Pitulasan dan nasionalisme

Oleh Empuesa

Anak-anak usia remaja dan para pemuda desa itu sudah menjalankan kegiatan membosankan ini setiap tahun. Bosan karena hanya itu-itu saja dan “penguasa” tetap menganggap mereka labil. Namun, di usianya yang rentan oleh konstruksi sosial yang negatif, mereka masih menyimpan asa kepada negara yang limbung ini. Negara yang selalu salah urus, selalu bocor, dilubangi oleh anak bangsanya sendiri.
 
Malam itu mereka bergerombol di kantor desa. Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa malam itu mereka akan mengecat tembok-tembok pagar desa. Mereka melabur, mengecat dengan kapur gamping yang dicampur air. Sederhana tapi penting. Tembok jadi terlihat putih meski tidak mengkilat.

Tujuan mereka hanya satu, menyambut hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. merayakan pitulasan, merayakan nasionalisme.

Pada awal bulan Agustus, mereka telah merangkai bendera merah putih. Dengan benang yang panjang mereka menalikannya melintang di jalan-jalan desa. Mereka juga mencari bambu dan menyisakan beberapa ranting dan daunnya, lalu bendera merah putih itu diikat menghiasi pohon kemudian ditanam di pojok-pojok desa. Meriah dan ramai pitulasan di desa itu.

Seperti festival, satu bulan sebelum tanggal 17 Agustus, para remaja, pemuda, dan warga desa itu menggelar beragam kegiatan dan lomba. Selama dua hari mereka menyelenggarakan lomba voli antar RT (rukun tetangga). Karena tidak semua RT memiliki pemain voli, tim dadakan pun dibuat, hasilnya lomba voli itu mirip tinju bebas. Ibu-ibu itu sering memukul kepala temannya, dikira bola.

Esok hari hingga siang, anak-anak mengikuti lomba secara bergantian. Awalnya, menggigit uang logam yang ditancapkan pada buah pepaya yang dibedaki arang dicampur minyak goreng. Selain hitam, muka anak-anak itu gatal-gatal. Mereka senang, meski kalah.

Berikutnya, lomba memukul air yang dikemas dalam plastik lalu digantungkan. Beberapa kepala anak-anak itu justru bocor, berdarah terkena pukulan, maklum mereka memukul sambil mata tertutup.

Selanjutnya, lomba balap karung, yang ini diikuti juga oleh ibu-ibu. Setelah memasukkan badannya ke dalam karung, ibu-ibu itu berpacu, meloncat mirip kangguru. Bu Mirah, salah satu warga miskin di desa itu terjengkang, kakinya kesleo. “saya pengen nyari hadiah buku buat anak saya sekolah”. Lucu, menghibur, dan tragis.

Sore harinya, warga campur baur menyaksikan lomba tangkap bebek di kolam milik salah satu warga. Lima bebek dilepas, peserta pun berhambur. Umurnya memang belum tua, tapi warga memanggil mbah Warno. Dia tertawa riang, giginya tinggal dua, namun tangan kurusnya memegang bebek, dua ekor.

Malam terakhir menjelang 17 Agustus, warga berkumpul di kantor desa. Mereka menggelar tirakatan, selamatan. Salah satu orangtua desa berkisah tentang zaman penjajahan saat melawan Belanda dan Jepang. Lalu mereka berdoa, makan bersama, dan tidak tidur semalaman, mengobrol sambil main gaple atau remi.

Saat pagi menjelang, anak-anak sekolah dan para pegawai negeri sipil segera bersiap. Mereka bergegas ke tempat upacara, menghormati sang saka merah putih. Menegaskan keesaan dalam kebhinekaan dan menikmati kebhinekaan dalam keesaan. Slogan yang selalu diulang namun sering diabaikan.

Memang pitulasan hanyalah sebuah ritual tahunan. Ekspresi kebangsaan rakyat yang jujur. Apakah itu dapat diartikan sebagai wujud nasionalisme warga. Itu tergantung dari mana kita menafsirkannya saja. Memang, terkadang ada kepala desa yang menggebu menggelar pitulasan dengan tujuan terselubung, agar dia terpilih menjadi kepala desa lagi atau menjadi pengurus partai.

Akan tetapi tidak sedikit warga desa yang tidak pernah menuntut negara tentang nasib mereka yang tak kunjung membaik, sementara wakil mereka di gedung keong banyak yang memperkaya diri sendiri.

Pitulasan memang terlihat sepele. Tetapi jika mengingat apa yang dialami rakyat selama 65 tahun ini, merangkai bendera merah putih seakan meratapi nasib. Merayakan kemerdekaan ibarat merayakan kemenangan sekelompok pecundang. Namun apakah rakyat negeri ini sentimentil dan merajuk? Tidak, selain ritual, merayakan hari kemerdekaan adalah kewajiban, meski tanpa paksaan, apalagi imbalan. Meski rakyat dalam kesunyian.

Tentang nasionalisme dan kecintaan pada negeri ini, seharusnya tidak ditanyakan pada rakyat. Sudah jelas, mereka selalu merayakan pitulasan dengan sukacita, tanpa gaji dan fasilitas dari negara. Yang ada hanya getah pahit pembangunan, kenaikan sembako, jalan kampung yang rusak, menjadi korban ledakan tabung gas, mati sia-sia akibat kecelakaan kereta, atau menjadi korban masalah yang tak pernah dilakukannya.
Jangan bicara soal nasionalisme,
sebab nasionalisme memang bukan untuk diperdebatkan.
Ini adalah syair lagu Iwan Fals. Syair ini sudah dihafal di luar kepala oleh banyak pemuda-pemudi negeri ini, di perdesaan maupun perkotaan. Bagi masyarakat, nasionalisme selalu diaksikan dan ditradisikan. Mereka mengejawantahkannya dengan perilaku. Dari yang paling sederhana, seperti pitulasan hingga meraih prestasi tinggi tingkat internasional.

Dalam syair lagu ini, Iwan tampak memahami betul bahwa memang nasionalisme lebih bermuatan aksi daripada sekadar tema diskusi atau perdebatan. Semenarik apapun nasionalisme didiskusikan, semuanya tidak lebih hanya akan berhenti pada tumpukan makalah atau buku yang tak akan disentuh lagi. Berdebu dan menjadi sarang laba-laba.

Usia 65 tahun untuk manusia sekarang adalah usia yang dianggap uzur, sudah senja dalam pribahasa kita. Jangan bandingkan dengan Amerika yang perlu 200 tahun untuk dapat maju seperti sekarang ini. Dengan kondisi dunia yang sudah cerdas, kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia hanya perlu kemauan yang bulat dari penguasa. Kemauan untuk menahan mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok. Kemauan untuk “membunuh keakuan” dan memerdekaan semua.

Kemauan untuk berpuasa.

(Kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)









Komentar

Postingan Populer