Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana: Upacara Sebelum Kehamilan Suku Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT)

Oleh Empuesa 

Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana adalah dua upacara adat sebelum kehamilan suku Sabu, Nusa Tenggara Timur. Kedua upacara ini dianggap sakral dan penting bagi suku Sabu. Maka dari itu, hingga kini kedua upacara ini masih sering digelar. 

1. Asal-usul

NTT adalah salah satu provinsi di Indonesia yang banyak dihuni oleh suku bangsa. Menurut situs resmi Pemerintah Provinsi NTT, lebih kurang enam belas suku bangsa hidup di provinsi ini, antara lain suku Helong, Dawan, Tetun, Kemak, Marae, Rote, Sabu atau Rae Hawu, Sumba, Manggarai Riung, Ngada, Ende Lio, Sikka-Krowe Muhang, Lamaholot, Kedang, Labala, dan Alor Pantar (http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=sej).

Suku Sabu adalah salah satu suku mayoritas di Pulau Sabu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari Kabupaten Kupang, Pulau Sabu dapat dijangkau dengan kapal laut selama 12 jam berlayar atau 45 menit dengan pesawat. Kepulauan Sabu (Sawu) terletak di antara Pulau Sumba dan Rote. Di tempat ini terdapat 3 buah pulau, yaitu pulau Sabu, Raijua, dan Dana. Pulau Sabu-Dana dapat dikatakan pulau paling selatan Indonesia, berhadapan dengan Samudera Indonesia. Oleh penduduk lokal, pulau Sabu biasa disebut dengan Rai Hawu dan orang Sabu sendiri sering menyebut dirinya dengan Do Hawu. Do artinya orang atau manusia, sedangkan Rai berarti tanah atau negeeri. Nama Rai Hawu atau pulau Sabu berasal dari nama Hawu Ga, salah satu leluhur mereka (Nico L. Kana, 1983 dan Lay Abdi Wenyi dalam http://groups.google.co.id/group/do_hawu/msg/57530c4daf38f6e8?pli=1).

Orang Sabu menyebut segala apa yang dipandang sebagai yang “asli” atau berasal dari Sabu dengan kata sandang Hawu. Sedangkan yang berasal dari luar atau bukan asli Sabu dikenakan kata sandang Jawa, misalnya terae Jawa (jagung), ki'i Jawa, (domba), hi'ji/hi'gi Jawa (kain batik), dan emmu Jawa (rumah berbentuk bukan asli Sabu) (F. Lebar, 1972).

Suku Sabu memiliki tradisi kebudayaan yang masih dijaga hingga kini. Salah satunya adalah upacara adat sebelum masa kehamilan. Upacara adat ini memiliki dua bentuk, yaitu Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana. Kedua upacara adat ini dianggap sakral oleh masyarakat Suku Sabu, karena keduanya merupakan tanda penghormatan dan syukur kepada dewa atas pernikahan mereka dan harapan mereka agar diberi momongan.

Pejore Donahu Ngakebui secara umum diartikan dengan penyuapan gula kacang hijau. Arti ini merujuk pada pelaksanaan upacara tersebut, di mana kedua mempelai disuapi gula yang dicampur dengan kacang hijau oleh pemimpin upacara yang disebut dengan Banni Hau. Upacara ini dilakukan pada saat peresmian seorang laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri (resepsi pernikahan), atau tepatnya sesaat ketika barang hantaran mempelai laki (mas kawin) dibuka (Tim Depdikbud, 1984).

Upacara Pejore Donahu Ngakebui memiliki tiga tujuan, yaitu:
  • Ungkapan rasa syukur atas pernikahan yang telah dilakukan
  • Permohonan agar dikaruniai keturunan
  • Simbol perpaduan cinta kasih antara kedua mempelai
Sementara itu, Mananggi Ana secara umum diartikan dengan “membeli” anak. Arti ini merujuk pada harapan sebuah pasangan yang telah lama menikah namun belum dikaruniai anak. Dalam konteks ini, upacara ini dimaknai oleh masyarakat suku Sabu sebagai “membeli” anak dari dewa. Upacara ini dianggap sebagai usaha sebuah pasangan suami isteri dengan tujuan untuk memohon kepada dewa agar pasangan tersebut cepat dikaruniai anak (Tim Depdikbud, 1984).

