Kawin Jadi Suntung

Oleh Empuesa 

Hukum adat Kawin Jadi Suntung adalah hukum adat tentang tata cara perkawinan suku Dayak Pesaguan, Kalimantan Barat. Hukum adat ini masih terekam baik dalam bentuk tulisan maupun ingatan masyarakat Dayak Pesaguan hingga kini.
Asal-usul

Masyarakat Dayak Pesaguan adalah kelompok masyarakat asli yang mendiami wilayah hulu aliran Sungai Pesaguan di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kelompok ini tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tumbang Titi di bagian paling timur, Kecamatan Lalang Panjang di bagian tengah, dan Kecamatan Sungai Melayu Raya di bagian barat. Dayak Pesaguan terbagi dalam dua kelompok masyarakat, yaitu Pesaguan Hulu dan Kanan ( http://www.gong.tikar.or.id/?mn=sorot&kd=134).

Masyarakat Dayak Pesaguan memiliki tradisi kebudayaan yang kaya, namun sayang sekali belum banyak tulisan yang mendokumentasikannya. Salah satu tradisi kebudayaan orang Dayak Pesaguan yang hingga saat ini masih coba dipertahankan di tengah gempuran budaya modern adalah tradisi Kawin Jadi Suntung atau perkawinan yang sah menurut Dayak Pesaguan.

Perkawinan ini sangat unik karena digelar dalam sebuah prosesi yang panjang dan syarat-syarat yang rumit namun menyimbolkan beragam makna. Tradisi ini terekam dalam hukum adat Kawin Jadi Suntung yang berisi tentang berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengantin laki-laki agar dapat mempersunting seorang gadis dan berbagai prosesi perkawinan mulai dari pertunangan hingga ritual saat kehamilan pertama (Fransiskus Raji’in, 2009).

Lebih lanjut Raji’in (2009) menyatakan, hukum adat ini dipercaya oleh masyarakat Dayak Pesaguan sebagai tradisi yang berasal dari peninggalan nenek moyang mereka zaman dahulu. Berdasarkan cerita turun temurun, nenek moyang orang Dayak Pesaguan telah melakukan prosesi perkawinan mereka seperti dalam adat Kawin Jadi Suntung ini. Dengan demikian, seluruh masyarakat Dayak Pesaguan berkewajiban melaksanakan perkawinannya berdasarkan tata cara dalam hukum adat ini.

Hukum adat Kawin Jadi Suntung terbagai dalam tujuh poin, yaitu batunang ba anduhan (bertunangan dan merencanakan), pasorah pasurung (penyerahan barang dari pengantin laki-laki), ma’arak pangantin (mengarak pengantin laki-laki), papalit tandar (mengoleskan sesuatu pada bagian-bagian tertentu kedua pengantin), pasalin pasibur (pemberian gelar dan panggilan akrab kepada kedua pengantin), manoyikan pangantin (mengantra pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan setelah tiga malam), dan papalit bunting (mengoleskan sesuatu saat isteri hamil).

Konsep Hukum Adat Kawin Jadi Suntung

Hukum adat Kawin Jadi Suntung merupakan hukum adat perkawinan yang cukup unik karena tidak ditulis dalam pasal-pasal tertentu dan menggunakan bahasa-bahasa hukum. Akan tetapi hukum adat ini ditulis dalam bentuk cerita mengenai proses perkawinan serta ritual-ritual yang harus dilaksanakan. Berikut adalah hukum adat Kawin Jadi Suntung yang dikutip dari tulisan Fransiskus Raji’in dalam buku “Hukum Adat Nikah Kawin Jadi Suntung Menurut Hukum Adat Pesaguan Tengah (Kangkubang Jelayan)” tahun 2009 terbitan Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ketapan. Penulis adalah salah satu orang yang masih peduli terhadap kebudayaan Dayak Pesaguan. Redaksi hukum adat ini akan sedikit diubah dengan ditulis ringkas tanpa mengubah maknanya.

Hukum Adat Nikah Kawin Jadi Suntung 

Batunang Ba anduhan (bertunangan)

Jika seorang laki-laki dan perempuan sudah saling suka dan ingin menikah, maka keduanya harus melakukan pertunangan. Proses pertunangan ini terbagi dalam dua bentuk, yaitu pinang pinta sirih lamar (melamar) dan bintang parajanjian bulan pahabaya’an (perencanaan pernikahan).
  •  Pinang pinta sirih lamar (melamar)
Jika seorang laki-laki ingin menikah dengan seorang perempuan, maka dia harus melamar atau meminangnya. Saat meminang boleh diantarkan kedua orangtua, keluarga, atau orang lain yang ditunjuk (suruhan). Pihak laki-laki pertama kali menanyakan kepada orangtua perempuan apakah ada anak gadis mereka. Jika orangtua perempuan menjawab ada, maka pihak laki-laki menyatakan ingin meminta anak gadis tersebut. Jika orangtua perempuan menyatakan boleh, maka peminangan dilanjutkan dengan meminta pihak laki-laki untuk memberi bukti kesungguhan atau petuanganan yang terdiri dari tiga barang, yaitu membawa mangkuk sesingkar (sebuah mangkuk), cincin sebentuk (sebuah cincin), dan kain batik selembar. Petunangan ini harus tersedia dan jumlahnya boleh ditambah dengan barang-barang lain.

