Sekurenan dan Sorohan: Keluarga dan Kekerabatan Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat

Sekurenan atau kurenan adalah istilah orang Sasak untuk menyebut keluarga inti mereka, yang terdiri dari bapak, seorang atau lebih ibu, dan beberapa anak. Sekurenan ini menjadi awal dari perumusan adat tentang sistem keluarga dan kekerabatan Sasak

1. Asal-usul

Suku Sasak adalah suku yang secara geografis hidup di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan secara budaya terikat dengan adat dan kebudayaan Sasak, siapapun dan dimanapun mereka berada. Dahulu kala, NTB mencakup Bali, Lombok, dan pulau Sumbawa. Provinsi ini pada zaman Belanda disebut dengan Sunda Kecil (Alvons Van Deer Kraan, 1980. Aryani Setyaningsih, 2007).

Dalam sistem kekeluargaan suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dikenal istilah Sekurenan atau Kurenan. Istilah ini berarti keluarga inti mereka yang terdiri dari bapak, seorang atau lebih ibu dengan beberapa anak (Ahmad Amin dkk, 1978). Jika melihat arti ini, tampaknya pola perkawinan poligami, di mana istri tinggal dalam satu rumah sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan orang Sasak sejak dulu kala (bahkan hingga sekarang).

Menurut orang Sasak, keluarga akan lahir bilamana terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik dari hubungan keluarga (misan) ataupun dari pihak yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan. Bila perkawinan yang sesuai dengan adat Sasak selesai dilaksanakan (berarti yang tidak sesuai adat dianggap tidak sah), ketika mereka memiliki anak, maka anak tersebut adalah anak dari bapak dan ibunya dan oleh karena itu anak tersebut mempunyai hubungan kekeluargaan baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapaknya (Amin dkk, 1978. John Ryan Bartelemoew, 2001).

Dalam aturan adat Sasak sehubungan dengan perkawinan, apabila keluarga tersebut bubar karena perceraian misalnya, maka anak-anak keduanya jika sudah besar biasanya akan ikut bapaknya. Dan sebaliknya, jika masih menyusui akan ikut ibunya, namun jika sudah besar akan kembali ikut bapaknya. Selama dalam proses menyusui bersama ibunya, maka sang bapak wajib memberikan nafkahnya.

Adat Sasak juga mengatur, bahwa jika sang isteri meninggal sebelum keluarga tersebut bubar, maka biasanya jenazahnya dimakamkan di kampung tempat tinggal suaminya. Pihak keluarga sang isteri biasanya tidak akan meminta jenazah tersebut untuk dimakamkan di kampung aslinya karena masih terikat dalam satu keluarga (artinya masih hak suaminya) (Amin, 1978).

Jika mencermati aturan adat di atas, maka keluarga bagi orang Sasak merupakan salah satu bagian penting yang perlu untuk ditata. Penataan ini didasarkan pada pemikiran bahwa agar sislilah kekerabatan mereka menjadi jelas, karena ketidakjelasan silsilah bagi orang Sasak akan berdampak negatif terhadap pembagian warisan, aturan siapa-siap yang boleh dan tidak boleh untuk di nikahi, interaksi kehidupan di masyarakat, bahkan konflik keluarga ( Bartelomew, 2001).

Jika keluarga Sasak sudah terbentuk, kebudayaan Sasak memiliki panggilan-panggilan tertentu yang unik terhadap anggota-anggota kekerabatan yang ada. Misalnya, Amak untuk bapak (jika bangsawan Mamiq), Inak untuk ibu, Semeton untuk saudara laki-laki dan perempuan, Papu Balo’ untuk kakek nenek mereka, dan sebagainya.

2. Konsep Kekerabatan Sasak
Konsep kekerabatan suku Sasak terlihat cukup sederhana. Suku ini hanya memisahkan sistem kekerabatan mereka menjadi dua kelompok, yaitu keluarga batih (keluarga inti) dan keluarga luas.

a. Kurenan atau keluarga kecil (inti)
Konsep keluarga batih dalam suku Sasak adalah terdiri dari bapak, seorang atau lebih ibu, dan beberapa anak. Keluarga model ini sering disebut dengan istilah sekurenan. Namun, sebenarnya istilah sekurenan bukan merujuk pada unsur-unsur keluarga tersebut, akan tetapi merujuk pada konsep kehidupan dan perekonomian. Artinya, meskipun dalam keluarga tersebut terdiri dari bapak, seorang atau lebih ibu, dan beberapa anak, namun jika di dalamnya ikut juga orang lain bermukim dan makan, misalnya nenek, paman, bibi, atau pembantu, maka mereka juga dianggap bagian dari keluarga yang harus dihidupi secara ekonomi (Amin dkk, 1978).

