Mencari Generasi Seniman Tradisional Sasak

Oleh Empuesa

Masyarakat sekitar mengenal Mamiq Atun sebagai seniman tradisional Sasak yang memiliki keahlian memainkan beberapa alat musik Sasak, seperti seruling, gendang beleq (besar) dan becik (kecil), gong, dan kecer (simbal kecil). 

Selain itu, Mamiq Atun juga pandai memainkan beberapa tarian Sasak, seperti gandrung atau jangger. Bahkan, di rumah Mamiq Atun yang hanya berdinding gedek (anyaman bambu) masih tersimpan seperangkat alat musik tradisional Sasak dan mahkota penari Jangger milik istrinya, yang dahulu juga berprofesi sebagai seniman tari.

Sosok Mamiq Atun sebagai salah satu seniman tradisional Sasak cukup terkenal dan telah banyak diakui. Mamiq Atun terpilih menjadi salah satu perwakilan Provinsi Lombok yang diundang ke Australia dan Jepang pada tahun 2000 untuk mementaskan kesenian Sasak. Kala itu, Mamiq Atun memperoleh honorarium yang lumayan. Pengalaman itu membuatnya semakin mencintai dan setia menekuni musik tradisional Sasak hingga kini, meskipun kehidupan ekonominya memprihatinkan dan dia merasa kesulitan mengajarkan keahliannya itu di kalangan generasi muda.

Sulitnya Mencetak Generasi Penerus 

Mungkin sangat klasik dan terkesan meminta belas kasihan jika menuliskan betapa kehidupan ekonomi seniman tradisional yang mumpuni ternyata sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan memang sudah begitu adanya nasib seniman tradisional. Di mana pun seorang seniman di negeri ini tinggal, keahlian seninya berbanding terbalik dengan kesejahteraan ekonominya.

Mamiq Atun saat ini tinggal di sebuah rumah sempit di Desa Lenek, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Di rumah tersebut, Mamiq Atun tinggal bersama istri, menantu, satu cucu, dua anak lelakinya, dan seperangkat gamelan tradisional Sasak. Alat-alat ini akan berfungsi jika Mamiq Atun memperoleh undangan untuk mengiringi merarik atau pertunjukan perisean. 

Namun, karena banyak sekali kelompok kesenian Sasak, alat-alat tersebut lebih banyak jarang berfungsi, hanya menumpuk di rumah, berdebu dan menjadi sarang laba-laba. Jika sedang tidak manggung, agar dapat makan tiap hari, Mamiq Atun bekerja sebagai buruh tani atau mengandalkan diri pada bantuan dari kedua anak lelakinya yang menjadi tukang ojek.

Satu hal yang sangat dirisaukan oleh Mamiq Atun saat ini sebenarnya bukanlah sepinya undangan manggung, akan tetapi sulitnya mencetak generasi penerus. Saat ini, sulit sekali mencari anak muda Sasak yang mau peduli dan menggeluti kesenian tradisional Sasak. Anak muda Sasak sekarang lebih suka main video game, menonton konser musik, menjadi TKI, atau bermain telepon gengam.

Sebenarnya, Mamiq Atun sudah mendirikan sanggar kesenian tradisional yang diberi nama Sanggar Bao Daya agar dia dapat mengajarkan keahliannya. Pada awal pendiriannya, sanggar ini sempat beberapa kali dikunjungi turis mancanegara yang dikelola oleh travel perjalanan. Namun, saat ini sanggar tersebut hanya tinggal papan nama dan alat-alat yang berdebu dan menjadi sarang laba-laba. Para pemain yang pernah direkrut pun lebih memilih menjadi buruh tani, TKI, atau tukang ojek.

Kedua anak Mamiq sebenarnya sudah cukup pandai memainkan beberapa alat musik tradisional, akan tetapi karena usia mereka masih muda, keduanya lebih memilih menjadi tukang ojek dan sesekali menjadi pembalap liar bayaran. Beberapa kali keduanya terjatuh saat balapan hingga wajah mereka rusak, namun mereka tetap tidak jera.

Mamiq sendiri dengan beberapa murid sanggar dan kedua anaknya memang terkadang masih diundang untuk mengiringi penyelenggaraan perisean dan di sela-sela itu dia selalu menyampaikan pesan kepada penonton agar tetap menyukai kesenian tradisional. Namun, baginya hal itu tetap belum memadai.
“Memang untuk mengajak orang senang dan mau menggeluti musik tradisi itu sangat sulit karena mereka akan melihat kehidupan saya yang tidak sejahtera. Sementara itu, mereka kan ingin sesuatu yang menghasilkan uang dengan cepat dan mudah dipelajari,” ungkap Mamiq Atun.
Apa yang diungkapkan oleh Mamiq Atun adalah benar adanya. Zaman modern dikenal sebagai zaman serba cepat. Namun, sungguh sangat disayangkan, generasi sekarang hanya memahami makna serba cepat dengan hasil berupa uang. Serba cepat diartikan oleh mereka sebagai cepat menghasilkan tanpa menyeimbangkan antara hasil dengan prosesnya.

Dalam kondisi yang seperti ini, di satu sisi, penggiat seni tradisional Sasak, orangtua, dan guru di sekolah perlu bergandengan tangan untuk menumbuhkan kembali kecintaan anak-anak usia dini kepada kesenian tradisional Sasak agar tidak punah. Pada sisi yang lain, pemerintah daerah perlu terjun ke bawah untuk mengumpulkan data tentang seniman tradisional sehingga dapat dijadikan sebagai landasan untuk memberikan dukungan dan penghargaan kepada orang seperti Mamiq Atun.

(Opini ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer