Ironi Bahasa Indonesia di Negeri sendiri

Oleh Empuesa

Dalam kajian kebudayaan, bahasa dianggap sebagai unsur yang paling utama karena semua unsur kebudayaan yang lain, yaitu sistem pengetahuan, kesenian, teknologi, religi, mata pencaharian, kesehatan, dan lain-lain, dapat dipahami dengan bahasa. Dengan demikian, peradaban tidak mungkin terbentuk tanpa bahasa. 

Apa yang telah dicapai oleh suatu peradaban pada masa lalu tidak dapat ditransformasikan kepada generasi selanjutnya jika tidak ada bahasa. Oleh karena itu, masyarakat pemilik bahasa seharusnya menjunjung tinggi bahasa nasionalnya lebih daripada bahasa bangsa lain.

Ironisnya, bahasa Indonesia di negeri ini, yang merupakan bahasa nasional, kini justru asing di negeri sendiri. Sekolah-sekolah internasional yang marak berdiri di kota-kota besar seperti Jakarta menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ketiga setelah bahasa Inggris dan Mandarin. Pihak sekolah pun mewajibkan anak didiknya untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa asing di lingkungan sekolahnya.

Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan dan sangat membahayakan perkembangan bahasa Indonesia ke depan. Dapat dibayangkan jika generasi penerus bangsa ini justru tidak mengetahui bahasa sendiri dan lebih mahir berbahasa asing dan membanggakan kemahirannya itu. Kekhawatiran ini tidak mengada-ada. Nilai bahasa Indonesia yang rendah dalam Ujian Akhir Nasional anak-anak Sekolah Menengah Umum (SMU) tahun ini semakin menguatkan kekhawatiran ini. Pertanyaannya, di manakah peran negara?

SBI dan RSBI

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja penting untuk diajukan karena bahasa Indonesia yang pernah ditabalkan oleh para pemuda bangsa ini pada tahun 1928 menjadi bahasa persatuan bangsa untuk menuju kemerdekaan, terkesan sia-sia dengan adanya kasus UAN di atas. Negara terlihat tidak mampu menjaga bahasa nasional. Bahkan, alih-alih mengajak rakyatnya mencintai bahasanya sendiri, negara melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) justru membuat kebijakan yang “aneh” berupa program Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Program ini aneh karena justru memperlihatkan bahwa negara sengaja menciptakan kelas-kelas sosial dalam dunia pendidikan yang seharusnya dijalankan secara egaliter.

SBI dan RSBI bertujuan agar lulusan sekolah-sekolah negeri dan swasta dari mulai Sekolah Dasar (SD) hingga SMU dapat diterima dalam persaingan tenaga kerja di era pasar bebas sekarang. SBI dan RSBI mensyaratkan agar sekolah menjadikan bahasa asing seperti bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajarnya. Fasilitas yang menunjang penguasaan bahasa seperti laboratorium bahasa, internet, dan guru-guru yang kompeten juga harus terpenuhi. Kebijakan ini berlaku di sekolah mana pun di seluruh pelosok negeri ini meskipun para guru dan sumber daya manusia di daerah sebagian besar belum siap.

Efek dari program SBI dan RSBI adalah sekolah-sekolah berlomba melengkapi semua syarat yang dibutuhkan – dan syarat-syarat itu memerlukan biaya besar. Akibatnya, biaya masuk ke sekolah menjadi mahal sehingga hanya mereka yang kaya saja yang dapat sekolah. Namun, karena kesiapan sekolah-sekolah tersebut kurang dan justru “dipaksakan”, SBI dan RSBI hanya nyaring dalam iklan dan slogan pada masa-masa awal penerimaan siswa baru akan tetapi melempem saat dilaksanakan. Masyarakat pun menduga program SBI dan RSBI tidak lebih dari upaya sekolah untuk mencari uang (komersialisasi pendidikan). Kualitas pengajarnya tetap rendah. Padahal, kualitas guru yang baik akan menyelesaikan masalah minimnya fasilitas suatu sekolah meskipun tanpa label SBI atau RSBI.

Dengan adanya kebijakan SBI dan RSBI ini, negara jelas memperlihatkan diri tidak memiliki visi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang unggul di negeri sendiri. Peserta didik justru tidak dididik untuk bangga terhadap bahasa nasionalnya. Negara justru “melemahkan” kepercayaan diri peserta didik dengan menyatakan bahwa mereka akan sulit bersaing di dunia kerja jika tidak dapat berbahasa asing karena mayoritas perusahaan di negeri ini banyak membutuhkan tenaga kerja yang dapat berbahasa asing (dan dikuasai orang asing). Dalam konteks ini, bukankah sebaiknya Departemen Tenaga Kerja mewajibkan perusahaan dan pekerja asing tersebut berbahasa Indonesia, bukan bahasa Indonesia yang dikorbankan?

“Pelemahan” terhadap kepercayaan diri ini juga menjangkiti kalangan orangtua yang menganggap bahwa jika anak mereka tidak dapat berbahasa asing maka si anak dianggap tidak cerdas. Akan tetapi orangtua tidak peduli dengan anaknya yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Anak-anak remaja sekarang pun tidak lagi mempedulikan bagaimana cara berbahasa Indonesia, terutama cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka lebih memilih bahasa alay yang banyak digunakan dalam SMS (short message system), facebook, atau twiter. Dalam konteks pelemahan ini, bahasa bukan lagi sebagai budaya yang memiliki nilai luhur, melainkan sebuah kebiasaan yang dapat diperdagangkan: karena kurang laku di dunia kerja, maka tidak harus dipelajari dengan baik.

Belajar dari Melayu
 
Dalam konteks memposisikan bahasa asing sebagai ukuran sebuah sekolah berlabel internasional, kebijakan SBI dan RSBI ini sebaiknya ditinjau ulang. Kenapa kualitas guru dan sekolah di seluruh pelosok negeri ini tidak lebih dulu diperbaiki? Bukankah sekolah-sekolah selain SBI dan RSBI menganggap bahwa kebijakan SBI dan RSBI tidak adil karena ketika ujian akhir nasional materi soal mereka sama? Bukankah seharusnya jika sudah berlabel SBI dan RSBI soalnya dibedakan?

Negara melalui Depdiknas memang perlu mencari terobosan lain untuk meningkatkan sumber daya manusia terdidik negeri ini, namun tidak harus mengorbankan bahasa sendiri bukan? Di tengah himpitan kesulitan negeri ini, jalan untuk memenangkan kebudayaan nasional itu pasti ada.

Ketika almarhum Raja Ali Haji dari Riau menggubah buku Tata Bahasa Melayu, sebenarnya dengan sengaja ia telah “memerdekakan” bahasa Melayu, yang telah berabad-abad menjadi lingua franca di kawasan Asia Tenggara, dari bahasa Belanda. Buku ini menjadi salah satu bidan bagi lahirnya bahasa Melayu ragam baru yang kemudian disebut sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Melayu ragam baru ini selanjutnya tercatat menjadi pendorong tumbuhnya kesadaran suku-suku yang ada di nusantara untuk membangun sebuah ikatan kebangsaan.

Kebangsaan rakyat Indonesia harus dibangun melalui kebudayaan sendiri, bukan melalui kebudayaan bangsa lain. Oleh karena itu, mengembalikan bahasa Indonesia sehingga menjadi kebanggaan bangsa sangat mendesak untuk segera dilakukan.

(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer