Harajoan

Harajoan secara umum berarti konsep kepemimpinan dan struktur masyarakat tradisional Batak Toba yang terbagi dalam dua tingkat, yaitu kelompok suku dan kampung (huta). Meskipun tidak seketat zaman dahulu, dalam kehidupan orang Batak Toba sekarang, harajoan masih menjadi rujukan dalam hidup bermasyarakat. 

Asal-usul

Suku Batak Toba yang mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya sekitar wilayah Danau Toba, [1] memiliki kebudayaan yang khas dalam sistem kepemimpinan dan struktur kemasyarakatan mereka yang disebut dengan harajoan. Harajoan berarti sistem kepemimpinan dan struktur masyarakat Batak tradisional yang berkaitan erat dengan persekutuan suku, keluasan wilayah kekuasaan pemimpin, dan kewenangan pemimpin (Vergouwen, 1986).

Masyarakat perdesaan Batak Toba menjadikan harajoan sebagai suatu pengikat sosial yang efektif, misalnya dalam menyatukan orang Batak Toba dalam satu leluhur. Dalam konteks budaya, harajoan menjadi satu bukti bahwa peradaban Batak Toba sudah cukup mapan sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, sistem harajoan ini penting untuk dijaga.

Secara umum, harajoan berarti struktur masyarakat Batak Toba terbagi dalam dua tingkatan, yaitu kelompok suku dan kampung (huta), di mana keduanya juga menjadi pengikat individu dalam kehidupan sosial. Kelompok suku dipimpin oleh kepala suku di mana setiap sub suku menginduk pada silsilah marga mereka (tarombo), sedangkan kampung terbagi dalam lembaga adat, sosial, dan agama (ugamo) yang dipimpin oleh orang-orang khusus. Apabila dalam kampung sudah terdapat banyak rumah, biasanya warganya akan membentuk kampung baru yang disebut dengan horja (Vergouwen, 1986; Gens G Malau, 2000; Irmawati, 2007). Dari istilah horja inilah tampaknya kata harajoan diambil.

Secara historis, harajoan bermula sejak masyarakat Batak terbentuk di dataran Sumatra. Orang Batak meyakini bahwa garis kepemimpinan mereka berpusat pada sosok Si Raja Batak dan dalam perkembangannya diteruskan oleh seorang yang bergelar Sisingamangaraja (I hingga XII). Sisingamangaraja dipercaya sebagai pemimpin puncak karena dianggap sebagai wakil dari dewata yang bernama Debata Muladjadi Nabolon ( http://humbahas.blogspot.com/2004/11/pemerintahan-kerajaan-batak.html).

Sejarah di atas membuktikan bahwa kebudayaan orang Batak, terutama Batak Toba, sudah sangat maju, di mana struktur kepemimpinan sosial mereka sudah terbentuk dengan rapi. Wajar jika hingga sekarang sesama orang Batak memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, apalagi mereka ada dalam satu marga.

Konsep Harajoan 

Harajoan sebagai konsep kepemimpinan dan struktur masyarakat Batak Toba terlihat sangat sederhana. Hal ini dapat dilihat dari pembagian masyarakat Batak Toba yang hanya dibedakan dalam dua tingkatan, yaitu kelompok suku dan kampung (huta).


a. Suku Batak 

Masyarakat tertinggi orang Batak adalah suku Batak atau kelompok suku. Secara geografis suku Batak adalah suku terbesar yang banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya di sekitar wilayah Danau Toba (J.C. Vergouwen, 1986). Suku Batak memiliki sub-sub suku yang terikat kuat antarsatu sama lainnya. Jumlah sub suku ini ada yang menyebut terdiri dari lima, yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Ada juga yang menyebut sebelas, yaitu ditambah Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu,[2] Nias, dan Alas Gayo (Gens G Malau, 2000).

Sub suku Batak memiliki ciri utama, yaitu memiliki wilayah sendiri dan lebih suka diam dalam unit kecil yang terdiri dari beberapa ratus, atau paling banyak seribu orang. Sub suku ini disebut juga dengan kelompok suku. Secara geografis kelompok suku adalah kelompok yang hidup dalam sebidang tanah di dataran rendah atau tinggi yang luas atau bahkan setengah dari Pulau Samosir. Batas daerah antarsatu kelompok suku dengan suku yang lain tidak terlihat jelas. Beberapa sub suku ada yang menginginkan kejelasan batas, seperti di Samosir, namun ada pula yang tidak (Vergouwen, 1986).

Secara budaya, orang Batak adalah orang-orang yang terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan Batak, siapapun dan di manapun mereka berada serta apapun afiliasi agama dan politik mereka. Pandangan ini meniscayakan bahwa meskipun orang Batak berdiaspora hingga ke seluruh penjuru dunia, namun apabila masih terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan Batak seperti masih memakai marga, maka mereka tetap disebut orang Batak.

Dalam kebudayaan Batak, silsilah kepemimpinan seluruh orang Batak berpuncak pada sosok Si Raja Batak [3] dan dalam perkembangannya diteruskan oleh seseorang yang bergelar Sisingamangaraja (I-XII). Pada zaman dahulu, Sisingamangaraja selain sebagai pemimpin pemerintahan juga merangkap sebagai pemimpin adat dan agama Batak - Parmalim. Singkatnya, pada saat itu Sisingamangaraja berposisi sebagai pemimpin politik, sosial, hukum, budaya, dan agama sekaligus (http://humbahas.blogspot.com/2004/11/pemerintahan-kerajaan-batak.html).

Batas-batas wilayah kepemimpinan masing-masing kelompok suku terbagi menjadi empat wilayah berbeda, yaitu:
  • Raja Maropat Samosir yang wilayahnya meliputi Pulau Samosir dan sekitarnya.
  • Raja Maropat Humbang yang wilayahnya meliputi daerah Humbang sekarang hingga ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkil).
  • Raja Maropat Silindung yang wilayahnya meliputi Silindung sekarang hingga Samudera Hindia dan perbatasan Pagaruyung.
  • Raja Maropat Toba yang wilayahnya meliputi Toba sekarang hingga dengan Pantai Timur berbatasan dengan Riau (Kerajaan Johor).
Pada zaman dahulu, batas wilayah di atas dianggap tidak penting karena batas daerah akan terwujud dengan sendirinya ketika terdapat dua suku yang mengadakan perdamaian seusai perang. Bahkan, kedua suku yang berperang tersebut biasanya justru akan berkumpul membentuk satu masyarakat dalam kampung (huta).

b. Kampung (huta) 

Dalam tulisan J.C. Vergouwen, 1986, tentang Masyarakat dan hukum adat Batak Toba, kampung atau huta adalah persekutuan terkecil masyarakat Batak. Pada mulanya, orang Batak tinggal di kampung induk, akan tetapi karena penduduknya terus berkembang, akhirnya mereka berpindah dan membentuk huta baru. Untuk mengatur kepentingan bersama, beberapa huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu sama lainnya.

Vergouwen meneruskan deskripsinya, bahwa Huta secara geografis adalah lapangan kecil berbentuk empat persegi panjang, halamannya luas, tanahnya keras, dan kosong di tengah-tengahnya. Pada satu sisi lapangan, berdiri sekelompok kecil rumah-rumah panggung yang umumnya berbaris rapi. Masing-masing rumah memiliki pekarangan kecil di depannya dan dapur di belakangnya. Di depan rumah biasanya terdapat bangunan lumbung padi dan satu kubangan lumpur tempat babi biasa menggeruskan badannya.

Kampung biasanya dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang tinggi atau parit. Di bawah rumah biasanya akan ditemukan babi menggusur tanah, ayam mencakar tanah, dan anjing yang mengendus-endus. Di depan rumah-rumah kampung, biasanya juga ditemukan seorang perempuan duduk menghadap alat tenun sambil ditemani kucing yang tidur di bawah sinar matahari. Sementara itu, seorang gadis muda menumbuk padi dalam losung dan anak-anak kecil bermain di bawah pohon yang rindang.

Secara imajinatif, kampung dalam konsep orang Batak Toba adalah dunia di mana hidup sekelompok orang dengan kesatuan yang diikat oleh tujuan yang sama secara alamiah. Tempat ini diharapkan menjadi area anak-anak mereka lahir dan menjadi kuburan mereka kelak.

