Duka di Bumi Sikerei

Oleh Empuesa  

Senin, 26 Oktober 2010. Seiring kabar duka erupsi gunung Merapi di Yogyakarta yang menewaskan 32 orang termasuk juru kunci Merapi Mbah Maridjan, air mata masyarakat Indonesia kembali harus tumpah untuk gempa dan tsunami yang menyapu Kepulauan Mentawai, tepatnya di wilayah Pagai Selatan dan Utara. Data terakhir menyebutkan korban meninggal sebanyak 337 orang, 334 hilang, ratusan orang luka, dan ratusan rumah hancur diterjang ombak. Bumi sikerei itu pun menangis. 

Tewasnya banyak korban disinyalir karena beberapa sebab, antara lain tidak berfungsinya alarm tsunami yang dipasang di pulau itu, geografis pulau yang relatif rata tak berbukit, tak adanya satelit komunikasi, serta sulitnya transportasi menuju pulau ini, sehingga regu penolong terlambat datang. Sebab-sebab ini pula yang terdengar di media selalu dikoarkan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini. Publik pun ada yang percaya, ada pula yang menyangsikan. Masyarakat berteriak, apakah “penguasa” negeri ini tidak belajar dari peristiwa yang sama di Aceh tahun 2004 silam?
 
Sekilas tentang Kepulauan Mentawai
 
Kepulauan Mentawai adalah sebuah kabupaten yang terletak memanjang di bagian paling barat pulau Sumatera dan dikelilingi oleh Samudera Hindia. Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik, dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut.

Kabupaten Mentawai didirikan berdasar UU RI No. 49 Tahun 1999, terdiri dari empat kelompok pulau utama yang berpenghuni, yaitu Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Seluruh pulau dihuni oleh satu suku besar, yaitu suku Mentawai. Di sekitar empat pulau utama, terdapat pulau-pulau kecil berpenghuni, namun sebagian besar berupa hamparan tanaman pohon kelapa, menjadikan pulau-pulau itu terlihat indah dari pesawat.

Menurut Albert C. Kruyt. (1979) dalam buku Suatu kunjungan ke Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menyebut tiga versi asal-usul leluhur suku Mentawai. Pertama, mereka datang dari pulau Nias, di sebelah utara kepulauan Mentawai. Syahdan, seorang bernama Ama Tawe pergi memancing ke laut dan terdampar di pulau akibat badai. Pulau bertanah subur dan banyak pohon sagu itu justru membuat betah Ama Tawe. Akhirnya dia mengajak keluarganya untuk menetap di Mentawai. Anak keturunan Ama Tawe inilah yang menurunkan orang Mentawai dan dari kata Ama tawe pulau itu dinamai.

Kedua, orang Mentawai adalah sisa orang Polinesia yang terusir oleh kedatangan orang Melayu yang mendominasi pulau Sumatera. Sementara itu, Rosenberg menyatakan orang Mentawai berasal dari kepulauan Pasifik karena orang Mentawai mirip dengan orang di kepulauan tersebut. Ketiga, orang Mentawai tidak identik dengan orang Melayu namun bahasa Mentawai ada kemiripan dengan bahasa Batak. Dr. Oudemans mengatakan bahwa orang Mentawai serumpun dengan orang Batak dan pulau-pulau Batu di Nias.

Mayoritas orang Mentawai menganut kepercayaan Arat Sabulungan, berasal dari kata sa (se), berarti ‘sekumpulan’ dan bulung yang berarti ‘daun’. Secara umum, Arat Sabulungan berarti sekumpulan daun yang dirangkai dalam lingkaran dari pucuk daun enau atau rumbia. Daun ini diyakini memiliki tenaga gaib, yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan terhadap penguasa-penguasa alam gaib dalam kosmologi suku Mentawai. Kepercayaan Arat Sabulungan masih bertahan hingga kini, namun dalam perkembangannya, sebagian penduduk Mentawai pindah ke agama Kristen dan Islam.

Orang Mentawai dan Alam
 
Ketika mendengar “Mentawai”, imajinasi kita selalu terikat pada beberapa hal, laut nan indah, hutan yang lebat, penduduk suku Mentawai yang unik, tradisi titi (tato dalam bahasa mentawai), dukun magis sikerei, kepercayaan Arat Sabulungan, atau pola kehidupan yang misterius. Tidak heran jika sisi misterius kebudayaan orang Mentawai ini menginspirasi E.S Ito untuk menjadikannya sebagai salah satu misteri dalam novelnya berjudul Rahasia Mede.

Suku Mentawai memiliki konsep kosmologi yang unik, sangat terikat dengan sagu. Sagu dianggap sebagai tanaman yang pertama kali dimakan leluhur mereka hingga hidup sampai sekarang. Sagu adalah pohon kehidupan, karena sagu merupakan makanan pokok orang mentawai, sumber pangan yang tak pernah habis. Tidak heran jika titi yang memenuhi seluruh tubuh orang Mentawai dari kepala hingga jari kaki bermotif pohon sagu.

Kosmologi Suku Mentawai juga menyebutkan bahwa alam dikuasai oleh kekuatan gaib yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Tetapi, manusia dapat terhindar dari kemarahan alam jika bisa berhubungan dengan alam: menjaga hutan dan tidak sewenang-wenang menebang pohon. Jika orang Mentawai mencari suatu petunjuk, sang sikerei akan berkomunikasi dengan penguasa alam gaib melalui ritual tertentu.

Saat ini, modernitas telah memasuki kehidupan orang Mentawai, generasi muda mulai melupakan kosmologi ini. Para orangtua dan sikerei, menjadi benteng terakhir tradisi kebudayaan Mentawai yang membuat kehidupan Suku Mentawai dekat dengan alam menjadi lebih bermakna. Sejak dulu mereka telah bercengkarama dengan alam, baik suka maupun duka.

Akhirnya, selain mengingatkan “penguasa” negeri ini agar serius belajar dari bencana, semoga gempa dan tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai tidak mematahkan semangat orang Mentawai untuk terus hidup berdampingan dengan alam.

(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)




Komentar

Postingan Populer