Kelahiran dalam Pengetahuan Orang Sasak, Nusa Tenggara Barat

Oleh Empuesa

Kelahiran dalam pengetahuan orang Sasak dianggap sebagai peristiwa yang menegangkan dan sakral. Oleh karena itu, mereka menggelar berbagai upacara adat, selamatan, dan doa untuk menyikapi dan menghormatinya. 

1. Asal-usul

Suku Sasak [1] adalah penduduk yang mayoritas hidup di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain upacara adat merarik atau kesenian gendang beleq yang unik dan eksotis, suku ini menganggap kelahiran sebagai siklus hidup manusia yang penting untuk disikapi. Seorang perempuan Sasak yang hamil, harus dibuatkan beragam ritual selamatan agar anak yang lahir selamat dari roh-roh jahat. Ini membuktikan bahwa kelahiran penting untuk disikapi, sepenting hidup itu sendiri.

Kelahiran [2] bagi orang Sasak dipahami sebagai peristiwa yang menegangkan karena siapapun tidak dapat menebak apa yang akan terjadi saat proses kelahiran kelak. Hal yang sering ditakutkan oleh orang Sasak adalah terjadinya sesuatu yang buruk pada ibu yang melahirkan atau bayinya, seperti mati atau cacat (Ahmad Amin et al., 1978).

Selain itu, kelahiran juga dianggap sebagai peristiwa yang sakral karena berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, di mana manusia tidak memiliki kuasa di dalamnya. Manusia hanya bisa pasrah. Oleh karena itu, kelahiran harus ditandai dengan upacara adat dan selamatan sebagai media untuk memohon keselamatan pada Tuhan. Ritual seperti upacara beretes (menghormati ari-ari), molang mali’ (memberi nama bayi), dan ngurisang (potong rambut) digelar sejak masa-masa menjelang kelahiran hingga bayi berumur kurang lebih setahun (Amin et al., 1978).

Secara khusus, pelaksanaan upacara adat tersebut bertujuan untuk menjaga dan menghormati jabang bayi serta sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Dari tujuan-tujuan di atas, tampak sekali bagaimana orang Sasak memijakkan perilaku hidupnya berdasarkan pengetahuan spiritual dan kebudayaan leluhur secara dinamis.

2. Konsep Kelahiran
Kelahiran seorang bayi adalah salah satu peristiwa paling penting dalam siklus kehidupan orang Sasak. Kelahiran dalam pengetahuan orang Sasak dibayangkan sebagai sebuah keadaan yang menegangkan dan sakral. Oleh karena itu, harus diadakan upacara adat dan selamatan untuk menjaga dan menghormati jabang bayi. Selain itu, ritual juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan yang telah memberi anugrah dan keselamatan.

Menjelang masa-masa kelahiran, bagi seorang ibu yang hamil pertama kali, orang Sasak menggelar upacara adat baretes. Dalam upacara ini dilaksanakan selamatan kecil dengan mengundang tetangga dekat. Di sela-sela selamatan dibacakan lontar yang berisi kisah tentang seorang perempuan yang bernama Juarsah di hadapan perempuan yang hamil, sambil dililitkan sebuah benang ke perutnya. Saat cerita sampai kepada bagian kelahiran Juarsah, benang tersebut diputus lalu perempuan yang sedang hamil tersebut dimandikan di halaman rumahnya.

Kelahiran seorang bayi dalam konsep orang Sasak tidak hanya berhubungan dengan kesehatan sang ibu, makanan sang ibu di mana itu berhubungan dengan asupan gizi, kasih sayang dari suami, dan doa kedua orangtuanya. Akan tetapi, lebih dari itu semua, kelahiran juga sangat berkaitan dengan perilaku sang ibu saat hamil.

Misalnya, jika seorang perempuan Sasak hendak melahirkan, maka sang suami akan sibuk mencari belian bayi (dukun bayi) yang dianggap mengetahui seluk beluk perempuan yang akan melahirkan. Apabila perempuan tersebut mengalami kesukaran dalam proses kelahiran bayinya, maka menurut belian hal itu disebabkan oleh perilaku kasar perempuan tersebut terhadap orangtuanya (ibunya) atau kepada suaminya.

Dalam kondisi seperti ini, biasanya belian menyarankan agar perempuan tersebut meminum air bekas cuci tangan orangtuanya (ibunya) dan suaminya. Bahkan, di beberapa desa di Lombok, perempuan tersebut disuruh meminum air bekas mencuci kemaluan suaminya. Selain cara itu, belian menasehatkan agar perempuan yang akan melahirkan tersebut diinjak ubun-ubunnya oleh suaminya. Cara-cara ini dilakukan untuk mempercepat kelahiran jabang bayi.

Ketika jabang bayi telah lahir, maka orang Sasak menganggap bayi tersebut lahir tidak sendirian, akan tetapi berdua, mereka menyebutnya dengan adi’ dan kaka’.[3] Adi’ adalah bayinya sendiri sedangkan kaka’ adalah ari-ari yang masih menempel di pusar jabang bayi. Oleh karena itu, saat kelahiran, ari-ari dirawat dan dihormati seperti halnya jabang bayi. Ari-ari dicuci sampai bersih seakan memandikan orang yang sudah mati, kemudian dimasukkan ke dalam periuk atau tempurung kelapa setengah tua, lalu dikubur di halaman rumah. Sebagai tanda dibuatlah gundukan tanah pada kuburan tersebut dan diletakkan lekesan (sepah sirih) di dekat gundukan tersebut.[4] Lekesan dianggap sebagai simbol doa agar jabang bayi kelak berumur panjang.

Berbeda dengan kebiasaan di atas, di beberapa desa di Lombok, ari-ari tidak dikubur dalam tanah, akan tetapi diletakkan di atas tiang bambu yang ada di pekarangan rumah atau kebun. Ari-ari sebelumnya di masukkan ke dalam tempurung kelapa lalu direkatkan kembali dengan adonan tanah liat dan dibungkus dengan kain putih.

Setelah lahir, bayi tersebut harus terus dijaga, diperingati dan dihormati hingga bayi kurang lebih berumur setahun, dengan menyelenggarakan upacara adat atau selamatan. Tujuannya agar bayi tetap dalam keadaan sehat dan selamat dari gangguan dari roh-roh jahat.

Pada saat jabang bayi berusia tujuh hari, orang Sasak menggelar upacara adat molang mali’, yaitu mengoleskan tepah sirih ke dada dan dahi sang ibu dan bayinya, yang dilakukan oleh belian bayi. Orang Sasak juga meyakini bahwa ketika bayi berusia tujuh hari, maka pusarnya telah gugur. Usia tersebut juga dianggap sebagai usia yang tepat untuk memberi nama pada jabang bayi. Pusar bayi yang gugur biasanya akan dibungkus dengan kain putih lalu disimpan di dalam rumah.[5]

Pada beberapa desa di Lombok, saat perayaan upacara molang mali’, biasanya juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk pertama kali jabang bayi boleh keluar dari rumah dan menjejakkan kakinya di tanah.[6] Jika jabang bayi tersebut berjenis kelamin perempuan, maka kakinya akan dijejakkan di tempat menenun. Adapun jika bayinya laki-laki maka kakinya akan dijejakkan di tempat yang ada alat pertaniannya. Penjejakkan kaki dilakukan sebanyak tujuh kali.[7]

Bayi yang lahir juga dipahami orang Sasak sebagai amanat Tuhan agar bayi tersebut dibersihkan dan dididik sesuai dengan ajaran agama dan perintah Tuhan. Oleh karena itu, sebagai simbol pembersihan, orang Sasak menggelar upacara ngurisang (potong rambut). Rambut bayi yang dibawa sejak lahir dianggap orang Sasak sebagai bulu panas yang akan berpengaruh buruk pada sifat bayi, untuk itu harus dihilangkan.

Upacara adat ngurisang biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga, handai tolan, dan orang-orang yang pandai mengaji untuk mengadakan selamatan dengan membaca serakalan atau barzanji (syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW). Saat serakalan atau barzanji dilantunkan, bayi digendong oleh bapaknya kemudian diajak berkeliling menghadap para hadirin dan secara simbolik seluruh hadirin satu per satu memotong sedikit rambut bayi tersebut.

