Hukum Bicara Perniagaan Laut

Oleh Empuesa

Undang-undang Bandar Bima adalah hukum bicara (adat) yang berisi ketentuan tentang kewajiban membayar bea cukai, hukum berutang, dan tata tertib lain yang harus dipatuhi oleh rakyat Bima, para pedagang, dan hamba (buruh) yang berkegiatan di Bandar Bima pada zaman kekuasaan Kerajaan Bima.

Asal-usul

Kerajaan Bima berkuasa di sisi timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada abad ke-14 hingga 19 M. Sekarang, wilayah kekuasaannya termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada awalnya, Bima dikenal dengan nama Mbojo. Wilayahnya disebut Dana Mbojo (Tanah Bima), penduduknya berbahasa Mbojo, dan orang Bima menyebut diri mereka sendiri Dou Mbojo atau Dou Donggo (Ahmad Amin, 1971; Henri Chambert Loir, 1982; www.bimakab.go.id). Adapun Mbojo berubah menjadi Bima setelah mendapat pengaruh dari Islam karena Bima diambil dari kata Bismillahirrahmanirrahim (Syarifudin Jurdi (2007).

Pemerintahan Kerajaan Bima didasarkan pada hukum bicara atau hukum adat. Hukum ini terhimpun dalam sebuah buku berjudul Bo’ Sangaji Kae. Hukum ini diatur oleh sebuah majelis adat yang dipimpin oleh seorang ketua adat bergelar Raja Bicara atau Ruma Bicara (bicara=adat). Selain Raja Bicara, majelis adat tersebut juga beranggotakan para pejabat berikut ini.
  • Tureli (bupati), terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo.
  • Jeneli (camat), jumlahnya sesuai dengan kebutuhan kerajaan. Pada awal pembentukan jeneli hanya terdapat 3 (tiga) sampai 6 (enam). Pada abad 19 M, jumlah ini bertambah menjadi 11 jeneli. 
  • Bumi, terdiri dari sepuluh bumi yang dipimpin oleh kepala bumi yang bergelar Bumi Luma Rasanae. Tugas bumi adalah membantu tugas-tugas tureli dan jeneli.
  • Gelarang (kepala desa), dipilih oleh masyarakat desa sendiri dan dilantik oleh Raja Bicara. Gelarang memiliki beberapa bawahan, antara lain Gelarang Kepala Belo, Bolo, dan Sape.
Salah satu hukum bicara Bima yang cukup terkenal adalah Undang-undang Bandar Bima. Menurut Siti Maryam R Salahudin (2004), kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa Kerajaan Bima sudah memiliki pelabuhan besar pada tahun 1365 M. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya kapal-kapal pedagang dari suku-suku lain seperti Bugis, Melayu, dan Sumbawa yang berlabuh di Bandar Bima. Kondisi ini mempengaruhi pola kehidupan rakyat Bima. Penguasa Bima kemudian menerbitkan sebuah undang-undang untuk mengelola Bandar Bima.

Naskah Undang-undang Bandar Bima ditulis pada tahun 1173 Hijriah atau 1759 Masehi, yakni pada masa pemerintahan Sultan Bima VIII, Abdul Kadim Muhammad Syah Zilullah fil ‘Alam (1751-1773 M). Undang-undang Bandar Bima ini berisi tentang kewajiban pembayaran bea cukai, hukum berutang, dan tata tertib lain yang harus dipatuhi oleh setiap pedagang dan buruh di Bandar Bima selain Jeneli, Tureli, Bumi Nggeko, dan Bumi Sanciwe (pejabat wanita) yang berasal dari kalangan bangsawan tinggi karena mereka dikategorikan sebagai anak-anak raja. Selain dari kalangan di atas, semua orang wajib membayar pajak karena pajak merupakan penghasilan Syahbandar dan Bumi Parisi (juru bahasa) (Salahudin, 2004; Loir, 1999).

Undang-undang Bandar Bima juga mengatur para pedagang yang berasal dari luar Bima yang ingin mendapatkan keringanan harga harus terlebih dahulu menghadap kepada Duli Yang Dipertuan Kita Sultan. Perahu-perahu para pedagang muslim, Nasrani, dan orang Walanda (Belanda) yang singgah di Bandar Bima baru akan dikenakan pajak jika digunakan untuk berniaga. Perahu selain perahu niaga tidak boleh berlabuh di Bandar Bima. Para pedagang dari Makasar dan Bugis dikenakan pajak berdasar jumlah perahu yang digunakan berniaga dan dibatasi hanya sampai enam buah perahu (Salahudin, 2004; Loir dan Salahudin, 1999).

Undang-undang ini juga mengatur tata tertib negeri dan sesuatu yang patut atau tidak patut dikerjakan oleh pedagang. Contohnya adalah sebagai berikut:
Jika ada pedagang yang mengutangkan barangnya kepada hamba raja atau hamba orang lain, maka harus sepengetahuan tuannya. Jika tidak, seandainya barang tersebut hilang, maka barang dianggap hilang dan tuannya atau Negeri Bima tidak berkewajiban mengganti.

Jika ada pedagang yang pergi malam hari, maka hendaklah dia membawa penerangan sendiri.Jika ada yang berdagang pada hari Jumat, yakni saat orang-orang sedang shalat jumat, maka seandainya dia ditangkap oleh pengawal kerajaan, tidak boleh menyalahkan penguasa dan Negeri Bima.

Jika ada pedagang membuat onar di dalam negeri atau pasar dengan menggunakan senjata, maka senjatanya akan dirampas oleh pengawal kerajaan dan akan didenda oleh Syahbandar karena sudah membuat takut kaum perempuan di dalam negeri dan pasar.

Udang-undang Bandar Bima juga mengatur bahwa jika ada penumpang yang ikut berlayar, maka identitas penumpang harus diketahui dan diberitahukan kepada Syahbandar. Selain itu, jika terdapat pedagang yang berbuat kesalahan sehingga patut dibunuh, maka masalahnya harus disampaikan dahulu ke Duli Yang Dipertuan Kita, baru kemudian dihukum. 
Selanjutnya, jika ada hamba pedagang (buruh atau karyawan) lari dari Negeri Bima dan diketahui oleh orang lain, seandainya orang tersebut tidak memberitahukan kepada kepada Syahbandar, maka pemilik hamba tersebut akan didenda jika pada lain waktu hamba tersebut diketemukan. Namun sebaliknya, jika orang tersebut memberitahu Syahbandar, maka dirinya akan mendapat upah. Semua denda berbentuk uang yang diberlakukan dalam undang-undang ini menggunakan ukuran mata uang real. Sementara itu, yang menggunakan ukuran tahil muslim,[1] denda diganti dengan seharga kain gajah yang setara dengan lima real (Salahudin, 20404).

Konsep Hukum Bicara Undang-undang Bandar Bima

Undang-undang Bandar Bima adalah salah satu undang-undang tradisional peninggalan Kerajaan Bima yang menarik untuk dikaji kembali. Oleh karena itu, undang-undang ini ditulis kembali berdasarkan transliterasi yang dilakukan oleh salah satu kerabat keturunan Kerajaan Bima, yakni Siti Maryam R. Salahudin dalam bukunya Hukum Adat Undang-undang Bandar Bima tahun 2004.[2] Transliterasi sedikit diubah redaksi dan penempatannya namun maknanya tetap.

Pasal yang menyatakan tentang Undang-undang Bandar Bima ditetapkan pada hari Jumat waktu dzohor pada tujuh hari bulan Sya’ban daripada hijrah Nabi saw 1173 tahun jim. Tatkala itulah Tureli Bolo bernama Ismail disuruh menyalin surat Jena Cenggu bernama Jainudin.
  • Tentang orang-orang yang bebas bea cukai (pajak)
Adapun titah Duli Yang Dipertuan Kita, maka segala anak raja dibebaskan dalam Bandar Bima, yaitu pertama segala Jeneli dan Tureli dan segala Bumi Geko, Bumi Na’e sekalian dan Bumi Sanciwe sekalian dan Jena Luma. Kedua Jena Mone Na’e, Bata Dadi dan Bata Gampo dengan sekalian Nenti Luma. Maka sekianlah yang telah dibebaskan oleh Duli Yang Dipertuan Kita Marhum itu.

