Ajaran Budi Pekerti Ureung Aceh terhadap Dapur, Nanggroe Aceh Darrusalam

Dapu (dapur) adalah sebuah ruang yang biasanya terdapat di bagian belakang rumah utama orang Aceh. Meskipun demikian, melalui fungsinya yang beragam, dapu memuat sebuah ajaran budi pekerti yang luhur. 
 
1. Asal-usul

Ureung (orang) Aceh di Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD), memiliki pengetahuan yang bijak tentang dapu (dapur). Dari pengetahun ini, muncul sebuah ajaran budi pekerti yang intinya tidak boleh sembarangan bersikap terhadap dapur. meskipun zaman sudah modern, budi pekerti ini masih dipatuhi oleh orang Aceh. Kenyataan ini menyiratkan bahwa masyarakat Aceh masih peduli dengan tradisi leluhurnya.

Dapur meski letaknya di belakang bagian rumah utama, bukan berarti dapur tidak menjadi perhatian dalam hubungannya dengan pendidikan budi pekerti. Sebaliknya, dapur justru menjadi muka utama dalam rumah tangga orang Aceh, karena dapur menyimpan banyak rahasia. Secara umum, dapu orang Aceh dibagi dalam beberapa bagian, yaitu dapu rumoh (dapur rumah tangga), dapu khanduri (dapur untuk acara sosial), dan dapu keureja (dapur untuk mencari nafkah). Pembagian adalah sekaligus penamaan yang didasarkan pada fungsi dapur. Pembagian fungsi dapur ini tentu saja berakibat pada sikap yang harus diambil seseorang terhadap dapur tersebut (Nasrudin Sulaiman, 1993/1994).

Di perkampungan Aceh, pemisahan dapu seperti ini masih terjadi dan dilestarikan. Hal ini tampaknya disebabkan oleh anggapan bahwa dapu bagi mereka bukan hanya sekedar tempat memasak, tetapi juga ruang menata hidup dan mengajarkan budi pekerti pada anak-anak mereka (Rusdi Sufi et al., 2004).

Sejarah Aceh menuturkan bahwa ajaran budi pekerti terhadap dapu bermula dari anjuran nenek moyang Aceh agar bersikap sopan dan menghormati dapur. Penghormatan ini ditujukan bukan hanya sekedar dapur sebagai tempat untuk mengolah makanan (baca: salah satu sumber hidup dan kehidupan), tetapi juga untuk menghormati pemilik rumah yang telah membangun dapur (baca: membangun kehidupan) (Nasrudin Sulaiman, 1993/1994).

Menurut Rusdi Sufi et al., (1998/1999), penghormatan terhadap dapu dilakukan dengan memisahkan daur sesuai fungsinya. Pemisahan ini ditujukan agar orang Aceh mudah dalam menyebut, melakukan pekerjaan, dan mengambil sikap. Tujuan ini tampak sesuai dengan sebuah peribahasa yang menyatakan berperikulah sesuai dengan situasi dan kondisi (sikon). Secara sosial, pemisahan ini juga akan mempermudah masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial, misalnya mengkoordinir masyarakat untuk bekerja bakti, memasak pada acara hari besar agama seperti maulid.

Selain dari sisi sikap (etika) yang harus diambil, secara umum pemisahan dapur berefek pada perbedaan bentuk bangunan dapur dan bahan pembuatan dapur. Dapu keureja misalnya, akan dibangun permanen dengan batu bata. Perbedaan bentuk dan bahan bangunan ini tentu saja ditentukan oleh fungsinya.

Di antara dapu-dapu tersebut, dapu rumoh dianggap paling penting dan sakral, kesakralan dapu rumoh dapat dilihat dari beberapa pantangannya, antara lain karena selain untuk memasak kebutuhan rumah tangga, dapu ini juga digunakan untuk memasak bahan-bahan untuk upacara adat. Karena itu kenapa dapur rumah tangga dibangun di atas, salah satunya untuk menghormati fungsi dapur tersebut.

