Tradisi Membangun Masjid Orang Lombok Timur

Oleh Empuesa

Membangun masjid adalah tradisi keagamaan yang unik dan sakral bagi orang Lombok Timur (Lotim), NTB. Bangunan masjid dan proses pembangunannya adalah dua hal yang penting untuk diperhatikan. Hampir di seluruh perkampungan, selain berdekatan, masjid dibangun sangat megah, bahkan terkadang berkebalikan dengan kondisi rumah penduduknya. 

Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan masjid menyumbang identitas tersendiri dalam kehidupan sosial dan agama mereka. Namun, jika melihat sepinya jamaah saat shalat, maka semangat mereka dalam membangun masjid ini tampaknya hanya berdasar pada imajinasi spiritual dan penciptaan simbol-simbol agama belaka.

Membangun rumah ibadah adalah hak asasi seluruh umat beragama di negeri ini. Bagi mereka, keberadaan rumah ibadah dinilai penting sebagai ruang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan melangsungkan aktivitas keagamaan. Undang-undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 telah menjamin kebebasan dalam beribadah setiap warga negara sesuai dengan keyakinan mereka. Siapapun dan atas nama apapun harus menghormati konstitusi ini, sebagai upaya menjaga toleransi antarumat beragama dan imajinasi spiritual manusia.

Imajinasi Rumah di Surga 

Di perkampungan Lotim, masjid berdiri dengan jarak yang saling berdekatan. Jika satu desa terdiri dari empat dusun dan satu dusun terdapat empat kampung seluas dua kali lapangan bola, maka di kampung tersebut bisa terdapat dua masjid dan beberapa mushola.

Satu hal yang luar biasa, masjid di perkampungan itu hampir semuanya dibangun dengan corak dan arsitektur Timur Tengah, yakni kubah besar, bertiang tinggi, banyak pintu, megah, dan bertingkat. Menurut cerita masyarakat setempat, hal ini dipengaruhi oleh banyaknya orang Lotim yang berhaji dan belajar ke Timur Tengah, seperti mesir, Mekah, atau Madinah.

Tersebab banyaknya bangunan masjid ini, Kabupaten Lombok Timur mendapat julukan “kota seribu masjid”. Sementara itu, pulau Lombok secara umum mendapat julukan pulau “Tuan Guru”, sebutan untuk para ulama atau kyai penganjur agama di sana. Kedua julukan ini semakin memperkuat kesan dan semangat keagamaan tinggi para penduduknya yang mayoritas muslim.

Dalam membangun masjid, orang Lotim mengerjakannya secara kolektif. Seperti pada hari Minggu itu, sejak subuh sudah terdengar pengumuman dari pengeras suara masjid, para warga kampung dimohon untuk ikut kerja bakti membangun masjid. Selain bantuan dana, warga juga diminta bantuan tenaganya saat pengecoran tiang masjid.

Dan pagi itu, sekitar pukul 07.00 WITA, warga sudah berdatangan ke masjid setengah jadi dengan tiang-tiang bambu yang masih menyangga. Kaum perempuan, laki-laki, anak-anak, orangtua, remaja, dan pemuda berduyun-duyun keluar dari gang-gang kampung. Namun, dari semua yang hadir itu, terlihat kaum ibu-ibu dan anak-anak lebih banyak daripada yang lainnya.

Sejenak kemudian, warga sudah bahu-membahu bekerja. Kaum ibu dan anak-anak bergantian membawa pasir dan batu-bata yang “disunggi” di atas kepala. Sebagian dari mereka berjejer dan mengangkat ember berisi campuran cor secara bergantian (diranting). Kaum lelaki naik ke atas bangunan untuk menerima ember tersebut, lalu diserahkan pada tukang bangunan. Sementara itu, beberapa orang dengan kopyah haji dan surban justru berdiri dengan tangan terikat ke belakang berteriak sambil memberi perintah.

