Nyadran dan bersihan

Oleh Empuesa

Menjelang masuknya bulan puasa, masyarakat Jawa biasanya menggelar ritual tradisi Nyadran. Nyadran diajarkan oleh para wali songo (sembilan) ketika berdakwah Islam di Jawa. Tradisi ini biasanya diisi dengan menggelar selamatan atau kenduri di rumah orang tua atau tempat-tempat yang dikeramatkan oleh warga desa, seperti sendang atau makam sesepuh desa. Di beberapa desa di Jawa Timur, Nyadran diisi dengan membersihkan seluruh lingkungan desa dan rumah, serta mandi keramas di kali desa—mereka menyebutnya bersihan.

Jika diadakan di rumah, selamatan atau kenduri diisi dengan menghadirkan tetangga dekat untuk memanjatkan doa bagi orang-orang tua yang telah meninggal, nabi, para sahabat nabi, dan seluruh wali Islam. Setelah doa bersama, acara biasanya dilanjutkan dengan makan bersama. Para tetangga yang hadir, juga akan dibekali nasi beserta lauk pauk untuk keluarga mereka di rumah—orang Jawa menyebutnya berkat.

Namun, jika diadakan di tempat-tempat keramat, selain kenduri, acara juga diisi dengan menggelar kesenian tradisional seperti jathilan atau tari-tarian. Setelah itu mereka akan memakan sesajen yang biasanya mereka bawa, yaitu nasi, lauk pauk, dan ingkung ayam.

Nyadran selalu dirangkaikan dengan ziarah kubur ke makam orang tua yang telah meninggal. Dalam konteks ini, selain tentang mati, nyadran juga mengajarkan manusia untuk selalu ingat leluhur. Sosok orangtua bagi orang Jawa ibarat “Tuhan” mereka di dunia, terutama sosok ibu.

Jika ditelusuri dari akar katanya, nyadran berasal dari bahasa Arab sadr yang berarti dada atau hati. Kata ini pula yang mungkin diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘sadar’, karena kesadaran melibatkan kebersihan dan kelapangan hati. Orang Jawa sering menjuluki orang tertentu dengan julukan ‘sudrun’ yang berarti ‘aneh’ atau ‘gila’. Dengan makna ini pula, Emha Ainun Nadjib memberi judul salah satu bukunya dengan “Kyai Sudrun Gugat”, yang berisi tentang kesadaran diri seorang Emha tentang keadaan sosial budaya bangsa yang memprihatinkan.

Dalam pemahaman di atas, maka tradisi nyadran yang berasal dari kata Sadr ini ditujukan untuk membersihkan hati setiap orang dalam menyambut bulan suci ramadhan atau bulan puasa. Dengan kebersihan hati dan kelapangan dada, diharapkan mereka dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk, penuh perenungan, ikhlas dan akhirnya mendapat petunjuk yang baik pada saat malam lailatul qadar dan malam nuzullul Quran, yakni malam turunnya Al-Quran pada tanggal 17 bulan Ramadhan.

Dalam konteks kebudayaan, nyadran tidak hanya dilakukan karena mengikuti tradisi nenek moyang saja. Akan tetapi lebih daripada itu, nyadran mengajarkan manusia untuk menata kebudayaan mereka menuju peradaban yang lebih baik. Bulan puasa, menuntut manusia berbelas kasih kepada sesama, berbagi rejeki, mengesampingkan egoisme pribadi, dan meluhurkan budi pekerti. Sayangnya, saat ini banyak orang Jawa yang memaknai nyadran dan bersihan hanya sebagai perilaku manusia yang tidak pernah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, dan akibatnya tradisi inipun mulai hilang dari kebudayaan orang Jawa.

(kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.Com)






Komentar

Postingan Populer