Jika sekurenan sudah terbentuk, maka dalam interaksi kehidupan nyata, keluarga Sasak memiliki panggilan-panggilan tertentu terhadap anggota-anggota sekurenan tersebut, yaitu:
  • Bapak akan dipanggil oleh anak-anaknya dengan panggilan Amak,[1] sedangkan oleh isterinya dipanggil Pun
  • Ibunya akan dipanggil oleh anak-anaknya dengan panggilan Ina’ dan oleh suaminya akan dipanggil Pun Nina
  • Anak yang paling besar (perangga) dipanggil Tekaka’
  • Anak yang paling kecil dipanggil Tradi
b. Sorohan atau keluarga luas

Sorohan adalah istilah orang Sasak untuk menyebut keluarga luas mereka. Secara umum, istilah sorahan merujuk pada silsilah suami isteri yang mengarah pada kakek nenek mereka masing-masing dan saudara-saudara yang berasal dari kakek nenek tersebut.

Dalam sorahan dikenal sebutan-sebutan tertentu, seperti.
  • Papu’ balo’, yaitu sebutan untuk kerabat suami isteri garis ke atas (kakek nenek hingga yang paling tua)
  • Semeton jari, yaitu sebutan untuk kerabat suami isteri garis ke samping
  • Papu’ bai, yaitu sebutan untuk kerabat suami isteri garis ke bawah
  • Saudara perempuan bapak dan ibu disebut dengan Ina’ Kaka (dibaca Inak kake)
  • Saudara laki-laki bapak dan ibu disebut dengan Ama’ Kaka (dibaca Amak kake)
Sehubungan dengan Papu’ Balu’ (kerabat garis ke atas), orang Sasak juga memiliki sebutan-sebutan tersendiri, yaitu:
  • Ama’ adalah sebutan untuk bapak
  • Papu’ adalah sebutan untuk orangtua dari bapak
  • Balo’ adalah sebutan untuk orangtua dari Papu’
  • Tata adalah sebutan untuk orangtua dari Balo’
  • Toker adalah sebutan untuk orangtua Tata
  • Goneng adalah sebutan untuk orangtua Toker
  • Keloyok adalah sebutan untuk orangtua Goneng
  • Kelatek adalah sebutan untuk orangtua Keloyok
  • Gantung siwur adalah sebutan untuk orangtua Kelatek
  • Wareng adalah sebutan untuk orangtua Gantung Siwur[2]
Selanjutnya, sehubungan dengan Semeton jari (kerabat ke samping), orang Sasak juga memiliki sebutan berbeda, yaitu:
  • Semeton adalah sebutan untuk adik atau kakak seseorang
  • Pisa’ atau Menasa sekali adalah sebutan untuk anak dari saudara seseorang
  • Sempu sekali atau Menasa dua adalah sebutan untuk anak dari misan orangtua seseorang
  • Sempu dua atau Menasa telu adalah sebutan untuk Sempu dari orangtua seseorang
Adapun sehubungan dengan Papu’ Bai (kerabat garis ke bawah), orang Sasak memiliki sebutan-sebutan sebagai berikut:
  • Naken atau Ruwan adalah sbeutan untuk anak saudara laki-laki atau perempuan, atau anak laki-laki maupun perempuan dari Sempu atau Menasa sekali atau dua kali seseorang
  • Mentoa’ adalah sebutan untuk orangtua laki-laki atau perempuan dari isteri seseorang (mertua)
  • Menantu adalah sebutan untuk isteri atau suami dari anak seseorang, baik laki-laki maupun perempuan
  • Sumbah adalah sebutan untuk orangtua Menantu seseorang
  • Kadang waris adalah sebutan untuk ahli waris seseorang yang berasal dari satu leluhur laki-laki
Perlu untuk disebutkan di sini, bahwa istilah untuk pencarian kerabat dari suami (pihak laki-laki), biasa disebut dengan istilah nurut lekan mama. Adapun dari isteri (pihak perempuan) disebut dengan nurut lekan nina. Dikarenakan kebudayaan Sasak menganut sistem patriakhi (laki-laki menjadi sumber utama), biasanya pencarian kerabat didominasi dari pihak laki-laki (nurut lekan mama). Hal ini dibuktikan dari hukum adat waris, di mana laki-laki memiliki bagian yang lebih banyak.[3]

Konsep keluarga luas ini masih dijaga dengan baik oleh orang Sasak hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dalam proses upacara adat perkawinan sorong serah (memberi dan menerima). Sorong serah adalah proses tawar menawar mahar (maskawin) suku Sasak. Dalam proses tersebut, uang bayar adat yang diterima pengantin perempuan akan dibagi-bagikan kepada seluruh keluarga yang hadir maupun tidak dalam upacara tersebut. Pembagian dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa mereka telah menikah dan permohonan doa restu atas pernikahan tersebut.

3. Pengaruh Sosial
Konsep keluarga dan kekerabatan orang Sasak yang berdasar sekurenan (keluarga inti) dan sorohan (keluarga luas), memiliki pengaruh-pengaruh tertentu dalam kehidupan sosial orang Sasak. Pengaruh-pengaruh sosial tersebut antara lain:

a. Pengaruh terhadap aturan sopan santun dalam memanggil anggota keluarga. Terlepas dari keluarga inti dan luas, dalam interaksi kehidupan masyarakat, orang Sasak dituntut saling menghormati antarsesama. Perilaku sopan santun dalam pergaulan menjadi aturan yang cukup ditakuti jika tidak dilaksanakan. Seorang anak yang berkata kasar kepada orangtuanya, disebut dengan bangga (dibaca benggek, huruf E dibaca e seperti kata ide), dan anak tersebut dipercaya akan mendapat tular manuh (bencana) berupa kecelakaan, kegagalan usaha, kesulitan pendidikan dan pekerjaan.

Beberapa aturan sopan santun yang biasa dipergunakan oleh orang Sasak antara lain:
  • Side (dibaca seperti kata ide) atau epe (dibaca seperti kata tempe), artinya kamu. Kata ini dipakai untuk memanggil orang lain yang lebih tua atau seumur. Pada beberapa desa di Lombok seperti desa Bentek, Kuranji, Sembalun, dan Bayan, istilah Side diganti dengan ete (dibaca seperti kata ide)
  • Ante (dibaca seperti kata tante) atau di’, artinya kamu. Kata ini dipergunakan untuk memanggil adik atau sepupu bapak atau ibunyayang lebih muda dari orangtuanya
  • Jika ada orangtua atau orang yang lebih tua sedang duduk, baik anggota keluarga maupun orang lain, orang Sasak yang lebih muda dilarang berdiri. Anak yang berdiri didekat orangtua yang sedang duduk dikatakan kasoan dan dianggap bejigar atau tidak sopan
  • Orang Sasak dilarang memakai tangan untuk menunjuk sesuatu karena dianggap tidak pantas
  • Anak yang lebih muda harus menggunakan bahasa yang halus jika berbicara atau menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua
  • Bila inigin bertamu ke rumah orang, maka harus berucap salam terlebih dahulu, yaitu assalamu’alaikum
b. Pengaruh terhadap aturan pembagian warisan. Sistem patriarki yang dianut dalam kebudayaan Sasak, secara kekerabatan juga menempatkan anak laki-laki pada posisi yang lebih dalam pembagian warisan. Anak laki-laki mendapatkan dua kali jatah anak perempuan. Sistem warisan ini tampaknya dipengaruhi oleh aturan Islam yang memang mempunyai sejarah yang kuat di Gumi Selaparang (sebutan untuk pulau Lombok).

c. Pengaruh terhadap adat pernikahan Sasak (merariq). Adat merariq mewajibkan laki-laki untuk “mencuri” perempuan yang akan dijadikan isterinya. Dalam kondisi ini, ketika perempuan tersebut sudah menjadi bagian di keluarga, maka posisinya sangat lemah. Perempuan harus “tunduk” kepada laki-laki (tidak boleh protes) dalam kehidupan kelarga dan kekerabatan, termasuk ketika ingin dimadu (poligami) (Bartelemoew, 2001).

d. Pengaruh terhadap meriahnya momen-momen budaya dan agama. Sistem kurenan dan sorohan hingga kini masih dijaga dengan erat oleh keluarga Sasak. Hal ini berefek positif bagi kehidupan budaya dan agam orang Sasak. Sebagai contoh adalah ketika salah satu keluarga dan kerabata mereka mengadakan upacara adat seperti pernikahan, khitanan, saat hari raya, pengajian, atau selamatan akan berangkat haji, maka hampir seluruh keluarga dan kerabat akan berkumpul di rumah orangtua mereka atau anak yang paling tua (jika orangtuanya sudah meninggal) dan memberikan sumbangan semampunya berupa uang atau hasil kebun (kelapa, beras, atau sayur mayur).

e. Pengaruh terhadap rasa persaudaraan antarkeluarga dan kerabat. Apabila bertemu dengan orang baru, orang Sasak biasanya akan bertanya asal kampung orang tersebut. Jika sudah diketahui, maka orang Sasak akan menyebut salah seorang keluarga atau kerabatnya yang (kebetulan) tinggal dikampung orang tersebut. Apabila orang tersebut mengenalnya, maka orang Sasak akan menanyakan ada hubungan keluarga dan kerabat atau tidak. Jika ada hubungan, maka selanjutnya mereka akan bercerita dengan akrab dalam suasana kekeluargaan. Hal ini biasanya akan diteruskan dengan mengundang orang yang baru dikenal tersebut jika ada upacara adat. Kondisi ini akan melahirkan rasa persaudaraan antarkeluarga dan kerabat. Akan tetapi jika tidak terdapat hubungan keluarga dan kerabat, orang Sasak sangat rentan dengan konflik akibat hal yang sepele, misalkan ada anak muda yang kebut-kebutan motor. Satu hal yang menarik, jika ada orang Sasak sedang meneyelenggarakan upacara lingkaran hidup, seperti perkawinan atau sunatan, maka nasi dan sayur yang akan dihidangkan untuk para tamu dimasak oleh kerabat mereka secara tradisional. Hal ini masih dipraktekkan meskipun dikota propinsi, kabupaten, kecamatan, apalagi desa. Hal ini tidak berlaku keluarga yang melangsungkan pernikahan di gedung.

4. Penutup
Sejak dahulu hingga sekarang, Lombok dikenal sebagai pemasok tenaga kerja Indonesia (TKI) atau tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri. Biasanya, ketika mereka pulang kampung, mereka akan membawa budaya baru yang berbeda dengan budaya Lombok. Akibatnya, budaya Lombok tergantikan dengan budaya baru tersebut. Sopan santun yang diajarkan oleh budaya Sasak mulai hilang. Bahkan, orang Sasak sudah mulai malu disebut dirinya orang Sasak. Orang Sasak juga sangat rentan dengan konflik antar kampung atau konflik politik (agama). Di tengah gempuran budaya modern dan intrik politik daerah yang mengharu biru, maka sistem kerunen dan sorohan ini penting diapresiasi dan dijaga. Tradisi budaya dimungkinkan akan menjadi solusi ampuh untuk mengatasi problem sosial dan politik yang ada.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Ahmad Amin dkk, 1978. Adat istiadat daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Depdikbud RI
  • Aryani Setyaningsih. Lelaki Pepadu (Tesis). 2009. Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Alvons Van Deer Kraan, 1980. Lombok, Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940. Australian University Press.
  • Erni Budiwanti, 2000. Islam Sasak, Wetu Lima versus Wetu Telu. Yogyakarta : Kanisius.
  • John Ryan Bartolomew, 2001. Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta : Tiara Wacana
  • Suhartono. 1970. Pengaruh bangsa-bangsa luar di Lombok. Buletin no 3 Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
  • Slamet Mulyana, 2007. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, karangan Empu Prapanca. LKIS : Yogyakarta
Catatan kaki:
  • [1] Namun bagi orangtua yang berasal dari golongan bangsawan, maka bapak oleh anak-anaknya akan dipanggil Mamiq. Stratifikasi sosial bangsawan Lombok terbagi menjadi tiga yaitu Raden untuk bangsawan yang tinggal di Bayan, Lalu untuk bangsawan Lombok secara umum, dan Tuan Guru untuk bangsawan Lombok dalam bidang keagamaan. Sedangkan Mamik adalah sebutan pengganti untuk bangsawan Sasak, baik yang bergelar Lalu atau Raden. Raden adalah sebutan untuk bangsawan Bayan laki-laki dan Dende untuk bangsawan perempuan (Suhartono, 1970. Setyaningsih, 2009).
  • [2] Dua istilah sasak, yaitu Gantung Siwur dan Wareng, juga dipakai dalam sistem kekerabatan orang Jawa, dengan makna yang sama pula.
  • [3] Budaya seperti ini juga terjadi pada masyarakat Bali, di sana disebut dengan istilah sidikare. Tradisi menelusuri keluarga luas ini (sidikare) juga masih dijaga orang Bali yang tinggal di Lombok. Kemiripan ini sangat beralasan karena menurut teori C Van Volnehoven, Bali, Lombok, dan Sumbawa bagian barat digolongkan sebagai satu daerah hukum adat (Amin dkk, 1978).

Komentar

Postingan Populer