2. Konsep Budi Pekerti terhadap Dapu
Dapu dalam pandangan orang Aceh adalah sumber hidup dan kehidupan, baik untuk keluarga, kerabat, maupun masyarakat. Dari dapu lahir beragam masakan yang dimakan oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat. Melalui makanan mereka dapat bekerja dan beribadah, baik secara vertikal (Tuhan) maupun horizontal (masyarakat). Dengan demikian, dapu adalah ruang untuk bersyukur pada Tuhan. Ruang instrospeksi diri karena dapat makan sementara banyak orang yang kelaparan (Nasrudin Sulaiman, 1993/1994).

Secara umum, ajaran budi pekerti orang Aceh terhadap dapur berhubungan dengan letak bangunan masjid, yakni dapur orang Aceh harus berada di sisi timur rumah utama. Hal ini disebabkan oleh keyakinan mayoritas orang Aceh yang beragama Islam, bahwa jika dapur berada di sisi barat rumah, maka ketika salat mereka seakan menyembah dapur dan ini dianggap tidak menghormati Ka’bah sebagai arah kiblat.

Secara khusus, ajaran budi pekerti terhadap dapu berkait erat dengan pembagian dapu sesuai fungsinya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa secara umum, orang Aceh membagi dapu menjadi tiga bagian, yaitu dapu rumoh (dapur rumah tangga), dapu khanduri atau umum (dapur untuk acara adat dan agama), dan dapu keureja (dapur untuk mencari nafkah).

a. Dapu romoh
Dapu rumoh adalah istilah orang Aceh untuk menyebut dapur yang umumnya ada di rumah tangga. Dapu rumoh berfungsi sebagai ruang untuk mengolah bahan makanan sehari-hari atau kebutuhan pemilik rumah untuk upacara adat dan agama tertentu, seperti acara khitanan. Akan tetapi, jika upacara keagamaan besar dan membutuhkan tukang masak yang banyak, semisal pernikahan, maka biasanya akan dibuat dapur tambahan.

Dapu rumoh dianggap dapur yang paling penting dan sakral. Penting karena dapu rumoh merupakan salah satu syarat sebuah keluarga berumah tangga. Jika rumah tidak memiliki dapur, maka pemilik rumah dianggap tidak dapat menghormati orang lain, seperti tamu. Hal ini bertentangan dengan kebudayaan orang Aceh yang dikenal sebagai masyarakat yang terbuka dan menghormati tamu (Rusdi Sufi dan Agus B. Wibowo. 2004; T. Iskandar . 1977/1978).

Sementara itu, dapu rumoh dianggap sakral karena budi pekerti Aceh mengajarkan hanya pemilik rumah yang berhak memasukinya dengan sesukanya. Bahkan, dalam kebudayaan Aceh dipahami bahwa anggota keluarga seperti pengantin laki-laki baru boleh masuk dapu rumoh istrinya setelah mereka dikarunia dua atau tiga orang anak.

Begitu juga dengan orang lain (tamu atau kerabat) tidak diperbolehkan masuk dapu rumoh, karena dianggap tidak sopan. Hal ini ditujukan agar orang lain tidak mengetahui kekurangan dalam urusan makan rumah tangga tersebut. Dari kebudayaan inilah istilah “rahasia dapur”. Mereka baru boleh masuk setelah dizinkan oleh pemilik rumah.

Selain itu, nenek moyang Aceh mengajarkan agar dapu rumoh selalu disapu dan bersih, karena kebesihan dapu rumoh mencerminkan kepribadian pemilik rumah. Dapu rumoh yang terlihat kotor menunjukkan bahwa pemilik rumah pemalas. Sebaliknya, jika dapurnya bersih, maka itu menunjukkan orangnya yang suka kebersihan. Hal ini juga menjadikan kepercayaan orang bahwa makanan yang dimasaknya juga bersih.

b. Dapu khanduri atau umum
Dapu khanduri (selamatan) disebut juga dengan dapur umum. Dapur khanduri adalah dapur yang dibuat ketika akan mengadakan khanduri atau selamatan secara bersama-sama, baik oleh keluarga, kerabat, maupun masyarakat (untuk peringatan hari besar agama), seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad, Idul Adha, atau melayani pengungsi seperti ketika gempa dan tsunami beberapa tahun lalu. Dapur ini berfungsi untuk memasak bahan makanan guna kebutuhan bersama.