Jika dicermati lebih dalam, semangat masyarakat Lotim membangun masjid berasal dari ajaran Islam. Sebagai orang Islam, masjid dalam imajinasi mereka adalah bangunan tempat menyembah Allah SWT, bangunan yang dihormati dan disucikan, dan mereka sering menyebut masjid dengan rumah Allah (baitullah) atau tempat bersujud pada Allah. Dalam logika masyarakat yang sederhana, membangun rumah bagi manusia saja akan menyenangkan orang tersebut, apalagi membangun rumah untuk Allah SWT, Tuhan yang mereka sembah. Tuhan tentu akan membalas semua kebaikan tersebut, karena Allah SWT telah berjanji melalui lidah nabinya, yakni Muhammad SAW:
“Barang siapa mendirikan (membangun) masjid di dunia, maka akan dibangunkan oleh Allah SWT baginya rumah di surga” (Kitab Sahih Muslim hadis ke 828).
Allah dalam imajinasi orang Lotim tidak akan lupa dan selalu menepati janji. Kalimat-kalimat ini pula, yang sering terdengar dan selalu didengungkan oleh para penganjur agama (Tuan Guru atau ustadz) dalam setiap pengajian dan khutbah shalat Jum’at.

Sabda nabi di atas secara gamblang dipahami oleh masyarakat Islam, bahwa membangun masjid diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW agar mereka dibalas oleh Allah SWT dengan dibangunkan rumah di surga. Dengan begitu, ketika mereka banyak membangun masjid, mereka akan banyak dibangunkan rumah di surga dan berharap dapat hidup serta beribadah dengan tenang di dunia, karena sudah memiliki rumah di surga. Selain itu, ketika rumah mereka dikepung oleh banyak masjid, mereka merasa seakan bertetangga dengan Allah SWT. Imajinasi yang indah bukan?

Realitas Pasca Masjid Berdiri 

Sehubungan dengan anggapan masyarakat Lotim tentang masjid ini, pemandangan kontras justru terlihat pasca berdirinya masjid. Masjid yang besar, bertingkat, megah, modern, bersih dengan warna dinding yang menarik tersebut ternyata hanya diisi tidak lebih dari tiga baris (shaf), terkadang sebaris jamaah. Status kota seribu masjid yang seharusnya berbanding lurus dengan banyaknya jamaah yang memakmurkan masjid, justru sebaliknya hanya diisi oleh sebaris jamaah. Bahkan, seringkali ditemukan masjid yang hanya diisi oleh satu imam dengan satu makmum. Atau, bahkan imam, makmum, dan muadzin (pengumandang adzan) hanya dilakukan oleh satu orang.

Pemandangan yang sama juga tampak ketika Bulan Ramadhan, di mana masjid hanya akan ramai pada awal dan akhir Ramadhan saja. Pertengahan dan pasca Ramadhan, masjid akan kembali sepi dari aktifitas keagamaan. Padahal tidak jarang ditemukan dana pembuatan masjid tersebut didapatkan dari meminta dari para pengendara jalan. Sesuatu yang ganjil jika dihubungkan dengan jumlah umat Islam yang mayoritas di Lombok Timur.

Meminjam konsep Benedict Anderson (1991) dalam bukunya Imagined Communities, imajinasi adalah sesuatu yang penting bagi manusia. Sebab manusia hidup dengan imajinasinya, tanpa imajinasi tidak ada yang namanya bangsa dan negara. Tanpa imajinasi manusia juga tidak akan dapat mengidentifikasi dirinya, baik secara individual, sosial, maupun spiritual. Dalam konteks ini, imajinasi membangun masjid seperti membangun rumah di surga adalah sesuatu yang penting bagi umat Islam Lombok, karena dengan imajinasi tersebut, identitas keislaman dan spiritual mereka terwujud.

Dalam konteks agama, imajinasi spiritual adalah penggerak utama perilaku beragama. Namun, jika mencermati realitas pasca berdirinya masjid di Lombok, pertanyaan yang muncul adalah, apakah setiap imajinasi selalu harus diwujudkan?

Benarkah imajinasi spiritual memiliki nilai kebenaran yang lebih tinggi daripada imajinasi sosial? 

Mari kita sikapi bersama.

(Esai pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer