di http//www.lombokutarakab.go.id
  • [7] Istilah itu makin dikenal setelah ada buku dengan judul Islam Sasak tulisan Erni Budiwanti. 2000. terbitan LKIS Yogyakarta.
  • [8] Berugaq adalah bangunan kecil seperti pendopo untuk menerima tamu dan berkumpul keluarga, saat ini baik di depan atau di belakang rumah orang Sasak selalu ada berugaq, bahkan bangunan ini menjadi salah satu ciri rumah Sasak.
  • [9] Kedua organisasi ini dalam kenyataannya juga saling konflik, dan menganggap berbeda. NW dianggap tradisional dan Muhammadiyah modern. Namun terhadap orang Bayan mereka sepakat menganggap orang Bayan sebagai berbeda. Pemeluk fanatiknya NW dan Muhammadiyah saling merasa berhak membenarkan budaya Sasak yang salah (lihat tulisan John Ryan Boertholomwe. 2001)
  • [10] Raden Edi pernah mengatakan kepada saya kalau orang Bayan tidak mau menyebut dan disebut diri mereka sebagai orang wetu telu. Mereka sendiri merasa tidak tahu apa itu wetu telu, yang mereka tahu adalah mereka hanya menjalankan ajaran Islam yang dari nenek moyang dahulu. Istilah wetu telu baru mereka tahu setelah ada orang yang menanyakan dan ada buku yang menyebutnya (buku karangan Erni Budiwanti). Mereka lebih suka disebut orang Bayan, karena Bayan dalm bahasa Arab berarti jelas atau penjelas.
  • [11] Alkohol adalah senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil (- OH) yang terikat pada atom karbon dan hidrogen atau lainnya. Semua alkohol bersifat toksit (racun) tetapi tubuhmanusia dalam kondisi tertentu bisa mengurai. Rumus alkohol yaitu CnH2n+1OH (Wresnowiro dalam Kumalasari, 2008).
  • [12] Mengkejit adalah istilah yang dimunculkan oleh orang Bayan sendiri untuk menunjuk pada sebuah ekspresi wajah, mata dan alis yang berkedip-kedip (berkernyit) setelah menenggak brem.
  • [13] Lebih lanjut tentang tradisi dapat di baca tulisan Shills, 1981; Pals, 2005; Syam, 2005. Hobsbawn dan Ranger. 1984.
  • [14] Davamony (1995 : 167) mencatat ritus dan tabu adalah tindakan konkrit, maka kita dapat katakan, bahwa “ritual merupakan agama dalam tindakan”.
  • [15] Atas dasar pemikiran inilah tradisi orang Bayan minum brem dianggap menyimpang dan buruk oleh masyarakat Sasak pada umumnya, khususnya mereka yang beragama Islam. Stigma ini semakin negatif karena disandingkan dengan perilaku dan ajaran Islam yang difahami orang Bayan. Saya mencermati kuatnya faham Islam Nahdatul Wathan (NW) yang populer di Lombok, dijadikan pembanding dan penghakim kalau Islam yang dijalankan orang Bayan itu salah. Dakwah para Tuan Guru (kyai) membuat masyarakat terpengaruh untuk menghukumi sama terhadap orang Bayan. Padahal konon menurut cerita yang berkembang di Bayan dan Lombok Timur, Tuan Guru Muhammad Bin Abdul Madjid (pendiri NW) pernah mengatakan kalau leluhurnya dari Bayan, ini dibuktikan dengan Tuan Guru sering berziarah ke makam yang ada di area masjid kuno Bayan dahulu ktika masih hidup, dan sekarang diteruskan oleh Tuan Guru Bajang cucu beliau (Gubernur NTB saat ini).
  • [16] Inak adalah sebutan untuk kaum perempuan Sasak yang sudah berumur orangtua (50 tahun ke atas)
  • [17] Tentang adat potong loloq ini dapat dibaca di www.melayuonline.com bagian budaya melayu, upacara tradisional
  • [18] Tentang begawe beleq dapat dibaca www.melayuonline.com bagian budaya melayu, upacara tradisional
  • [19] Saya memberi tanda petik karena urusan sedih dan gembira adalah tergantung persepsi setiap orang, apalagi dalam konteks budaya, kedua kata tersebut pasti akan menuai beragam pendapat.
  • [20] Adat Tana Toraja misalnya, memiliki ritual adat yang cukup rumit dan memerlukan biaya yang sangat mahal hanya untuk menguburkan orang sudah meninggal, apalagi yang yang meninggal adalah golongan bangsawan dari suku tersebut. Saroenggalo (2008) salah seorang pelaku adat Tana Toraja (Tator) merekam nuansa tersebut dalam bukunya Ayah Anak Beda Warna, Anak Toraja Kota Menggugat. Saroenggalo mengkritik adat Tator yang dirasa berat, karena hampir satu milyar dibutuhkan untuk prosesi adat penguburan ayahnya (bangsawan Saroenggalo) yang meninggal, sementara keluarga merasa tidak mampu. Selain biaya yang mahala, pelaksaan ritual adat juga snagat melelahkan, prosesi dalam setiap ritual adat harus dijalankan secara runtut dengan syarat yang cukup ketat. Walaupun sedikit berbeda, adat Bayan juga mengalami hal yang sama.

Komentar

Postingan Populer