Maka adapun yang dibebaskan lagi oleh Yang Dipertuan Kita Sultan Hasanudin Muhammad Syah dengan Raja Tureli Donggo yang memegang Bicara dalam tanah Bima, ialah Kadi Malikul Adilul Karim ketika Syahid Syahbandar Daeng Mambani Nurudin dengan Ana’ Guru Suba serta Ana’ Guru yang keempat orang La Parise empat dan Serena enam orang.

Maka yang lain daripada yang disebut itu harus mengeluarkan cukai ke Bandar Bima karena itulah penghasilan Syahbandar dan Bumi Parisi.
  • Tentang ketetapan bea cukai (pajak)
Syahdan, maka titah Duli Yang Dipertuan Kita, jikalau pedagang yang datang dari Negeri Bima, maka hendaklah Duli Yang Dipertuan Kita sudah mengambil cukai barang-barang yang dijual tersebut, yaitu dengan membagi dua antara harga di dalam dan di luar Negeri Bima. Setelah berniaga dengan Tuan Kita, maka para pedagang baru boleh berniaga dengan orang lain.

Kapal yang akan dipakai untuk berniaga harus sudah diberitahukan kepada Syahbandar, Duli Yang Dipertuan Kita dan Tureli Gampo.

Seperkara lagi, cukai yang ditetapkan untuk orang muslim dan nasrani dijalankan oleh Syahbandar dan Bumi Parisi. Adapun orang Nasrani tersebut meskipun orang Belanda, dia tidak bebas dari cukai. Jikalau muatan kapal sepuluh koyan, maka cukainya sepuluh real. Adapun jika muatannya duapuluh koyan, maka cukainya duapuluh real.

Syahdan, maka cukai kepada pedagang Islam itu demikian juga mengikut aturan koyannya. Maka satu labu batu dan kapal tiang, yaitulah makanan segala juru bahasa, karena labu batu itu sesuku kepada satu perahu, maka cukainya jikalau tiga tiang tiga suku, jika dua tiang dua suku, dan jikalau satu tiang sesuku. Demikianlah perintah Duli Yang Dipertuan kita dalam Bandar Bima.

Syahdan, jikalau ada perahu datang dari tanah Jawa yang hendak ke timur, atau perahu dari timur yang hendak ke Jawa, jika singgah ke Bima membeli sirih pinang, maka hanya boleh selama tujuh hari. Jikalau lebih dari tujuh hari, maka kena cukai seperti labu batu dan kapal tiang atau harus bayar cukai untuk dagangannya. Meskipun demikian, jika lebih dari tujuh hari dan tiada berniaga, maka tiada ia kena cukai melainkan labu batu dan kapal tiang dikeluarkan dari Bandar Bima. Namun, jikalau berniaga serta laku dagangannya, maka cukainya disesuaikan dengan harga dagangannya; jikalau sepuluh real cukainya dua suku. Jikalau duapuluh real cukainya se-real. Jikalau seratus real maka cukainya lima real. Demikianlah perintah Yang Dipertuan Kita kepada perahu yang singgah dalam Bandar Bima.

Seperkara lagi, seperti perintah Duli Yang Dipertuan Kita, cukai kepada pedagang Makasar dan Bugis, jikalau dua perahu cukainya se-real, jikalau tiga perahu cukainya enam suku, jikalau empat perahu cukainya dua real, jikalau lima perahu cukainya tiga setengah real, dan jikalau enam perahu cukainya tiga real, demikianlah halnya.
  • Tentang utang
Seperkara lagi, jikalau ada pedagang yang hendak berutang, maka janganlah kepada hamba raja-raja atau hamba orang. Karena jikalau tidak setahu tuannya dan utangnya tidak dibayar oleh hamba tersebut, maka uang itu dianggap hilang dan tidak boleh dibebankan kepada tuannya atau Negeri Bima. Jikalau ada pedagang hendak berutang kepada anak raja-raja atau orang dalam negeri, maka hendaklah dengan setahu Syahbandar dan Bumi Parisi (juru bahasa). Jikalau pedagang memberi utangan sementara tidak diketahui oleh anak raja-raja tersebut, maka apabila lambat pembayarannnya, hal itu tidak boleh dibebankan kepada Syahbandar, Bumi Parisi atau Negeri Bima, hukum adat Negeri Bima juga tidak boleh mengusut itu. Jikalau tidak membayar sesuai perjanjian, maka yang memberi utangan berhak menyita harta orang yang berutang.

Seperkara lagi, jikalau ada orang yang berutang maka boleh tidak setahu anak istrinya, akan tetapi cukup penegak hukum yang mengaturnya.
  • Tentang budak
Seperkara lagi, jikalau ada pedagang yang akan menebus budak harus sepengetahuan Syahbandar. Jika tidak demikian, maka dirampas oleh hukum, namun boleh ditebus sesuai dengan harga budak itu. Bagi orang yang menjual juga akan dirampas, karena banyak pedagang yang memiliki kemiripan wajah, dan dikhawatirkan akan salah mengambil budaknya. Namun, apabila dengan sepengetahuan Syahbandar dan Bumi Parisi serta juru tulis, meski terdapat dua orang yang serupa, masalah itu akan dapat diselesaikan dengan baik.
  • Tentang pedagang
Seperkara lagi, jikalau ada pedagang berjalan pada malam hari, maka hendaklah ia membawa api (penerangan) sendiri. Jikalau pada hari jumat, maka janganlah ia berjalan pada tengah hari ketika orang sedang sembahyang Jumat. Karena jika ditangkap oleh pengawal atau dibunuh, maka tidak boleh menyesal dan menyalahkan Tuan Kita dan Tanah Bima.

Seperkara lagi, jika ada pedagang berkelahi (membuat onar) di dalam negeri atau pasar, maka dilarang menghunus senjata. Jika ia tetap menggunakan, maka akan dirampas oleh Syahbandar dan jika ingin bebas harus membayar denda sebesar sepuluh tahil muslim besar. Untuk seorang, maka dendanya tiga tahil muslim besar. Hal itu dikarenakan ia telah membuat takut segala perempuan di dalam negeri atau pasar.

Seperkara lagi, jikalau ada anak raja-raja yang menggemparkan negeri maka dendanya sebesar sepuluh kayu kain gajah. Jika tidak ditemukan kain gajah, maka dapat diganti dengan uang. Jika orang yang membuat masalah itu ikut dengan anak raja-raja, maka dendanya sebesar dua kayu kain gajah. Jikalau seorang hamba, maka dendanya sebesar tiga kayu kain gajah. Jika hamba tersebut mengikut pada hamba orang, maka dendanya sebesar sekayu kain gajah. Jikalau orang negeri menggemparkan dalam negeri, maka dendanya sebesar empat kayu kain gajah. Jikalau orang tersebut ikut orang dalam negeri, maka dendanya sebesar dua kayu kain gajah. Adapaun jika dia memakai senjata, maka senjata tersebut diambil oleh Jeneli dan Tureli yang bersangkutan.
  • Tentang denda
Yaitulah denda yang diadatkan oleh Duli Yang Dipertuan Kita Marhum itu. Maka pada zaman Yang Dipertuan Kita Sultan Hasanudin Muhammad Syah dengan Raja Bicara yang bernama Abdul Samad dan Syahbandar yang bernama Muhammad Ali, mengubah denda berupa tahil muslim dengan senilai harga kain gajah, yaitu lima real. Harga kain gajah ketika itu lima real atau delapan real sekayu.

Syahdan, jika anak raja-raja dendanya sepuluh kayu kain gajah. Jikalau orang baik-baik maka dendanya lima kayu kain gajah. Jikalau orang merdeka (bukan hamba), maka dendanya empat kayu kain gajah. Jikalau hamba maka dendanya tiga kayu kain gajah. Adapun jika tidak didapatkan kain gajah, maka harga kain gajah dapat diganti dengan uang.
  • Tentang hamba yang lari
Seperkara lagi, jikalau ada hamba orang Bima atau hamba pedagang yang lari, maka jika ia (hamba) bersembunyi di dalam perahu dagang tuannya, maka hendaklah tuannya memberitahukan kepada Syahbandar dan Bumi Parisi. Selanjutnya Syahbandar dan Bumi Parisi akan merampas perahu tuannya dengan segala isinya.

Seperkara lagi, jikalau ada hamba yang lari masuk dalam perahu dagang, hendaklah pemilik perahu memberitahukan kepada Syahbandar dan Bumi Parisi. Baginya (pemilik perahu) akan diberikan upah sebesar setengah tahil muslim yakni empat real oleh pemilik hamba itu.

Seperkara lagi, jikalau ada hamba pedagang yang lari dalam negeri Bima, sementara pedagang itu sudah pulang ke negerinya, maka hamba tersebut ditangkap oleh orang dalam Tanah Bima dan dibawanya ke Syahbandar. Tidak boleh sekali-kali orang lain mengambil hamba itu meski ada wakilnya sekalipun. Karena jikalau hamba tersebut mati atau lari dalam tangannya, harus diganti dengan seorang hamba lain. Untuk itu, Syahbandar harus memegang hamba itu. Jikalau mati atau lari di tangan Syahbandar, tiada patut sekali-kali diganti atau dibayar harganya seperti mati atau lari dalam tangan pemiliknya, karena Syahbandar itu ibu bagi segala dagang.

Seperkara lagi, jikalau ada hamba orang yang lari sampai tiga hari lamanya kemudian ditemukan oleh orang lain tanpa diberitahukan kepada tuannya, maka ia dianggap mencuri hamba itu dan didenda dua kayu kain gajah serta hamba itu dikembalikan kepada tuannya dan didenda dua kayu kain gajah. Apabila mati atau lari hamba orang itu dalam tangannya, maka harus diganti hamba yang lain dan didenda sebesar dua kayu kain gajah jika larinya dekat atau jauh seperti tujuh hari perjalanan. Jikalau lebih daripada itu lamanya, maka akan dihukum sesuai aturannya. Adapun bagi orang yang menemukan hamba tersebut dan diserahkan kepada tuannya, maka akan diberikan upah sebesar sepaha. Dan jikalau lari hingga Nipa dan negeri Raba Dompu dan negeri Kendo atau Desa, maka upahnya juga sebesar sepaha. Jikalau jauh daripada itu, maka upahnya sebesar setengah tahil.

Seperkara lagi, jika sampai ke negeri Parado, Karumbu, Sape, Wera, Sampungu, dan Ta’a Campa, maka upahnya setahil delapan real.
  • Tentang orang dan hamba yang memiliki masalah
Seperkara lagi, jikalau ada pedagang yang bermasalah dengan orang-orang tua atau nahkoda-nahkoda yang ada di Bima seperti Datuk Raja Lela, nahkoda Suba, atau nahkoda Bungsu, maka tidak boleh diputuskan sendiri kecuali harus sampai kepada Syahbandar dan Bumi Parisi. Dan hendaklah memaklumkan orang yang bermasalah itu mengeluarkan “penyapu bala” setahil, yakni sepuluh real kepada setiap orang. Namun, jikalau orang yang berhukum sudah diputuskan bersalah namun tidak mau menaati, maka didenda sebesar lima tahil yakni empat puluh real atau dibayarkan oleh orang yang memegang hukum. Jika ia seorang hamba, maka dendanya setahil atau dibayarkan oleh yang memegang hukum (hakim).
  • Tentang penumpang kapal
Seperkara lagi, jikalau ada orang Bima hendak menumpang berlayar pada perahu dagang atau samanya dagang sekalipun, maka hendaklah diberitahukan kepada yang Syahbandar dan pemilik perahu. Karena banyak orang yang menumpang memiliki kemiripan wajah, dikhawatirkan hamba orang atau orang yang memiliki hutang atau orang lari.
  • Tentang aturan mengambil emas
Jika ada dagang itu hendak mengambil real dan emas Bima, maka cukainya setahil dua sepaha tiap real. Jika lebih daripada itu, maka harus dirampas. Dan tidak boleh sejumlah empat belas emas real setahil. Jika lebih dari setahil se-real, maka dirampas oleh yang Syahbandar. Maka pada zaman sekarang ini, emas sudah dijadikan pitis. Sebab itulah maka oleh Yang Dipertuan Kita dan raja yang memegang Bicara (adat), jikalau ada orang yang mengambil emas hingga sepuluh, maka harus dirampas oleh Juru Bahasa dan Nenti Luma.
  • Tentang pedagang yang patut dibunuh
Seperkara lagi, jikalau ada pedagang itu yang bersalah dan patut dibunuh, maka tidak boleh dibunuh oleh sesama pedagang, melainkan dipersembahkan ke bawah Duli Yang Dipertuan Kita dahulu, setelah itu baru boleh dibunuh. Jikalau tidak demikian, bagi yang membunuh akan didenda sebesar sepuluh tahil muslim besar. Melainkan jika orang yang bersalah didapatkan dalam ketiduran, maka boleh dibunuhnya meski sekalipun tiada pernah dipersembahkan kepada Duli Kita tiada mengapa.
Pelaksanaan dan Hambatan

Undang-undang Bandar Bima ini dalam pelaksanaannya tidak mengalami hambatan yang berarti. Semua pedagang yang berniaga di Bandar Bima, baik yang berasal dari dalam maupun luar Negeri Bima, senantiasa mentaati segala aturan dalam undang-undang ini. Sultan Bima VIII Abdul Kadim Muhammad Syah Zilullah fil ‘Alam (1751-1773 M), tampaknya menjalankan pemerintahannya dengan cukup baik sehingga para pedagang yang singgah di Bandar Bima cukup terlindungi ketika mereka berniaga di Negeri Bima. Selain itu, pejabat-pejabat yang berwenang juga menjalankan tugasnya dengan baik.

Nilai-nilai

Keberadaaan Undang-undang Bandar Bima ini memuat berbagai nilai bagi keberlangsungan tata kelola pemerintahan Kerajaan Bima dan kehidupan orang Bima kala itu, antara lain:
  • Perhatian terhadap rakyat. Penulisan undang-undang ini terlihat sangat rinci. Baik yang menyangkut para pedagang dari Negeri Bima sendiri maupun pendatang, semuanya tercatat dengan rapi. Hal ini menandakan bahwa raja dan sultan begitu mengerti dan penuh perhatian terhadap kebutuhan rakyat Bima. Penerapan undang-undang ini tentunya untuk menjaga stabilitas perdagangan di Bandar Bima yang terkenal ramai dan padat waktu itu dan stabilitas perdagangan yang baik tentunya akan berefek positif terhadap kehidupan ekonomi rakyat Bima.
  • Penghargaan terhadap para pedagang. Nilai ini tampak dari pemberlakuan undang-undang ini serta pembahasannya yang cukup rinci. Dari sini tampak sekali raja dan sultan sangat memahami kondisi perairan Bima yang menjadi lalu lintas utama perdagangan di wilayah timur nusantara waktu itu. Bandar Bima yang ramai oleh pedagang-pedagang lokal maupun asing dari berbagai etnis dan agama, menuntut raja dan sultan untuk membuat undang-undang dalam mengatur lalu lintas perdagangan agar para pedagang betah berniaga di Bandar Bima dan merasa dihargai.
  • Ketegasan. Pembuatan Undang-undang Bandar Bima yang rinci ini juga memuat sebuah nilai bahwa raja dan sultan menginginkan ketegasan dalam mengatur para pedagang yang berniaga di Bandar Bima. Ketegasan sangat dibutuhkan agar wibawa raja, sultan, serta penegak undang-undang dihargai dan tentu saja pedagang terlindungi. Ketegasan ini menuntut bahwa segala penyimpangan dan pelanggar undang-undang ini akan mendapatkan denda dan hukuman yang setimpal dari pejabat yang berwenang.
  • Kekuasaan. Satu hal yang menarik bahwa di balik begitu rincinya undang-undang Bandar Bima ini, raja dan sultan serta pejabatnya tampak sekali menginginkan kekuasaan yang jelas dalam pemerintahannya karena dengan itu mereka dapat menetapkan hukuman dengan cepat berdasarkan aturan. Namun, sangat disayangkan kekuasaan itu terlihat tidak adil bagi rakyat Bima. Hal ini dapat dilihat pada pembukaan undang-undang ini yang menyebutkan bahwa segala anak raja dibebaskan dari cukai, yaitu pertama, segala Jeneli dan Tureli dan segala Bumi Geko, Bumi Na’e ganti sekalian dan Bumi Sanciwe sekalian dan Jena Luma; kedua, Jena Mone Na’e dan Bata Dadi dan Bata Gampo dengan sekalian Nenti Luma.
Penutup

Hukum Bicara Undang-undang Bandar Bima merupakan salah satu dari berbagai hukum adat yang pernah berlaku di Kerajaan Bima hingga kerajaan tersebut berubah menjadi kesultanan. Undang-undang ini memberikan satu pelajaran penting bahwa peradaban orang Bima pada waktu itu sudah tinggi karena dapat menciptakan undang-undang yang tersusun rapi dan ditaati oleh semua pedagang. Hal ini juga menandakan bahwa wilayah timur nusantara begitu penting posisinya karena menjadi persinggahan para pedagang asing. Sangat wajar jika hal ini berakibat pada begitu berwarna dan uniknya kebudayaan wilayah timur Indonesia. 

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Ahmad Amin, 1971. Sejarah Bima: sejarah pemerintahan dan serba-serbi kebudayaan Bima. Jilid 1. Bima: Dinas Pendidikan dan Kebduayaan.
  • Aliuddin Mahyudin, 1983. Surat-surat dan catatan harian Kerajaan Bima. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Henri Chambert-Loir, 1982. Syair Kerajaan Bima. Jakarta: Lembaga Pendidikan Prancis untuk Timur Jauh.
  • Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahudin, 1999. Bo’ Sangaji Kai. Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (YOI).
  • Klokk et al., 1998. Weigth and measures in early Javanese states. Leiden: Center of Southeast Asian Studies, Universiti of Hull.
  • Siti Maryam R. Salahuddin, 2004. Hukum adat undang-undang bandar Bima. Mataram: Lengge.
  • Firmansyah, Syarifuddin Jurdi, 2007. Islam, masyarakat madani dan demokrasi di Bima. Yogyakarta: CNBS.
  • 2010. Bo Sangaji Kai. [Online] Tersedia di http://bima-ntb.blogspot.com/ [Diakses pada 12 Februari 2010].
  • Pemerintah Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat, 2010. Sejarah Bima. [Online]. Tersedia di http://www.bimakab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6. [Diakses pada 10 Februari 2010].
  • Tim Wacana Nusantara, 2010. Satuan-satuan Ukuran pada Masa Kerajaan. [Online]. Tersedia di http://www.wacananusantara.org/3/199/satuan-satuan-ukuran-pada-masa-kerajaan. (Diakses pada 2 Mei 2010).
Footnote:

[1] Kati adalah satuan berat yang digunakan untuk mengukur berbagai barang, termasuk untuk menghitung uang dalam sistem moneter. Ukuran berat untuk untuk satu kati sekitar 750 gram. Sebagai satuan hitung dasar, kati digunakan tidak hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga di Malaysia hingga abad ini. Satuan lainnya adalah tahil yang juga digunakan untuk menghitung nilai uang dalam dalam sistem moneter. Berat satu tahil diperkirakan 38 gram, atau kira-kira sama dengan seperduapuluh kati, jadi satu kati sama dengan 20 tahil. Sama seperti kati, tahil tidak hanya digunakan dalam sistem perhitungan mata uang (emas mau pun perak), tetapi juga yang lain (http://www.wacananusantara.org/3/199/satuan-satuan-ukuran-pada-masa-kerajaan).

[2] Penulisan hukum adat Kerajaan Bima sebelumnya pernah dilakukan, namun tentang irigasi dan tanah. Selengkapnya dapat dibaca di http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2579/hukum-hadat-tentang-irigasi-dan-tanah-kesultanan-bima-nusa-tenggara-barat.

Komentar

Postingan Populer