3. Pengaruh Sosial
Pengetahuan orang Sasak tentang kelahiran bayi ini memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial mereka, antara lain:
  • Solidaritas sosial. Upacara adat yang diselenggarakan mengiringi kelahiran bayi orang Sasak dihadiri para tetangga dan handai tolan. Selain bertujuan untuk menyaksikan peristiwa penting tersebut, secara sosial upacara tersebut berpengaruh terhadap menguatnya solidaritas sosial orang Sasak, baik sebagai keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan upacara adat patut untuk diapresiasi sebagai kebudayaan yang tidak selamanya menyimpang dari ajaran agama.
  • Status sosial. Berbagai upacara adat yang melibatkan banyak orang, secara sosial berpengaruh terhadap status sosial orangtua bayi. Sebagai orangtua yang dapat menyelenggarakan upacara bagi anaknya, maka status sosialnya akan berbeda dengan orangtua yang tidak dapat menyelenggarakannya, apalagi upacara tersebut diselenggarakan dengan mewah. Dalam sistem sosial orang Sasak, biasanya orangtua yang demikian akan dipandang sebagai orang yang kaya dan taat kepada ajaran adat atau agama. Efeknya mereka akan diperlakukan berbeda dalam aktifitas-aktifitas sosial, misalnya akan dijadikan panitia dalam perhelatan upacara adat atau agama.
  • Menghargai dan menghormati manusia. Pengetahuan tentang kelahiran ini secara sosial juga tampak jelas sekali mengajarkan masyarakat Sasak untuk menghargai manusia. Hal ini tampak dari upacara adat dan hal-hal yang harus dilakukan ketika bayi tersebut lahir. Kelahiran adalah awal kehidupan manusia, untuk itu harus dihormati dan dihargai. Menghormati dan menghargai manusia secara tidak langsung juga menghormati kehidupan itu sendiri.
  • Menghargai dan menghormati perempuan. Secara sosial pengetahuan ini juga mengajarkan masyarakat untuk menghargai dan menghormati kaum perempuan. Perempuan dengan kodratnya melahirkan, telah sabar dan kuat mengandung bayi hingga melahirkannya. Proses kelahiran yang menegangkan membutuhkan keberanian seorang perempuan, untuk itu sosoknya harus dihargai dan dihormati dengan kasih sayang dan penjagaan dari seorang suami.
4. Penutup
Pengetahuan orang Sasak tentang kelahiran ini merupakan kearifan lokal yang luhur dan unik karena memadukan dua unsur yang sering disalahartikan sebagai sesuatu yang bertentangan, yaitu antara adat dan ajaran agama. Dalam konteks untuk memperkuat semangat menghormati perbedaan dan keberagaman, pengetahuan ini sangatlah penting untuk diapresiasi dengan disosialisasikan kepada masyarakat, mengingat orang Sasak sangat rentan dengan konflik sosial. 
(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)
Referensi
  • Ahmad Amin et al., 1978. Adat istiadat daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Depdikbud RI
  • Aryani Setyaningsih. Lelaki Pepadu (Tesis). 2009. Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Alvons Van Deer Kraan. 1980. Lombok, Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940. Australian University Press.
  • Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Erni Budiwanti. 2000. Islam Sasak, Wetu Lima versus Wetu Telu. Yogyakarta: Kanisius.
  • John Ryan Bartolomew. 2001. Alif Lam Mim kearifan masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana
  • Suhartono. 1970. Pengaruh bangsa-bangsa luar di Lombok. Buletin no 3 Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Catatan kaki:
  • [1] Secara budaya orang Sasak adalah mereka yang terikat dengan adat istiadat Sasak. Pada zaman Belanda, NTB mencakup Bali, Lombok, dan pulau Sumbawa (Alvons Van Deer Kraan, 1980; Aryani Setyaningsih, 2007; Suhartono, 1970). Karena alasan ini, tidak heran jika kebudayaan suku-suku di NTB memiliki kemiripan satu sama lain.
  • [2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2005 halaman 625, kelahiran berasal dari kata dasar lahir yang berarti ke luar dari kandungan. Dalam arti lainnya adalah proses gaib kelahiran kembali dalam bentuk tubuh makhluk baru sesudah makhluk yang lama mati (hal ini menjadi keyakinan dalam beberapa agama, seperti agama Hindu dan Buddha yang disebut reinkarnasi).
  • [3] Konsep adi’ kaka’ ini juga ada dalam pengetahuan orang Jawa. Ari-ari juga bersihkan lalu ditanam dalam tanah untuk menghormatinya.
  • [4] Orang Sasak yang masih memeluk kepercayaan masa lalu (Boda), ari-ari baru akan ditanam setelah jabang bayi berumur enam bulan dan diadakan upacara adat menunang meloga. Selama itu, ari-ari setelah dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam tempurung kelapa muda (kemalam) dan diletakkan di tempat dekat jabang bayi tersebut tidur.
  • [5] Beberapa orang Sasak menyimpan pusar tersebut dalam tabung yang terbuat dari perak atau kuningan sebagai azimat. Ada juga yang menggunakannya sebagai obat mata yakni dengan menyiram pusar tersebut dengan air lalu air bekas siraman tersabut diteteskan pada mata yang sakit.
  • [6] Pada kebudayaan Jawa juga dikenal upacara adat yang serupa ini yang didebut dengan upacara tedak siten sedangkan di Bali dikenal dengan upacara ngenteg tanah.
  • [7] Orang Sasak yang masih menganut Boda, penjejakkan kaki bayi diiringi dengan hitungan seke’ (satu), due (dua), telu (tiga), empat, lima, enem (enam), dan pitu’ (tujuh).

Komentar

Postingan Populer