Helaihili dan Ehabla Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani Papua

Oleh Empuesa

Penulis    : Wigati Yektiningtyas-Modouw  
Penerbit  : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Cetakan  : Pertama, Mei 2008
Tebal      : xxvi + 728 halaman
Ukuran    : 15,3 x 22,8 cm

Buku yang ada dihadapan anda ini sebenarnya merupakan disertasi dari penulis ketika menempuh pendidikan S 3 jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2004-2007). Penulis sendiri adalah dosen di Program Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Cenderawasih, Jayapura sejak tahun 1987 dan bersuamikan orang Papua. Dengan demikian, ketika menulis disertasi ini penulis adalah seorang peneliti dan partisipan tulen dalam kehidupan dan kebudayaan orang Sentani.


Buku ini memuat kajian dua sastra lisan orang Sentani, Papua, yaitu helaihili, yakni lantunan kata-kata yang berisi tentang pujian kepada seseorang ketika orang tersebut masih hidup, dan ehabla, yang berasal dari kata eha (sesuatu) dan bla (nyanyian), yakni lantunan kata-kata yang didendangkan dalam waktu-waktu tertentu seperti saat pembukaan kebun baru, pelantikan kepala adat, pesta panen, dan pernikahan. Dengan demikian, helaihili dan ehabla merupakan dua sastra lisan yang pementasannya saling berlawanan. Helaihili dilantunkan saat kematian, dan ehabla dilantunkan dalam suasana gembira. Dua tradisi lisan ini hingga sekarang masih sering di gelar dan semoga akan terus dijaga karena memuat nilai-nilai kehidupan yang positif.

Sebagai sebuah tradisi lisan yang penting bagi orang Sentani, buku ini membahas dengan rinci fungsi dua sastra lisan tersebut sebagai teks (penafsiran antarteks), bukan fungsi empiris terhadap kehidupan orang Sentani. Sebuah metode yang salah jika merujuk pada aliran fungsional. Karena menurut aliran fungsional, fungsi dari unsur budaya hanya dapat dipastikan jika unsur budaya tersebut memiliki “sumbangan” kepada unsur budaya yang lain, atau pada keseluruhan sistem (lihat Radcliffe Brown, 1945, Structure and function in primitive society. London: The Free Press). Namun, sepertinya penulis mengutip fungsionalisme hanya sebagai teori yang biasa dipakai dalam kajian folklore, bukan sebagai pisau analisis dengan paradigma fungsionlisme (hal. Xii).

Meskipun demikian, dalam konteks pengungkapan kebudayaan orang Sentani yang masih sedikit, penulis sangat berjasa karena sudah menelaah dengan seksama kebudayaan orang Sentani yang mungkin oleh orang Sentani sendiri dianggap biasa. Dalam konteks ini pula, bagi para pengkaji sastra, buku ini penting untuk dibaca. Adapun bagi orang Sentani sendiri, buku ini perlu dibaca dan dipahami, karena dengan membaca dan memahaminya akan memunculkan ide untuk mendokumentasikan kebudayaan Sentani yang lain agar tidak punah dimakan zaman.

Perempuan Sentani Antara Realitas dan Tradisi Lisan
Sosok perempuan di dunia ini memang dikonstruksi selalu berada di bawah (atau lebih rendah) dari laki-laki, meskipun memang ada tugas-tugas perempuan yang tidak dapat dikonstruksi dan pertukarkan dengan laki-laki, seperti melahirkan, menyusui, atau mengasuh anak. Konon perempuan sudah alamiahnya melayani, sedangkan lelaki dilayani. Perempuan adalah representasi dari alam (nature) yang harus diatur (liar), sedangkan laki-laki adalah representasi dari sosok yang mengatur.

Tidak terkecuali perempuan Sentani di Papua. Dalam sistem kekerabatannya, orang Papua menganut sistem patriarkhi, di mana kaum laki-laki memegang peranan utama dalam kehidupan. Laki-laki menjadi sumber pokok yang harus dirujuk pertama kali dalam setiap mengambil keputusan, baik menyangkut urusan publik dan domestik. Pembagian peran yang seimbang seperti yang diinginkan oleh kaum feminis tampaknya tidak dapat diakomodir dalam kehidupan orang Papua. Kaum perempuan tetap menjadi nomer dua. Akibatnya, tidak sedikit nasib perempuan Papua terlihat sangat memprihatinkan.

Dalam sebuah novel kecil berjudul Sali tulisan Dewi Linggasari (2007) dikisahkan bahwa jika perempuan Papua tidak lagi kuat menanggung beban hidup akibat ulah suami yang suka kawin, mereka akan pergi ke tepi sungai lalu menggantungkan tali yang terikat batu kemudian menenggelamkan dirinya ke sungai tersebut. Orang kampung akan tahu kalau ada perempuan mati di sungai jika ditemukan sali (pakaian perempuan Papua sejenis rok) di atas batu tepi sungai.

Jika mendengar kata perempuan Papua, maka yang terngiang dalam imajinasi kita adalah sebuah gambaran tentang kerja keras, sosok makhluk yang takluk di tangan laki-laki (suami), mengurus anak di rumah, dan meremas sagu. Perempuan Papua sering digambarkan sebagai perempuan yang kalah dalam kehidupan Papua. Perempuan yang hidupnya hanya sekitar honai (rumah orang Papua). Novel di atas adalah salah satu gambaran realitas yang terjadi. Namun, apakah perempuan Papua selalu digambarkan sedemikian menyedihkan seperti dalam novel sali?

Tidak dapat dipungkiri, realitas perempuan Papua memang jauh dari kebebasan. Hidup mereka selamanya terkungkung dalam aturan adat yang memposisikan laki-laki lebih bebas dan berkuasa dan perempuan tidak boleh protes. Karena memprotes adalah melawan adat dan hukuman adat balasannya.

Namun, sangat disayangkan, seperti umumnya perempuan di negeri ini, perempuan Papua hanya terasa dan terlihat indah dalam mitos dan karya sastra. Salah satunya dalam dua tradisi lisan helaihi dan ehabla ini. Dalam kedua tradisi lisan ini, perempuan Sentani di Papua digambarkan sebagai perempuan yang cantik fisik (penime/yoinime), baik hati (u foi/wa foi), penggembira (kui-kui), berbudi bahasa (a foi/faeu foi), lemah lembut (nime), penurut (peu bam/yana bam), pintar (itae/haba), kuat fisik (ulae/walae), pekerja keras (melafoi/mekaifoi), dan pendukung suami (hal. 414-455). Perempuan-perempuan dengan ciri-ciri seperti itulah yang disukai oleh laki-laki Sentani.

Meskipun demikian, perempuan-perempuan ini tetap harus tunduk kepada laki-laki, ciri yang terakhir menjadi bukti itu semua. Perempuan Sentani tetap tidak merdeka dengan dirinya sendiri, meskipun mereka cantik fisik, baik hati, berbudi bahasa, lemah lembut, pintar dan kuat fisik, namun mereka baru akan disukai laki-laki dan dianggap adat sebagai perempuan baik jika dia penurut dan mendukung suami. Dalam konteks ini, adat Sentani menjadi penguat kekuasaan laki-laki atas perempuan.

Eksistensi perempuan Sentani tampaknya selamanya akan hanya menjadi indah dalam tradisi lisan seperti dalam helaihili dan ehabla ini. Dalam konteks kebudayaan, tradisi lisan helaihili dan ehabla menjadi penanda identitas perempuan Sentani yang luhur namun berkebalikan dalam realitasnya. Terlepas dari kontradiksi ini, gambaran indah tentang perempuan Sentani dalam dua tradisi lisan ini sebenarnya dapat dijadikan penyemangat pemerintah daerah Papua untuk memberdayakan perempuan Sentani, karena ternyata sosok-sosok perempuan Sentani memiliki potensi luar biasa untuk pembangunan manusia Papua masa depan. 
(Resensi ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer