Salang dalam Kebudayaan Ureung Aceh

Oleh Empuesa

Salang adalah sebuah alat tradisional rumah tangga ureung Aceh- sebutan orang Aceh. Di beberapa perdesaan Aceh, salang masih menghiasi dapur-dapur mereka. Selain untuk menghormati tamu, salang ternyata memegang peranan penting dalam memupuk kepercayaan dan menepis kecurigaan antarmasyarakat. Fungsi salang ini mencerminkan kesahajaan kehidupan sosial ureung Aceh. 

Sedari dulu, sebagai salah satu rumpun Melayu, ureung Aceh memang dikenal sebagai masyarakat yang terbuka. Sejarah membuktikan, bahwa Aceh pernah didatangi para pelancong dari berbagai belahan dunia, antara lain Portugis, Inggris, Arab, China, Belanda, dan India. Mereka ada yang berniat berdagang, menyiarkan agama, atau menguasai hasil bumi serambi Mekah itu. 

Tidak heran pula jika nama Aceh sendiri dalam literatur ada yang mengartikan Arab, China, Eropa, dan Hindia. Sejarah juga mencatat bahwa asal-usul nama Aceh berasal dari sebutan para pelancong yang berbeda-beda, seperti A-tse, Aca-Aca, Tashi, Lambri-Lamri-Lamuri, Achin-Atchin-Atchein-Atcin-Atsheh-Aceh (T. Iskandar dalam buku Hikayat Aceh. 1977/1978).

Keterbukaan di atas membuktikan bahwa toleransi telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan ureung Aceh. Dennys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (1986), juga merekam jejak ribuan tahun silam, banyak bangsa asing yang senang singgah ke pulau paling barat Indonesia ini. Selain ingin berdagang dan menikmati kopi Aceh yang kental, tidak sedikit para pelancong asing itu juga ingin membuktikan keramahan ureung Aceh melalui salang.

Salang dari Dapur Aceh

Kecintaan ureung Aceh terhadap kebudayaan tradisional tercermin dalam hasil budaya mereka berupa salang. Salang adalah sebuah alat tradisional untuk menyimpan makanan, seperti gulai, ikan, atau sayur, dalam jangka waktu lama agar tidak cepat busuk. Hal ini dimaksudkan sebagai persiapan apabila ada tamu mendadak yang perlu dijamu makan. Dengan demikian, ikan dan gulai tersebut dapat dipanasi lagi agar tetap terasa enak dan nikmat jika disantap (Nazarudin Sulaiman et al, 1993/1994).

Salang terbuat dari rotan atau daun Iboh (semisal daun palm) yang dianyam memanjang ke bawah. Salang kemudian akan digantung di kayu pada langit-langit dapur, lalu diletakkan di atasnya keranjang (reungkan) tempat menaruh periuk wadah sayur, ikan, atau lauk. Salang biasanya dibentuk dalam tiga hingga empat susun. Oleh karena bentuk tersebut itu, jika digantung salang juga terlihat seperti hiasan. Dapur akan tampak seperti ruang pameran makanan yang unik dan klasik. Salang biasanya dianyam berbentuk indah. Periuk yang digantung juga dipilih yang berbentuk menarik.

Dari sisi estetika, salang dirancang dalam dua macam, yaitu besar dan kecil. Salang besar terbuat dari anyaman rotan atau daun iboh. Salang bentuk ini biasanya, terdiri dari tiga hingga empat susunan. Adapun salang kecil berbentuk dan berbahan sama dengan salang besar, akan tetapi salang kecil hanya terdiri dari satu atau dua susun saja.

Selain tahan lama, makanan yang disimpan pada salang juga akan aman dari gangguan kucing atau semut. Periuk dari tanah tempat menyimpan sayur juga dapat membuat sayur masih terasa asli, sehingga saat dipanasi kembali, bumbu pada sayur masih terasa atau sayur dapat diberi bumbu baru agar tetap terasa enak. Dengan demikian, sayur masih layak untuk dihidangkan pada tamu. Hal ini berbeda jika tempat sayur berbahan alumunium atau seng, di mana rasa dan tahan lama sayur akan cepat berubah atau basi. Satu hal yang menarik sehubungan dengan tradisi salang ini adalah bahwa sebuah keluarga Aceh akan merasa tenang jika setiap hari terdapat makanan di salang, karena dengan begitu mereka bisa menghormati tamu.

Menghormati dan Memupuk Kepercayaan Sesama
 
Salang menjadi simbol keterbukaan masyarakat Aceh terhadap pendatang. Tempat menyimpan makanan ini telah menjadi alat strategi budaya mereka ketika mereka kedatangan tamu yang tak terduga. Dalam kebiasaan orang Aceh umumnya, para tamu selain dihidangi minuman dan kue, mereka juga akan dijamu makan. Tujuannya agar para tamu senang dan mau berkunjung kembali. Rumah yang banyak dikunjungi tamu dipercaya akan mendapat rejeki yang berlimpah. Selain itu juga, menghormati tamu memang sangat dianjurkan oleh agama Islam, agama yang dianut mayoritas penduduk Aceh.

Sekarang masyarakat sedang dilanda kecurigaan antarsesama manusia yang disebabkan oleh maraknya penyakit sosial, seperti kekerasan sosial, pencurian, korupsi, perampokan, atau terorisme. Sikap individualisme yang berlebihan, semakin menjauhkan masyarakat secara batin (psikis), meskipun mereka dekat secara zahir (fisik). Hal ini apalagi diperparah dengan budaya SMS (short message system), telpon, atau internet yang dianggap dapat mewakili silaturahmi. Dalam konteks ini, keberadaan salang sebenarnya ingin mengingatkan kembali bahwa budaya anjangsana penting untuk dilakukan kembali.

Saat orang saling berkunjung dan kemudian dijamu makan serta minum, maka di sana akan terbuka ruang untuk diskusi, dialog, saling mengisi, dan mengingatkan masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Orang China meyakini bahwa meja makan adalah ruang di mana setiap orang terasa dekat. Tidak heran jika kesepatakan-kesepakatan bisnis atau politik lebih banyak mereka lakukan di restoran-restoran atau rumah makan. Dalam konteks ini, salang menjadi salah satu tanda budaya ureung Aceh dalam merakit kepercayaan dan persaudaraan antarumat manusia.

Memang jika dilihat sekilas, salang tampak hanyalah alat dapur yang sederhana, bahkan mungkin fungsinya dapat digantikan oleh alat yang lain. Akan tetapi jika dilihat dari tujuan adanya salang, satu hal yang diharapkan oleh ureung Aceh adalah lahirnya budaya terbuka, ramah, dan percaya antarmasyarakat. Dengan demikian perbedaan sosial yang memungkinkan terjadinya konflik sosial akan dapat disikapi dengan arif.

Saat ini, meski zaman sudah modern di mana alat-alat rumah tangga sudah berganti dengan yang canggih, tidak ada salahnya jika budaya salang dihidupkan kembali. Tentunya melalui musyawarah dengan saling mengundang ke rumah masing-masing dengan tetap menghormati perbedaan masing-masing.

(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)













Komentar

Postingan Populer