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan 

Kedua upacara ini memiliki kandungan makna yang berbeda-beda. Hal ini salah satunya disebabkan oleh waktu pelaksanaan kedua upacara ini yang juga berbeda. Meskipun demikian, suku Sabu tetap memposisikan keduanya sebagai upacara sakral yang harus diadakan.

Waktu pelaksanaan upacara Pejore Donahu Ngakebui pada saat peresmian seorang-laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri atau saat pesta pernikahan (resepsi). Tepatnya, acara penyuapan gula kacang tersebut dilakukan sesaat setelah pembukaan mas kawin yang dibawa oleh pihak laki-laki untuk mempelai perempuan.
Upacara Pejore Donahu Ngakebui digelar di dalam rumah induk (ammu kapue), di dalam bale-bale besar (kalaga ae), tepatnya di depan tiang utama (tarru duru) rumah mempelai laki-laki. Rumah mempelai laki-laki dipilih karena secara adat rumah mempelai laki-laki yang berhak mengadakan pesta pernikahan. Hal ini berbeda dengan suku lain seperti suku Jawa, di mana pesta pernikahan diadakan di rumah mempelai perempuan.

Sementara itu untuk upacara Mananggi Ana dilaksanakan hanya satu tahun sekali, yaitu pada hari ke 1, 2, dan 3 bulan adat, oleh penduduk Sabu disebut dengan warru daba. Upacara ini dilaksanakan pada pagi atau sore hari. Pemilihan waktu ini didasarkan pada ketentuan adat di mana waktu tersebut dianggap waktu sakral.

Tempat pelaksanaan upacara Mananggi Ana terbagi di tiga tempat, yaitu rumah induk kedua mempelai, rumah adat, dan lapangan. Penentuan tempat ini juga didasarkan atas ketentuan adat dengan tujuan untuk menjaga kesakralan upacara.

3. Pemimpin dan Peserta Upacara 

Meskipun berada dalam satu rangkaian upacara sebelum kehamilan, namun kedua upacara ini dipimpin oleh orang yang berbeda. Perbedaan ini ditentukan oleh peraturan adat yang berlaku di masyarakat suku Sabu.

Upacara Pejore Donahu Ngakebui sebaiknya dipimpin oleh ibu mempelai perempuan yang disebut dengan Banni Hau. Namun, jika tidak ada, maka dapat diganti oleh saudara sulung atau adik mempelai perempuan atau seorang perempuan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan mempelai perempuan. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pelajaran bagi kaum perempuan yang akan bertugas melayani (menyuapi) keluarga.

Adapun peserta upacara ini meliputi keluarga dan saudara dari pihak mempelai laki-laki dan perempuan. Selain itu, upacara ini juga akan disaksikan oleh masyarakat suku Sabu.

Sementara untuk upacara Mananggi Ana dipimpin oleh seorang wali tanah atau Deo Rai. Pemilihan pemimpin didasarkan pada peraturan adat yang berlaku. Peserta upacara ini biasanya adalah keluarga dari kedua mempelai laki-laki dan perempuan, serta disaksikan oleh masyarakat suku Sabu.

4. Peralatan dan Bahan
  
Pelaksanaan upacara adat Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana dianggap tidak sah jika tidak disertai dengan peralatan dan bahan-bahan upacara yang dibutuhkan. Satu hal yang menarik dari umumnya upacara adat di suku bangsa di Indonesia, bahwa seluruh peralatan dan bahan-bahan upacara ini berasal dari alam sekitar tempat tinggal suku Sabu. Hal ini menunjukkan bahwa kosmologi kehidupan mereka telah menempatkan alam sebagai bagian dari upacara ritual yang sakral. Alam dalam kosmologi suku Sabu dianggap sebagai ciptaan dewa yang harus dihargai, salah satu caranya adalah dengan dijadikannya sebagai salah satu syarat dari pelaksanaan upacara adat.

a. peralatan dan bahan upacara Pejore Donahu Ngakebui
Peralatan dan bahan-bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara Pejore Donahu Ngakebui meliputi dua hal, yaitu peralatan dan bahan yang utama dan yang hanya sebagai pelengkap upacara.

Peralatan dan bahan yang utama tersebut antara lain berupa:
  • Kacang hijau
  • Gula merah
  • Botok atau jewawut
  • Sendok dari daun lontar
  • Wadah dari tempurung kelapa
  • Tikar anyaman dari daun lontar
Adapun peralatan dan bahan pelengkap upacara antara lain:
  • Wadah dari anyaman lontar
  • Sirih
  • Pinang
  • Kapur
b. Peralatan dan bahan upacara Mananggi Ana
Sama seperti yang berlaku pada upacara Pejore Donahu Ngakebui, peralatan dan bahan pada upacara Mananggi Ana juga terdiri dari dua hal, yaitu peralatan dan bahan yang utama dan pelengkap upacara.

Peralatan dan bahan yang utama tersebut meliputi:
  • Beras segantang (lebih kurang dua kilogram)
  • Seekor ayam jantan
  • Minyak
Adapun peralatan dan bahan pelengkap upacara antara lain berupa:
  • Batu pemujaan yang terletak di halaman pemujaan Deo Rai
  • Sekeping kopra
  • Pakaian adat
5. Proses Pelaksanaan 

Secara umum, proses pelaksanaan upacara Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Ketiga tahapan ini harus dilakukan secara berurutan, karena jika tidak maka upacara tersebut dianggap tidak sah dan tidak sakral. Hal ini juga akan berpengaruh pada tidak dikabulkannya permohonan kedua mempelai oleh dewa.

a. Proses pelaksanaan upacara Pejore Donahu Ngakebui

1). persiapan
Pada tahap persiapan ini, yang dilakukan oleh keluarga kedua mempelai adalah mempersiapkan segala peralatan dan bahan yang telah disebutkan di atas. Peralatan dan bahan tersebut sangat mudah didapatkan di lingkungan sekitar suku Sabu. Hal ini dikarenakan kehidupan keseharian suku Sabu sudah sangat akrab dengan peralatan dan bahan-bahan di atas. Bahkan, peralatan dan bahan-bahan tersebut hampir selalu menyertai dalam setiap pelaksanaan upacara adat mereka.

2). Pelaksanaan

Setelah semua peralatan dan bahan yang dibutuhkan selesai disiapkan semua, maka pelaksanaan upacara segera dimulai.

Langkah pertama adalah kedua mempelai yang sudah memakai pakaian adat, berdiri di ruang bale-bale rumah mereka. Selanjutnya pemimpin upacara atau Banni Hau duduk bersila di atas tikar pandan yang telah dibentangkan sebelumnya.

Selanjutnya, kedua mempelai melakukan pejalli kolo kedudu, yaitu berdiri berhadapan di depan tiang tarru dengan saling menempelkan kedua ibu jari mereka. Setelah itu, kedua mempelai dipersilakan duduk di pangkuan Banni Hau. Mempelai perempuan duduk di paha sebelah kiri Banni Hau dan mempelai laki-laki di paha sebelah kanan Banni Hau.

Kemudian Banni Hau mengambil kacang dan botok yang sudah dicampur, lalu menghamburkannya ke arah kedua mempelai. Kacang dan botok dihamburkan dengan disertai doa dari Banni Hau berupa doa agar kedua mempelai hidup dengan rezeki yang banyak layaknya kacang dan botok serta dikaruniai anak-anak yang baik.

Setelah itu, Banni Hau menyuapi kedua mempelai dengan kacang hijau yang sudah dicampur dengan gula menggunakan sendok dari daun lontar. Penyuapan dilakukan sebanyak tiga kali secara berturut-turut dan bergantian, dimulai dari mempelai laki-laki. Kacang dan gula tidak boleh dikunyah melainkan harus ditelan begitu saja tanpa menggunakan air.