Dapur umum biasanya didirikan sesuai dengan acaranya. Jika untuk hari besar agama, maka akan dibangun di dekat meunasah (pesantren) atau masjid. Dapu khanduri biasanya dibangun dengan kayu, karena hanya dipergunakan selama acara berlangsung saja.

Sehubungan dengan dapu khanduri, nenek moyang Aceh mengajarkan budi pekerti agar setiap orang tidak masuk sembarangan, karena dapur milik bersama sehingga jika ada barang yang hilang maka itu akan merugikan banyak orang. Budi pekerti ini terbukti benar ketika banyak bantuan gempa dan tsunami lalu hilang tanpa diketahui siapa yang mengambil.

Dapu khanduri juga harus bersih, karena masyarakat akan menilai kotor makanan yang di masak. Dalam konteks dapur umum untuk para pengungsi, dapu khanduri yang kotor akan berakibat buruk pada pengungsi, misalnya terjangkit penyakit diare atau muntaber.

c. Dapu keureja (dapur untuk mencari nafkah)

Dapu keureja adalah istilah orang Aceh untuk menyebut dapur yang digunakan untuk bekerja atau mencari nafkah. Sebutan ini disebabkan oleh fungsi dapur yang memang untuk membuat sesuatu yang dapat dijual dan menghasilkan uang untuk nafkah. Meskipun dapur tersebut letaknya menjadi satu dengan dapu rumah, akan tetapi jika difungsikan untuk mencari nafkah (seperti industri rumahan), maka dapur tersebut berfungsi ganda, sebagai dapu rumoh sekaligus dapu keureja.

Sehubungan dengan dapu keureja, budi pekerti yang diajarkan oleh nenek moyang Aceh berbeda dengan dua dapur sebelumnya. Terhadap adapu keureja, orang Aceh harus lebih menghormati dan menjaganya, karena dapur ini adalah sumber kehidupan sesungguhnya, yakni sebagai tempat untuk bekerja dan mencari nafkah untuk hidup.

Dapu keureja harus dijaga kebersihan dan kekuatan bahan bangunannya, karena jika dapur tersebut rusak, maka akan mengganggu nafkah hidup, dan itu akan berpengaruh pada kebutuhan keluarga (anak istri), kerabat, dan masyarakat (kegiatan sosial). Untuk menyiasati ini, bangunan dapu keureja biasanya dibuat dari bahan-bahan yang baik dan berkualitas tahan lama.