Tidak hanya itu, menurut Usman Pelly, orang Batak Toba yang dikenal sebagai kaum perantau, juga menganggap tanah rantau (bona ni ranto) sebagai kampung halaman mereka (bona ni pasogit). Misi perantauan adalah untuk memperluas kampung halaman dan mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajoan). Hubungan tanah dan manusia melahirkan ukuran harga diri yang kompleks. Untuk memenuhi harga dirinya, seseorang berusaha mendirikan "kerajaan pribadi" di rantau. Oleh karena itu, perantau Batak Toba tidak perlu membawa kekayaan alam rantau ke kampung halaman (http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1990/11/10/PRK/mbm.19901110.PRK17370.id.html).

Jika rumah-rumah di dalam kampung sudah mulai penuh sesak, maka orang Batak Toba biasanya akan bersepakat untuk membentuk kampung baru yang disebut horja. Horja adalah kumpulan kampung-kampung. Horja dipimpin oleh seorang kepala horja yang bertugas mengatur segala masalah sosial. Masing-masing horja biasanya akan membentuk perkumpulan agar masalah sosial dapat terselesaikan dengan baik.

Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal-hal yang berhubungan dengan duniawi, sedangkan urusan yang berhubungan dengan bencana yang melanda warga, seperti wabah penyakit, air bah, atau kekeringan, masyarakat akan membentuk perserikatan yang meliputi kelompok-kelompok semua marga yang ada di wilayah bencana (gabungan dari horja) yang disebut bius.

Dalam aktifitasnya, bius memiliki kekuasaan sendiri. Pemimpin bius biasa disebut dengan raja dan raja bius ini terdapat empat orang (raja na opat), yaitu:
  • Raja Parmalin, yang berfungsi merencanakan dan menata organisasi bidang kepercayaan rakyat bius (religi).
  • Raja Adat, yang berfungsi merencanakan dan menata hukum dan paradaton (adat).
  • Raja Parbaringin, yang berfungsi merencanakan dan menata bidang sosial politik dan keamanan bius.
  • Raja Bondar, yang berfungsi merencanakan dan menata perekonomian (Vergouwen, 1986).
Pusat kegiatan bius disebut parbiusan dan menjadi tempat persidangan raja-raja bius. Mereka adalah pemilik kehormatan dari rumpun keluarga mereka, sesuai dengan hikmat kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran atau partubu. Apa yang menjadi keputusan raja-raja bius adalah sah dan mutlak serta merupakan keputusan rumpun keluarga yang diwakilinya.

Pengaruh Sosial 

Konsep harajoan dalam prakteknya memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial orang Batak, antara lain:

  • Berjalannya sistem sosial orang Batak Toba. Konsep harajoan merupakan konsep masyarakat tradisional Batak Toba yang berpengaruh terhadap jalannya sistem sosial orang Batak Toba. Kepercayaan orang Batak Toba terhadap Si Raja Batak sebagai peletak dasar sistem sosial ini, menjadikan konsep ini begitu kuat di dalam ingatan masyarakat Batak Toba hingga sekarang.
  • Menguatnya solidaritas sesama orang Batak. Jika konsep harajaon ini dipahami secara menyeluruh oleh orang Batak, maka secara sosial semakin menguatkan rasa solidaritas sesama orang Batak di manapun mereka berada. Hal ini dikarenakan mereka akan merasa dalam satu ikatan masyarakat dan dalam satu kepemimpinan. Dalam konteks ini, harajoan berfungsi sebagai pemersatu orang Batak.
  • Menjaga adat Batak. Konsep kepemimpinan harajoan secara rinci telah menempatkan adat sebagai lembaga yang mengatur pelaksanaan adat istiadat Batak. Lembaga adat yang dipimpin oleh kepala adat dan dibantu oleh raja-raja bius memiliki fungsi sebagai benteng yang menjaga adat istiadat Batak dari budaya modern. Dengan begitu harajoan tetap menjadi pijakan hidup orang Batak, selain juga agama. Oleh karena itu, dalam konteks ini harajoan penting untuk diapresiasi kembali, mengingat budaya modern yang dimungkinkan dapat menggerus adat istiadat Batak dari jiwa generasai muda mereka.
Penutup 

Harajoan sebagai sebuah konsep masyarakat tradisional mencerminkan kebudayaan Batak yang tinggi pada zamannya. Dalam konsep ini, tampak sekali antarindividu baik atas ikatan suku maupun huta, terjalin komunikasi sosial yang terjaga. Dalam konteks ini, Harajoan merupakan jejak kebudayaan orang Batak yang penting untuk digali bahkan mungkin diaplikasikan kembali.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi

Catatan kaki:

Komentar

Postingan Populer