Alam dan Kebudayaan Manusia

Oleh Empuesa

Ketika banjir bandang menghantam perkampungan Wasior, Papua, beberapa bulan lalu, hingga menewaskan 148 jiwa dan menghancurkan ratusan rumah, seluruh orang Indonesia berduka. Masyarakat menangis dan mengumpulkan dana untuk meringankan beban mereka. Berbeda dengan kejadian Wasior, ketika banjir atau bencana lain menghunjam Jakarta dan menyengsarakan penduduk miskin, hanya sedikit masyarakat Indonesia berbelas kasih. Alih-alih mengumpulkan dana, masyarakat justru memandang sebelah mata banjir di Jakarta. 

Dari kedua fenomena di atas, muncul sebuah pertanyaan, kenapa untuk peristiwa kemanusiaan yang seharusnya sama-sama membutuhkan belasungkawa dan tangis duka semua manusia tapi justru ditanggapi dengan simpati yang berbeda?
 
Logika Hati Nurani
 
Adanya perbedaan tanggapan masyarakat atas bencana yang terjadi di Wasior dan Jakarta adalah sebuah kenyataan yang membuat hati miris. Meskipun demikian, tampaknya masyarakat memiliki logika tersendiri dalam melihat fenomena sosial di negeri ini. Berbeda dengan logika media, apalagi penguasa. Masyarakat tentunya tahu bahwa ketika ada bencana, siapapun korban dan dimanapun tempatnya, maka sikap simpati, bela sungkawa, dan bantuan yang harus diberikan. 
 
Akan tetapi dibalik itu semua, masyarakat juga menyadari bahwa sebenarnya siapa yang berhak mendapatkan simpati dan bantuan. Dalam konteks ini, masyarakat bukannya sewenang-wenang, tetapi logika hati nurani mereka yang berbicara. Masyarakat adalah pelaku dan perasa apa yang dialaminya, kebudayaannya.

Selama ini apa yang dilihat masyarakat Indonesia dari kehidupan orang Papua adalah gambaran kegetiran hidup. Kekayaan bumi Papua, seperti emas, hutan, kayu, dan ikan berbanding terbalik dengan kesejahteraan hidup mereka. Kemiskinan, kekurangan gizi, buruknya pelayanan kesehatan, minimnya sarana transportasi, dan kurangnya akses pendidikan dan pengetahuan, masih dialami orang papua hingga saat ini. Kenyataan ini yang membuat persepsi masyarakat berbeda antara bencana Wasior dan Jakarta.

Otonomi daerah yang sekarang ini dijalankan di Papua masih belum menyelesaikan masalah kemiskinan di Papua. Sebaliknya, yang terjadi justru munculnya penguasa baru yang berpolitik, sehingga melahirkan kegaduhan sosial, seperti kerusuhan, perang antarpendukung calon kepala daerah, dan kriminalitas. Dengan dalih bahwa sumber daya manusia Papua belum siap mengatur daerahnya sendiri, pemerintah pusat tetap mengontrol Papua. Namun, masyarakat umum tetap melihat ada ketidakdilan di bumi cendrawasih itu.

Sehubungan dengan banjir di Wasior, masyarakat tidak yakin jika banjir itu akibat dari perilaku penduduk Wasior, misalnya karena tidak ramah lingkungan. Suku-suku Papua sudah ratusan tahun bercengkrama dengan keganasan hutan mereka. Dan selama itu pula, belum pernah ada kabar duka sedahsyat banjir bandang Wasior. Jika sekarang ini ada orang Papua yang berani menebang pohon dengan seenaknya, maka pertanyaannya adalah dari mana keberanian berasal? Tidakkah ada yang mengajari atau memerintah mereka melakukan penebangan liar. Mungkinkah aturan adat Papua menyuruh itu?