3. Pengaruh Sosial
Pengetahuan Ureung Aceh tentang budi pekerti terhadap dapur adalah bukti mereka sangat peduli dengan kehidupan individual dan sosial. Pemisahan istilah dan fungsi dapur menjelaskan bahwa orang Aceh ingin agar perilaku mereka sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Sementara itu, dalam konteks sosial yang lebih luas, pengetahun ini memiliki pengaruh-pengaruh tertentu dalam kehidupan sosial Ureung Aceh, antara lain:
  • Pendidikan anak. Budi pekerti yang diajarkan oleh nenek moyang Aceh terhadap dapur ini merupakan bentuk nyata dari sistim pendidikan anak. Sedari dini, khususnya anak perempuan Aceh, diajarkan oleh orangtua mereka agar menghormati dapur. Dalam kebudayaan Aceh, perempuan adalah kaum yang mengetahui secara detil segala sesuatu di dapur, karena memang kaum perempuan yang banyak berhubungan dengan dapur. Melalui budi pekerti ini, kaum perempuan yang nantinya akan jadi ibu, diharapkan akan mengajarkan budi pekerti ini kepada anaknya, agar secara keluarga dan sosial, sang anak dapat beradaptasi dan bersosialisasi.
  • Menguatnya solidaritas sosial. Pengaruh ini dapat dilihat dengan jelas pada fungsi dapur, baik pada dapu rumoh, dapu khanduri, maupun dapu keureja. Semua dapur itu memiliki fungsi sosial yang kentara, yaitu sebagai penguat solidaritas sosial. Dapur menjadi ruang perekat solidaritas sosial yang ampuh, ketika sekelompok orang bergotong royong memasak untuk satu tujuan. Pada dapu rumoh dan khanduri, solidaritas sosial tercipta ketika kerabat dekat atau jauh datang membantu masak. Sementara itu, masyarakat juga saling bahu membahu menyiapkan keperluan sebuah upacara adat atau agama. Nuansa sosial yang damai akan semakin terasa ketika semua orang makan bersama, tertawa bersama, dan berbahagai bersama. Mereka akan merasa bahwa mereka datang dari satu permulaan yang sama, yakni sama-sama manusia yang saling membutuhkan.
  • Menguatnya semangat toleransi. Ketika masyarakat bersama-sama memasak di dapur umum untuk tujuan yang sama padahal mereka mungkin berbeda agama, status sosial, pendidikan, dan suku, maka saat itu pula terjadi toleransi antarmereka. Dalam konteks ini, dapur tidak hanya sebagai tempat memasak, tetapi juga tempat untuk menyemai toleransi sosial. Tidak heran jika sejak zaman dulu sejarah mencatat bahwa Aceh dihuni oleh orang yang datang dari beragam etnis, agama, kepercayaan, dan bangsa. Kenyataan ini menjadi kekuatan orang Aceh dalam melawan penjajah, baik Belanda, Portugis, Jepang, maupun Inggris. Orang Aceh dikenal pemberani dan nekat. Belanda pun menjuluki orang Aceh sebagai Aceh pungo (Aceh gila) (Dennys Lombard, 1986; Oryza Aditama, 2008; T. Iskandar. 1977/1978).
  • Menguatnya semangat keagamaan dan pelestarian tradisi. Pengaruh ini dapat dicermati dari fungsi dapu khanduri atau dapur umum yang banyak digunakan untuk memasak makanan guna upacara adat atau hari besar keagamaan. Memasak bersama-sama untuk keperluan upacara keagamaan tentu saja semakin menguatkan semangat keagamaan pemeluknya. Sejurus dengan itu, ketika memasak bersama-sama untuk keperluan upacara adat, maka akan menguatkan semangat pelestarian budaya Aceh. Dalam kontes ini, dapur berfungsi ganda, yakni fungsi agama dan budaya.
4. Penutup
Dapur oleh umumnya masyarakat dianggap sebagai ruang yang identik dengan makanan, namun ternyata dalam pengetahuan orang Aceh memiliki fungsi sosial, budaya, dan spiritual yang luhur. Memahami pandangan orang Aceh tentang dapur di atas, terbersit sebuah harapan besar semoga fungsi-fungsi dapur itu diaplikasikan oleh semua orang Aceh hingga sekarang, khususnya mereka yang hidup di perkotaan. 
Harapan ini juga sebuah kerisauan, karena kehidupan kota yang cenderung individualistis, membuat semangat kebersamaan menjadi berkurang. Oleh karena itu, menjadi tugas orang-orang Aceh yang peduli terhadap kebudayaan mereka untuk mensosialisasikan ajaran budi pekerti ini, misalnya melalui kegiatan sosial dan keagamaan di kampung-kampung. 
(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)
Referensi
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
  • Dennys Lombard, 1986. Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan Winarsih Arifin. Jakarta; Balai Pustaka.
  • Nasrudin Sulaiman, et al., 1993/1994. Peralatan dapur tradisional Aceh. Daerah Istimewa Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  • Oryza Aditama, 2008. Cut Nyak Dien Ibu Gerilya Indonesia. Tujuh Ibu Bangsa. Jakarta: Rahzenbook.
  • Rusdi Sufi et al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • - Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1998/1999.
  • Rusdi Sufi dan Agus B. Wibowo, 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam.
  • T. Iskandar, 1977/1978. Hikayat Aceh. Banda Aceh: Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh.





Komentar

Postingan Populer