Seusai proses penyuapan, kemudian Banni Hau mengambil air yang telah disediakan sebelumnya, kemudian memercikkan air tersebut ke kepala kedua mempelai. Percikan air merupakan pertanda bahwa permohonan telah diterima dan direstui oleh dewa.

3). Penutup

Sebagai penutup dalam upacara tersebut, kedua mempelai dipersilakan untuk makan sirih dan pinang yang telah disediakan. Sirih dan pinang tersebut dibagi dua dan selanjutnya dimakan secara bersamaan. Hal ini merupakan simbol bahwa kedua mempelai akan mengarungi hidup seiring sejalan.

Setelah beberapa lama mengunyah sirih dan pinang, kedua mempelai disuruh untuk meludah. Para peserta upacara kemudian akan menilai warna ludahan tersebut. Jika warna ludah mempelai perempuan lebih merah daripada mempelai laki-laki, maka mereka akan banyak dikaruniai anak perempuan. Begitu pula sebaliknya, jika warna ludah mempelai laki-laki lebih merah daripada ludah perempuan, maka mereka akan banyak dikaruniai anak laki-laki.

b. Proses pelaksanaan upacara Mananggi Ana

1). Persiapan
Pada tahap ini, keluarga kedua mempelai mempersiapkan segala peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara nanti. Peralatan dan bahan tersebut juga sangat mudah didapatkan di lingkungan sekitar suku Sabu. Selain karena keseharian suku Sabu sudah akrab dengan peralatan dan bahan-bahan tersebut, hal itu juga disebabkan oleh karena peralatan dan bahan-bahan tersebut hampir selalu menyertai dalam setiap pelaksanaan upacara adat mereka.

2). Pelaksanaan

Upacara Mananggi Ana dilaksanakan selama tiga hari pada bulan adat (bulan daba). Selama tiga hari itu, pasangan suami isteri yang melaksanakan upacara harus menaati segala peraturan adat yang telah ditetapkan oleh Deo Rai (pemimpin upacara).

Pada hari pertama (luha), seluruh peserta upacara yang terlibat upacara secara bersamaan pergi ke rumah induk (ammu kepue) untuk meletakkan rempah-rempah di dekat tiang utama rumah induk (gella banni).

Selanjutnya, sang istri diperintahkan Deo Rai untuk naik ke loteng dan memeluk tiang utama sambil berucap doa yang telah diajarkan oleh Deo Rai. Sementara itu, sang suami berdiri di atas tangga sambil memperhatikan apa yang dilakukan sang isteri.

Pada hari kedua, sang isteri melakukan hal serupa seperti pada hari pertama, yaitu memeluk tiang utama sambil mengucapkan doa sembari diperhatikan oleh sang suami. Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa pelaksanaan memeluk tiang oleh sang isteri harus dilakukan pada waktu pagi atau sore hari. Waktu tersebut menurut adat dianggap sakral.

Pada hari ketiga, pasangan suami isteri membawa segantang beras putih dan seekor ayam jantan ke rumah pemujaan Deo Rai. Ayam selanjutnya diikat di bawah kolong rumah pemujaan dan beras diserahkan kepada isteri Deo Rai.

Satu hal yang harus diingat bahwa dalam perjalanan menuju rumah pemujaan Deo Rai, pasangan suami isteri tersebut dilarang berbicara dengan siapapun. Jika ada yang mengajaknya berbicara, maka keduanya juga tidak diperbolehkan menjawab. Orang yang bertanya dianggap sebagai godaan dan pasangan tersebut diharapkan tidak tergoda.

Kemudian suami isteri tersebut mengoleskan minyak kelapa ke batu keramat. Selain itu, keduanya juga meletakkan sirih, pinang, kelapa kering dan ketupat di dekat batu keramat.

Selanjutnya, Deo Rai berdiri di atas batu keramat dan sejenak kemudian pasangan suami isteri tersebut memeluk kaki Deo Rai. Deo Rai kemudian mengucapkan doa permohonan kepada dewa.

Setelah doa selesai dipanjatkan, pelukan ke kaki Deo Rai dilepaskan dan pasangan tersebut kemudian diberi sekerat kayu cendana oleh Deo Rai. Setelah itu, pasangan suami isteri tersebut meletakkan kayu cendana beserta sirih itu di dekat tiang utama rumah induk.

3). Penutup

Upacara Mananggi Ana ditutup dengan upacara sabung ayam (nada) yang diadakan di lapangan upacara. Pasangan suami isteri tersebut diwajibkan ikut menjadi peserta upacara sabung ayam itu. Seusai menyabung ayam, pasangan suami isteri tersebut menyembelih seekor ayam dan selanjutnya daging ayam dimasak. Setelah itu, sebagian daging diletakkan di bagian-bagian tertentu dari rumah yang disakralkan dan sebagian lagi dimakan bersama keluarga.

6. Doa 

Dalam upacara Pejore Donahu Ngakebui terdapat beberapa doa yang dipanjatkan, antara lain:
  • doa syukur kepada dewa dan memohon restu atas pernikahan yang baru saja dilaksanakan
  • doa permohonan agar diberi rezeki yang banyak
  • doa permohonan agar dikarunia anak yang baik
  • doa permohanan perlindungan dari roh-roh jahat yang akan mengganggu mereka
Sementara itu, doa-doa yang dipanjatkan saat upacara Mananggi Ana meliputi:
  • doa agar cepat dikaruniai anak
  • doa agar dilindungi dari roh-roh jahat
7. Pantangan dan Larangan 

Mesikpun kedua upacara ini dianggap sakral, namun pada upacara Pejore Donahu Ngakebui tidak terdapat pantangan dan larangan yang pasti. Hanya kedua mempelai dimohon untuk selalu bersyukur dan berterima kasih kepada dewa atas pernikahan mereka.

Sementara itu, dalam upacara Mananggi Ana, terdapat beberapa larangan dan pantangan yang harus ditaati oleh pasangan suami-isteri yang melaksanakan upacara ini, yaitu:
  • Pada saat meletakkan persembahan (sesaji) ke rumah induk dan batu keramat, suasana upacara harus tenang, karena jika tidak, maka akan menggangu konsentrasi Deo Rai
  • Pada saat menuju rumah pemujaan Deo Rai, pasangan suami-isteri tidak diperbolehkan berbicara antarkeduanya dan atau menjawab pertanyaan dan teguran orang lain, baik berupa ucapan atau anggukan. Hal itu dikarenakan akan mengganggu keseriusan pasangan suami-isteri tersebut dalam menjalani upacara
  • Saat berjalan menuju tempat upacara, pasangan suami-isteri juga tidak diperbolehkan menoleh ke kiri dan ke kanan karena hal itu akan mengganggu keseriusan mereka dalam menjalani upacara
8. Nilai-nilai 

Upacara Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana merupakan sebuah upacara yang dianggap penting oleh masyarakat suku Sabu. Hal ini dikarenakan kedua upacara ini mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai tersebut antara lain berupa:

a. Nilai sakral. Nilai ini tampak dari berbagai indikasi, yaitu:
  • Antusiasme masyarakat suku Sabu menjadi peserta dalam melaksanakan upacara ini dan mentaati peraturan adat yang berlaku
  • Banyaknya doa yang dipanjatkan dalam kedua upacara tersebut
  • Banyaknya peralatan dan bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan upacara tersebut. Jika peralatan dan bahan tersebut tidak ada, maka upacara dianggap tidak sah
  • Pemilihan waktu yang disesuaikan dengan aturan adat
  • Runtut ritual yang dilaksanakan dan tidak boleh ditukar-tukar
b. Nilai solidaritas sosial. Nilai ini tampak dari banyaknya peserta yang ikut menyaksikan upacara ini. Bahkan, dalam upacara Menanggi Ana, peserta ikut dilibatkan dalam menentukan keputusan apakah pasangan suami-isteri akan memiliki anak laki-laki atau perempuan. Hal ini tentu saja akan menguatkan rasa solidaritas mereka dalam satu suku besar yang menjalani kehidupan secara bersama-sama.