Para ahli sejarah dan budaya telah melakukan penelitian bahwa leluhur suku-suku yang hidup di pedalaman hutan Indonesia, terkenal memiliki sikap ramah terhadap lingkungan. Mereka memiliki kosmologi dunia yang selalu mementingkan keseimbangan alam tempat mereka hidup. Seperti contoh, suku Kajang di Sulawesi Selatan memiliki konsep keselarasan dengan alam ( http://melayuonline.com/), komunitas Wetutelu di Lombok memiliki konsep keseimbangan hidup dengan alam (http://melayuonline.com/), suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah memiliki kosmologi pohon batang garing (http://melayuonline.com/), begitu juga dengan orang rimba di Jambi memiliki konsep halo nio halo dewa dalam memahami tempat tinggalnya (http://melayuonline.com/). Semua konsep ini membuktikan bahwa tempat tinggal mereka yang jauh dari kota bukan berarti mereka tidak beradab.

Sementara itu, kondisi kehidupan Jakarta yang berbanding terbalik dengan kehidupan di Papua, menjadi alasan utama kenapa masyarakat bersimpati berbeda saat banjir dan beragam bencana menghantam Jakarta, meskipun yang menjadi korban kebanyakan adalah juga penduduk miskin. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh realitas secara umum, bahwa Jakarta merupakan pusat kontrol atas seluruh peristiwa sosial, ekonomi, politik, dan keamanan di daerah. 
 
Kemegahan dan kepongahan Jakarta - meski hanya dinikmati oleh segelintir orang - telah menutupi borok-borok Jakarta, sehingga bencana apapun yang terjadi di Jakarta tidak dilihat masyarakat sebagai sedih dan sakit bersama. Berdasar persepsi ini, maka ketika bencana menimpa Jakarta masyarakat menganggap memang sudah sewajarnya begitu yang harus diterima Jakarta. Para “penguasa” yang hidup di Jakarta sudah terlalu kenyang mengisap rejeki orang di luar Jakarta, Wasior salah satunya.

Pelajaran dari Suku Dayak Selako
 
Sehubungan dengan bencana alam, salah satu subsuku Dayak, yaitu Dayak Selako di Kalimantan Barat, memiliki kosmologi dunia yang penting untuk dipelajari. Menurut mereka, alam yang mengalami musibah adalah alam yang “sakit” akibat perbuatan manusia. 
 
Oleh karena itu, manusia sebagai “tetangga alam” bertanggungjawab untuk memulihkannya, salah satunya dengan membuat aturan adat dalam mengolah tanah. Orang Dayak Selako meyakini, jika manusia memperlakukan alam dengan baik, maka alam selalu siap membantu manusia di setiap saat. Bahkan, alam akan memberikan bantuannya ketika dalam bahaya, misalnya seperti bencana alam atau perang suku.

Selain membuat aturan adat untuk mengolah tanah, orang Dayak Selako juga menggelar ritual doa ngadati ai’ tanoh, paayo paansar, tumpuk tampat kediaman, yang berarti mengolah air dan tanah sebagai tempat kerja untuk mendapatkan rejeki dan tempat tinggal. Ritual ini merupakan upaya mereka untuk berkomunikasi dengan alam. Menurut mereka, alam itu hidup dan dapat diajak berkomunikasi - menggunakan simbol. Bencana alam adalah salah satu simbol alam mengajak bicara manusia. Hanya manusia yang sudah biasa bercengkarama dengan alam saja yang dapat memahaminya.

Dalam upacara ritual tersebut, ladang dan sawah, semua jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput, pohon besar dan kecil, serta rotan dan tumbuhan merambat lainnya ditebas dan ditebang kemudian dibakar. Dengan diringi doa dan mantra, ritual ini bertujuan menyapa dan mengajak alam bicara agar jangan marah berkepanjangan apalagi dendam, sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia yang hidup berladang dan bercocok tanam.

Kosmologi orang Dayak Selako ini tampak sangat sederhana, akan tetapi ketika dibenturkan dengan birahi kekuasaan, maka konsep, aturan, sistem, atau agama tak lebih dari prasasti. Kiranya penting untuk dipahami bahwa hutan dan alam tidak hanya ada di pedalaman. Kota adalah juga hutan dan alam. 
 
Manusia kota dan hasil kreasinya, seperti gedung-gedung bertingkat, pertokoan, perumahan, pasar, dan pabrik, justru lebih pemarah dan pendendam daripada pepohonan, sungai, kali, dan batu. Dengan demikian, hutan dan alam dimanapun tempatnya, harus disayangi dan diperlakukan semuanya seperti layaknya memperlakukan diri sendiri.  
 
(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer