Mengembalikan Rasa Kebudayaan Malioboro

Oleh Empuesa

Malioboro tidak seperti dulu lagi. Malioboro lebih dikenal orang sebagai tempat untuk berbelanja. Jika musim libur sekolah, banyak sekali anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak dari instansi pemerintahan maupun swasta menenteng tas penuh barang belanja keluar masuk Malioboro. Pada hari-hari biasa, ratusan kendaraan bermotor memenuhi trotoar Malioboro-Perampasan hak pedestrian.

Sebaliknya, sedikit sekali wisatawan mancanegara yang terlihat ikut berdesakan membeli pakaian. Mereka lebih suka mengabadikan Malioboro lewat foto, video atau duduk membaca buku.

Malioboro identik dengan ruang ekonomi dan bisnis. Ruang libido konsumtif diluapkan.

Berbeda dengan era 60-70 an, Malioboro lebih dikenal sebagai ruang budaya. Saat itu, banyak aktivis, budayawan, sastrawan, dan pelaku teater menjadikan jalan Malioboro sebagai ruang untuk berlatih dan berolah vokal.

Mereka duduk berdiskusi dan mengobrolkan permasalahan sosial budaya bangsa sambil minum kopi hingga larut. Hasil diskusi tersebut biasanya terwujud dalam sebuah lakon teater, sajak, puisi, atau opini di koran.

Malioboro zaman itu seakan sebuah universitas dan kawah candradimuka yang menyenangkan dan “mahal”. Pernah terdengar sebuah pemeo, seorang aktivis, seniman, atau budayawan belum lengkap jika belum menggelandang di Malioboro.

Mungkinkah mengembalikan rasa kebudayaan Malioboro?

Upaya menuju ke sana bukannya tidak ada. Rasa budaya di Malioboro saat ini bukan tidak ada lagi. Sekali waktu sudah digelar peristiwa budaya dan seni yang melibatkan banyak seniman dan budayawan, seperti peristiwa Biennale Jogja, Didik Nini Thowok yang mengamen, atau Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) beberapa waktu lalu.

Pemerintah kota saat ini juga sudah memprogramkan car free day. Sebuah program Malioboro bebas dari kendaraan bermotor dari jam 07.00-11.00 (padahal nama programnya day yang berarti sehari). Pada jam ini, jalan Malioboro hanya boleh dilalui oleh sepeda, becak, delman, dan pejalan kaki.

Namun, rasa ekonomi itu tetap tampak nyata daripada rasa budaya itu sendiri. Masyarakat yang antusias menonton pergelaran seni budaya lebih sedikit daripada mereka yang berbelanja. Program car free day hanya dilakukan ketika menyambut hari lingkungan hidup. Rasa budaya itu hanya dinikmati sesaat, dan hanya oleh mereka yang tahu. Tidak ada pendidikan budaya di sana.

Pemerintah Yogyakarta tampaknya sekarang memang ingin menyatukan ruang ekonomi, bisnis, seni, budaya dan politik di Malioboro. Namun, mereka lupa, ketika masyarakat dikuasai oleh hasrat kapital yang berlebihan, maka apresiasi budaya dan seni tidak lebih daripada hanya sekedar ucapan wooow, kereen, atau bagus bangeet.

Tampaknya perlu ada gerakan bersama dari masyarakat, seniman, dan budayawan untuk meminta gubernur dan pemerintah kota mengurangi aktivitas ekonomi di Malioboro. Car free day akan lebih baik jika digelar secara rutin seminggu sekali (bahkan Malioboro dijadikan ruang pedestrian saja). Membuat panggung-panggung terbuka untuk pentas kesenian di sepanjang jalan Malioboro dan bagi mereka yang ingin tampil hanya cukup dengan izin pada petugas yang dipilih. Menjadwal secara rutin semua kesenian tradisional dan modern yang ada di Yogyakarta untuk tampil di Malioboro dan tentunya dengan dukungan yang penuh dari pihak berwenang.

Mempertahankan memang lebih sulit daripada meraih. Namun, hanya kebudayaan yang dapat memelihara sebuah capaian kualitas hidup sebuah bangsa.

(kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)







Komentar

Postingan Populer