c. Nilai simbol. Nilai ini hanya dipahami oleh masyarakat suku Sabu sendiri sesuai dengan kepercayaan mereka terhadap peralatan dan bahan-bahan yang dipergunakan dalam kedua upacara tersebut. Terdapat beberapa bahan yang mengandung simbol tertentu dalam kepercayaan suku Sabu, yaitu:
  • Kacang hijau dianggap melambangkan kelembutan dan kewanitaan. Sedangkan gula dan lontar melambangkan kejantanan. Hal ini disebabkan oleh praktek keseharian suku Sabu bahwa pohon lontar yang diambil niranya hanya dilakukanoleh kaum laki-laki. Sementara kacang hijau di panen oleh perempuan
  • Gula bercampur kacang hijau melambangkan perpaduan antara laki-laki dan perempuan yang nanti akan menghasilkan keturunan
  • Botok (jewawut) melambangkan keturunan yang akan berkembang biak seperti jewawut
  • Air melambangkan kerukunan dalam rumah tangga, kelembutan dan kesucian kedua mempelai
  • Upacara yang dilakukan pagi hari melambangkan keinginan anak laki-laki, sebaliknya upacara yang dilakukan sore hari melambangkan keinginan anak laki-laki
  • Menyerahkan seekor ayam jantan dan beras segantang melambangkan persembahan kepada pemimpin upacara Deo Rai
  • Berjalan dengan berdiam diri merupakan lambang bahwa pasangan mengosongkan pikiran dan sedang berkomunikasi dengan dewa
  • Memeluk tiang utama merupakan lambang permohonan ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuat
  • Ikut menyabung ayam merupakan perlambang bahwa setelah diampuni dosanya maka pasangan harus menghibur diri dan bersenang-senang. Hal itu merupakan ucapan terima kasih kepada dewa
  • Meletakkan rempah-rempah (sesaji) di rumah-rumah sakral melambangkan hubungan baik dengan para roh dan dewa
  • Cendana melambangakn tubuh bayi yang akan lahir kelak
  • Sirih dan pinang merupakan sapaan mesra dan kekeluargaan pada para leluhur dan dewa
  • Ketupat berisi kacang dan jagung merupakan lambing dari hidangan yang dipersembahkan pada leluhur dan dewa
d. Nilai spiritual. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dari pelaksanaan kedua upacara ini adalah kepercayaan masyarakat suku Sabu terhadap kekuasaan dewa, ajaran leluhur, dan pengaruh roh-roh dalam kehidupan mereka. Dewa, leluhur, dan roh dianggap sebagai makhluk yang ikut serta dalam mengatur sisi spiritual kehidupan ritual mereka. Untuk itu, kedua upacara ini ditujukan untuk menyeimbangkan interaksi hubungan antara manusia, dewa, leluhur, dan roh-roh yang dipercaya oleh masyarakat suku Sabu.

e. Nilai kedekatan dan penghargaan terhadap alam. Sangat jelas nilai ini tampak dari penggunaan peralatan bahan-bahan kedua upacara tersebut. Kebudayaan agraris suku Sabu memiliki jejak-jejak yang nyata dengan dipakainya kacang hijau, gula, lontar dan kelapa kering sebagai bahan-bahan upacara ini. Hal ini menandakan bahwa suku Sabu sangat dekat dan menghargai alam yang telah menyediakan bahan makanan bagi kehidupan mereka.

9. Penutup 

Pejore Donahu Ngakebui dan Mananggi Ana adalah upacara yang penting dan sakral dalam perjalanan hidup suku Sabu. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kedua upacara ini yang penuh dengan larangan dan aturan bagi pelakunya. Dari berbagai macam nilai yang ada, satu hal dapat dipetik pelajaran dari kedua upacara ini adalah nilai kedekatan dan penghargaan mereka terhadap alam yang dianggap telah menyediakan bahan makanan untuk mereka hidup. Di zaman modern sekarang, nilai seperti ini tampak mengalami krisis. Hal ini tampak dari bencana alam yang sering terjadi di negeri ini. Untuk itu, mengambil nilai ini untuk mengevaluasi gaya hidup orang modern sekarang bukan lagi penting tetapi kebutuhan yang mendesak.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi

Komentar

Postingan Populer