Belajar dari Berbah

Oleh Empuesa

Dari desa sebenarnya kota bermula dan belajar. Dari desa pula kota sebenarnya berkaca. Anehnya, kota selalu dianggap lebih maju dari desa dan desa selalu disalahkan.
 
Berbah adalah nama desa sekaligus nama salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kecamatan Berbah meliputi empat desa berakhiran tirto, yaitu Jogotirto, Kalitirto, Sendangtirto, dan Tegaltirto. Dalam bahasa Jawa Kawi, tirto berarti air. Sejak dulu hingga kini, warga desa Berbah memang tidak pernah kekurangan air. Mereka juga penuh toleransi terhadap perbedaan. Sejuk seperti air.

Desa-desa di Jawa sejak dulu telah mengajarkan bagaimana menyikapi dan menikmati perbedaan. Begitu juga di Berbah. Perbedaan, bagi orang perdesaan seakan seperti lauk makan, meskipun terkadang tidak enak, tetapi makan justru akan terasa lebih tidak enak lagi jika tanpa lauk. Dan Warga Desa Berbah merasakan itu semua.

Meski Berbah hanya seluas kurang lebih delapan kali lapangan bola, namun tata desanya tampak teratur dan indah. Di Berbah perbedaan itu dihargai dan ditunjukkan kepada warga melalui bangunan tempat ibadah yang berdiri berdampingan. Masjid di desa ini berdiri gagah di samping gereja Santo Yusuf milik umat Katolik. Di depan keduanya terdapat pondok pesantren Al-quran. Setiap sore anak-anak desa belajar mengaji.

Ketika umat muslim menjalankan kegiatan agamanya di masjid, terutama saat bulan puasa, dan di saat yang sama umat Katolik melakukan ibadah, mereka tetap saling sapa. Tidak sedikit diantara mereka adalah saudara, teman bermain, kawan memancing ikan di kali, teman kerja, atau sekadar musuh adu ayam. Mereka menikmati perbedaan.

Di Berbah, kehidupan beragama masyarakatnya terasa teduh. Jika umat muslim menggelar pengajian di masjid, dan pada saat yang sama umat Katolik menggelar misa di gereja, mereka saling senyum dan menjaga. Bagaimana pun kedua umat itu warga satu desa. Pemuda-pemudi kedua umat beragama itu terlihat saling membagi lahan parkir dan saling menjaga. Tidak jarang mereka saling berbagi kue atau minuman. Mereka merayakan perbedaan.

Tidak jauh dari masjid dan gereja itu, bangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) berdiri mengapit gereja. Kantor kecamatan Berbah berada tepat di tengah-tengah antara gereja dan masjid. Sebuah bangunan Kantor Urusan Agama (KUA) ada di depan masjid. Semua bangunan itu seakan saling menguatkan dan melengkapi namun tetap beridentitas. Pejabat kecamatan pun ada yang berlainan agama dan keyakinan.

Sekitar 500 meter dari bangunan-bangunan di atas, sebuah kantor polisi, pasar dan pabrik pengeringan tembakau peninggalan Belanda, berdiri dengan peran masing-masing. Sementara itu, sebuah sekolah Taman Kanak-kanak (TK), gedung Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Pertama (SMP), lapangan sepak bola, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), dan persawahan hijau melingkupi desa.

Gapura-gapura di desa itu terlihat bercat rapi dan dibuat artisitik. Di Jogotirto, memang terdapat situs purbakala Candi Abang. Sekali waktu saat hari minggu, warga desa dan pejabat desa berhambur membersihkan rumput-rumput atau tumbuhan liar di jalanan desa. Bapak-bapak membawa pacul, sabit, atau arit. Saat istirahat tiba, ibu-ibu datang membawakan minuman dan makanan kecil. Mereka pun makan bersama.

Tidak terdengar ada keributan warga dalam urusan perbedaan tentang keyakinan mereka. Yang terdengar justru anak-anak remaja dan muda-mudi yang berbeda keyakinan bersatu padu menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Mereka menggerombol di jalan desa mengecat tembok pagar jalan dan mencabuti rumput.

Saat menjelang dan menyambut hari kemerdekaan, Desa Berbah penuh dengan permainan dan hiburan. Ada balap karung, makan kerupuk, lomba voli, lomba merias wajah dengan mata tertutup, lomba sepak bola lumpur atau sepak bola dengan pemain laki-laki memakai rok atau pemain perempuan yang luput menendang bola, dan lomba memasak. Pada malam tujuh belas Agustus, warga desa berkumpul menggelar hiburan musik dan selamatan. Mereka menyebut tirakatan atau lek-lekan. Tidak tidur semalaman sambil bermain gaple.

Di Berbah, anak-anak remaja dan muda-mudinya tergabung dalam kelompok karang taruna desa. Mereka menggelar rapat muda-mudi setiap bulannya untuk merencana kegiatan sosial dan budaya desa. Sekali waktu mereka menjadi pramusaji dalam pesta perkawinan warga. Apapun keyakinan warga tersebut.

Di Berbah, kesenian tradisional ditradisikan. Banyak warga kampung yang pandai melantunkan lagu-lagu Jawa dan memainkan alat-alat musik Jawa, seperti gong, kenong, siter, terompet, bas besar, atau seruling. Beberapa kampung bahkan memiliki grup jathilan, macapatan, dan salawatan. Mereka selalu menggelar latihan dua minggu sekali dan minimal dua bulan sekali, mereka selalu dipanggil untuk pentas di desa-desa sekitar. Mereka menjadikan kesenian tradisional sebagai ruang agar tetap terikat dengan leluhur dan menghibur sesama.

Kehidupan warga desa Berbah penuh dengan perbedaan dan toleransi. Desa itu mengajarkan kesederhanaan hidup. Desa yang tidak peduli dengan anggapan tidak maju.

(Kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)

Komentar

Postingan Populer