Setelah pertunangan selesai dilakukan, maka kedua bujang dan dara tersebut sudah saling mengikat. Mereka tidak bebas lagi bergaul dengan teman-temannya sekalipun pertunangan ini dapat batal karena sebab tertentu. Jika mereka tidak jadi kawin, maka akan dikenakan denda yang disebut pasarakan tunang pada pihak yang membatalkannya. Besar denda tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun, sebesar-besar denda adalah sebuah tajau dan sekecil-kecilnya sesingkar piring.
  • bintang parajanjian bulan pahabaya’an (merencanakan pernikahan)
Jika bujang dara sudah bertunangan, maka selanjutnya ditentukan hari pernikahannya dan hendaknya jangan terlalu lama karena menghindari masalah yang tidak diketahui. Waktu pelaksanaan dapat diatur sendiri atau dirangkaikan dengan pesta kampung saat panen tiba. Tempat pelaksanaan pernikahan disesuaikan dengan kesepakatan. Dapat di rumah mempelai laki-laki atau perempuan. Biaya dapat ditanggung bersama kedua mempelai atau oleh seluruh warga jika bersamaan dengan pesta kampung. Oleh karena itu, pihak yang berwenang melaksanakan pesta kampung harus menanyakan kepada warganya apakah ada yang ingin menggelar Kawin Jadi Suntung.
Pasorah Pasurung (penyerahan barang dari pengantin laki-laki)

Sebelum pelaksanaan pernikahan, pengantin laki-laki harus menyerahkan barang-barang tertentu kepada pihak perempuan. Barang-barang tersebut adalah berupa:
  • Mangkuk lima singkar sebagai lambang adat istiadat dan tata aturan dalam kehidupan sehari-hari dalam mencari jodoh serta sebagai lambang kesungguhan.
  • Parang sebilah lengkap dengan sarungnya sebagai lambang kebulatan hati seorang laki-laki yang ingin memyunting seorang gadis.
  • Lambing sepucuk sebagai lambang keperkasaan seorang laki-laki dan harapan mendapat keturunan, sebagaimana keberhasilan membawa binatang buruan.
  • Pinggan (piring) dua singkar sebagai lambang kedua mempelai yang akan menjadi satu.
  • Pinggan sesingkar sebagai lambang tanggungjawab seorang laki-laki, yaitu sebagai tempat mengadu dan pemenuhan sandang pangan.
  • Pinggan lima singkar dan mangkuk lima singkar sebagai lambang status sosial dalam masyarakat yang disebut dengan piring bilangan mangkuk bilangan. Ada empat tingkatan bilangan yang dilambangkan dengan pinggan dan disebut dengan istilah semeroga’, yaitu:
  • Semeroga sa’, yaitu pinggan dan mangkuk sesingkar untuk warga fakir miskin.
  • Semeroga tiga’, yaitu pinggan dan mangkuk tiga singkar untuk warga biasa.
  • Semeroga lima’, yaitu pinggan dan mangkuk lima singkar untuk warga keturunan pejabat desa dan adat. Namun, sekarang jumlah ini berlaku untuk semua tingkatan warga.
  • Semeroga’ sepuluh, yaitu pinggan dan mangkuk sepuluh singkar untuk warga pejabat desa dan adat.
  • Sebuah tajau sebagai lambang harga diri.
  • Selembar batik atau kain sebagai lambang tanggungjawab pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
  • Rantai marik (manik-manik) sebagai tanggung jawab suami terhadap isteri.
  • Lima batang tempuling bakakarau yang melambangkan ikatan dalam masyarakat, keluarga, dan sesama manusia.
  • Dua buah Cupu (tempat minyak wangi) yang melambangkan keawetan perempuan sebagai isteri.
  • Dua singkar Pinggan yang melambangkan peralihan status dari masa remaja menjadi dewasa. Oleh karena itu, kedua mempelai dianugerahi gelar baru saat peresmian perkawinan nanti.
  • Dua lembar batik atau kain sebagai lambang tanggungjawab anak menantu terhadap orangtua/mertua.
  • Selembar batik atau kain sebagai lambang tanggungjawab cucu terhadap nenek.
  • Sebatang seluak atau sesingkar piring sebagai lambang tanggungjawab cucu terhadap kakek.
  • Sesingkar mangkuk sesingkar, sebilah pisau, daun roso’, daun hahidup, air tuak, beras secukupnya, seekor ayam jantan sebagai lambang sahnya perkawinan.
Selain menyerahkan barang-barang di atas, kedua mempelai harus menyerahkan sesingkar mangkuk sebagai bukti perjanjian akan menikah dan tidak akan bercerai. Namun, jika memang harus bercerai, maka terhadap pihak yang mengajukan cerai akan diberikan hukuman sesuai perjanjian kedua belah pihak dengan mempertimbangkan penyebab perceraian.

Ma’arak Pangantin (mengarak pengantin)

Jika barang-barang yang harus diberikan kepada pihak perempuan sudah terpenuhi semua, maka pengantin laki-laki diarak dari rumahnya menuju tempat upacara, yaitu rumah mempelai perempuan. Pengantin perempuan hendaknya sudah menunggu di tempat upacara tersebut.

Ma’arak pangantin dipimpin oleh wakil dari pihak pengantin perempuan sebagai juru bicara (suruhan) untuk meminta beberapa barang kepada pengantin laki-laki, yaitu mangkuk lima singkar, beliung seputingan, dan parang sebilah sebagai bukti kesungguhan laki-laki.

Pengantin laki-laki datang diiringi rombongan menuju pengantin putri yang duduk di atas tikar atau gong di tempat upacara. Ketika pengantin laki-laki dan rombongan masuk ke rumah tempat upacara, mereka disambut dengan diberi minum segelas atau semangkok tuak dan harus dihabiskan. Setelah itu, kedua pengantin duduk bersandingan lalu diberi semangkuk tuak untuk diminum bersama secara bergantian dan diberi rokok serta sirih untuk diisap secara bergiliran pula.

Papalit Tandar (mengoleskan sesuatu pada bagian tubuh tertentu kedua pengantin)

Jika kedua mempelai telah duduk bersandingan, maka keduanya akan diolesi ramuan-ramuan berupa daun roso’, daun hahidup, tuak, beras, dan air yang dicampur dengan darah ayam dan sebilah pisau. Adapun bagian-bagian tubuh yang diolesi adalah sebagai berikut:
  • Pipi kiri dan kanan
  • Punggung belakang dan dada
  • Siku kiri dan kanan
  • Telapak kiri dan kanan
  • Atas lutut kiri dan kanan
  • Tulang kering kiri dan kanan
  • Telapak kaki kiri dan kanan
  • Dahi
  • Ubun-ubun
Proses pengolesan diawali dari pengantin laki-laki lalu pengantin perempuan. Sebelum diolesi, kedua pengantin diperintahkan untuk menggigit pisau oles.

Pasalin Pasibur (pemberian gelar dan panggilan akrab kepada kedua pengantin)

Jika proses pengolesan telah selesai dilaksanakan, maka selanjutnya kedua mempelai diajak menari oleh domong (pemimpin upacara) dan suruhan. Saat itu pula kedua pengantin akan mendapat gelar sesuai dengan status sosial mereka di masyarakat. Gelar tersebut digunakan untuk panggilan pada saat acara-acara adat tertentu.

Kedua pengantin juga diberikan panggilan akrab (tentimangan). Dalam aktivitas sehari-hari, mertua dan semua kerabat dekat kedua pengantin tidak boleh memanggil nama asli menantunya, tetapi menggunakan nama tentimangan tersebut. Setelah proses pasalin pasibur selesai dilaksanakan, kedua mempelai dianjurkan mandi di sungai untuk membuang sial.

Manoyikan Pangantin (mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan setelah tiga malam)

Walaupun sudah sah menjadi suami isteri, kedua pengantin tidak boleh langsung tidur bersama, kecuali setelah tiga malam, yaitu setelah pengantin laki-laki diantarkan oleh keluarganya ke rumah pengantin perempuan.

Papalit Bunting (membayar adat saat isteri hamil).

Jika setelah beberapa hari kemudian diketahui sang isteri hamil, maka sang suami harus membayar adat bunting yang terdiri dari:
  • Sebuah tempayan hitam
  • Selembar kain batik
  • Sesingkar piring
  • Sesingkar mangkuk
  • Sebilah parang
  • Sebilah pisau
  • Sepucuk lembing
  • Sesingkar mangkuk, sebilah pisau, seekor ayam, daun roso’, daun hahidup, air, dan sedikit tuak dijadikan satu paket
Pembayaran adat ini hanya wajib saat isteri hamil untuk pertama kali. Namun, jika diketahui sang isteri melahirkan sebelum sang suami membayar adat, maka sang suami akan dikenakan hukuman adat dan denda adat.

Pelaksanaan dan Hambatan

Hingga saat ini hukum adat Kawin Jadi Suntung masih ditradisikan oleh umumnya orang Dayak Pesaguan generasi tua, meskipun tidak sama persis dengan aturan adat yang ada. Pada bagian-bagin tertentu dalam prosesi tersebut telah mengalami penambahan dan pengurangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan keadaan ekonomi masyarakat. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa persyaratan dalam hukum adat Kawin Jadi Suntung yang sulit di temukan lagi. Oleh karena itu, biasanya diganti dengan barang yang lain.

Selain itu, masuknya budaya modern dalam kehidupan masyarakat Dayak Pesaguan menyebabkan mereka memiliki permikiran yang berbeda terhadap adat Kawin Jadi Suntung ini. Sebagian masyarakat menganggap adat Kawin Jadi Suntung cukup rumit, memerlukan biaya mahal, dan ketinggalan zaman. Oleh karena itu, mereka lebih memilih model perkawinan yang modern bagi mereka yang kaya, sedangkan bagi yang ekonominya pas-pasan lebih memilih perkawinan yang sederhana. Dalam konteks ini, tradisi adat Kawin Jadi Suntung dapat dikatakan diambang kepunahan.

Nilai-nilai

Hukum adat Kawin Jadi Suntung adalah hukum adat tradisional yang memiliki banyak nilai, antara lain:
  • Status sosial. Nilai ini tampak sekali dari pelaksanaan perkawinan yang mengatur jumlah piring (pinggan) dan mangkuk yang harus dibawa pengantin laki-laki sebagai persembahan kepada pengantin perempuan yang disebut dengan istilah piring bilangan mangkuk bilangan. Jumlah piring dan mangkuk yang dibawa ternyata melambangkan status sosial keluarga kedua pengantin dalam masyarakat. Dalam konteks ini, ternyata meskipun hanya sebuah piring dan mangkuk yang terlihat sepele, namun dalam kebudayaan Dayak Pesaguan keduanya memuat nilai sosial yang besar.
  • Simbol. Nilai ini jelas sekali dari berbagai barang yang harus dibawa oleh pengantin laki-laki sebagai bukti kesungguhan niatnya mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Barang-barang tersebut ternyata memiliki lambang-lambang tertentu dalam kebudayaan Dayak Pesaguan. Lambang-lambang tersebut menjadi penyemangat dan pengikat mereka terhadap kebudayaan leluhur yang dikuatkan dalam hukum adat.
  • Kebersamaan. Dalam perkawinan Kawin Jadi Suntung, nilai ini tampak dari pelaksanaan perkawinan tersebut yang melibatkan kedua keluarga, kerabat, dan masyarakat. Hal ini akan semakin tampak jelas jika perkawinan tersebut dirangkaikan dengan pesta panen kampung yang melibatkan lebih banyak orang. Kondisi ini tentu saja akan menumbuhkan rasa kebersamaan sebagai sebuah suku Dayak. Dalam konteks ini, hukum adat telah menjadi pengikat masyarakat Dayak Pesaguan untuk selalu bersatu.
Penutup

Hukum adat Kawin Jadi Suntung dalam konteks kebudayaan telah mengajarkan sesuatu yang penting, yaitu bagaimana barang-barang yang digunakan orang Dayak Pesaguan dalam kehidupan keseharian mereka ikut dijadikan bagian dalam upacara tradisi. Melalui simbol yang dilambangkan barang-barang tersebut serta nilai-nilai yang ada, masyarakat Dayak Pesaguan didorong untuk selalu terikat dengan tradisi nenek moyang mereka. Tugas selanjutnya adalah bagaimana menjaga tradisi ini agar tidak punah ditelan zaman.

(Tulisan ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Fransiskus Raji’in, 2009. Hukum adat nikah Kawin Jadi Suntung menurut hukum adat Pesaguan Tengah (Kengkubang Jelayan). Ketapang: Kantor Informasi, Kebudayaan, dan Pariwisata.
  • Fransiskus Raji’in, 2009. 12 Cerita setengah sejarah diangkat dari cerita rakyat wilayah Pesaguan Tengah. Ketapang: Kantor Informasi, Kebudayaan, dan Pariwisata.
  • AL. Yan Sukanda. Gong dalam budaya Dayak Pesaguan. Terdapat di http://www.gong.tikar.or.id/?mn=sorot&kd=134 (online). (Diunduh tanggal 19 Mei 2010).
  • Badan Pusat Statistik Kabupaten Ketapang. Peta Tematik Kabupaten Ketapang. Tersedia di http://kalbar.bps.go.id/ketapang/map.html (online). (Diunduh tanggal 20 Mei 2010).

Komentar

Postingan Populer