Betanung

Oleh Empuesa

“Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain maunya”. Peribahasa Melayu indah ini secara umum berarti bahwa setiap orang atau daerah memiliki cara sendiri dalam menyikapi masalah. Lewat peribahasa ini, leluhur Melayu ingin mengajarkan generasi penerusnya agar tidak menghukumi orang lain secara sepihak, karena orang lain memiliki prinsip yang berbeda. 

Peribahasa ini semakna dengan pepatah Jawa, “Deso mowo coro, kuto mowo toto”, desa punya cara, kota punya tata kelola. Pepatah ini sebenarnya adalah konsep politik, hukum, dan sosial di kerajaan Majapahit dulu. Berdasar konsep ini, Hayam Wuruk menyelesaikan sengketa di antara rakyatnya yang beragam. Dengan konsep tersebut, Majapahit menjadi kerajaan besar dan memiliki pengaruh luas. Pada zaman itu pula, Majapahit melahirkan seorang Patih Gadjah Mada dan konsep Nusantara.
Jauh setelah kerajaan Majapahit, suku Dayak Punan yang hidup tersebar di Pulau Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur, memiliki tiga tradisi unik dalam menyelesaikan sengketa di masyarakatnya, yaitu matot (bersumpah dengan memotong anjing menjadi dua bagian atau meminum air yang dicampur gigi taring harimau dan pihak yang kalah akan mati atau sakit), selemae’ (pihak yang bersengketa menyelam di air dan siapa yang paling lama itulah pemenangnya), dan tanung atau betanung (mengundi). Dua tradisi pertama saat ini sudah tidak dipakai lagi, dan yang ketiga akan di dibincangkan berikut ini.

Tanung atau Betanung
Tanung atau betanung adalah cara menyelesaikan sengketa dengan menggunakan media seperti soput (sumpit) atau toa sio (telur ayam). Dalam proses betanung, pihak penggugat harus menyediakan semua bahan yang diperlukan, seperti telur ayam, tempurung kelapa, kapur sirih, kunyit, tungku, jarum, dan sesaji lainnya. Kedua belah pihak harus menyepakati waktu dan tempat digelarnya betanung.

Sebelum ritual dimulai, semua persyaratan betanung diserahkan penggugat kepada ketua adat untuk diperiksa apakah sudah lengkap dan sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Hal ini harus dilakukan, karena jika terdapat syarat yang kurang, maka akan mengurangi kesakralan upacara dan akibatnya terkadang akan terjadi masalah lagi. Meskipun demikian, kedua belah pihak sebelumnya sudah dijanji tidak akan memprotes apapun hasil ritual tanung nantinya. Keduanya juga harus menjaga keharmonisan sosial dan keluarga besar bangsa Dayak Punan, meski keduanya telah bersengketa sebelumnya.

Setelah segala sesuatunya siap, ketua adat kembali mempersilakan kedua belah pihak menjelaskan alasannya kenapa mereka saling bersengketa. Jika sehubungan dengan tanah misalnya, kedua belah pihak diminta menunjukkan batas-batas tanah yang diklaimnya agar ketika memimpin tanung dan membaca mantra (betutok), ketua adat tidak salah melafalkannya.

Tanung dengan media telur ayam terlihat sakral dan mistis. Sesuai dengan waktu yang disepakati, ketua adat dan beberapa pihak, selanjutnya memasang tungku perapian di tempat yang terlindung dari hembusan angin agar api tidak mati. Di atas tungku diletakkan batok kelapa berisi telur ayam. Pada salah satu bagian kulit telur ayam, oleh ketua adat dibuat lubang kecil dengan menggunakan jarum. Di sekitar lubang, ditandai dengan tiga garis yang berbeda warna, yaitu putih, kuning dan hitam.

Kedua belah pihak selanjutnya diminta untuk memilih salah satu dari dua garis, putih atau kuning, adapun garis warna hitam adalah garis milik adat, yang artinya ketika telur dibakar dan putih telurnya meleleh tanpa menyentuh garis milik kedua belah pihak tetapi menyentuh garis hitam, maka tanah itu akan menjadi milik adat (umum). Sebaliknya, jika putih telur meleleh hingga ke salah satu garis milik kedua pihak, maka tanah tersebut menjadi milik pihak pemilih garis tersebut.

Sebelum menyalakan api dan memanasi telur, ketua adat akan membaca mantra dan memanggil roh-roh para leluhur untuk turut hadir dalam ritual upacara. Sejenak kemudian, setelah beberapa saat telur dibakar, telur ayam mengeluarkan lelehan dan mengarah ke garis putih. Pemilik garis putih pun bersorak gembira. Setelah pemenang sengketa didapatkan, kedua belah pihak diminta untuk saling bersalaman dan ketua adat menyalami mereka lalu menasehati mereka agar tidak memiliki dendam satu sama lain.

Dualisme Hukum
Tradisi betanung lebih dipercaya oleh masyarakat daripada hukum nasional. Akan tetapi, negara ternyata telah melakukan pengerdilan tradisi ini sehingga masyarakat Dayak Punan ketika bersengketa tetap saja harus melalui proses hukum nasional. Pengerdilan oleh negara dilandasi anggapan bahwa nanti akan terjadi dualisme hukum jika hukum adat digunakan untuk menyelesaikan sengketa.

Hal ini tentu saja sangat disayangkan, karena penyelesaian sengketa hukum nasional melalui pengadilan dirasakan oleh masyarakat belum memenuhi prinsip keadilan. Masyarakat lokal justru lebih percaya dengan hukum lokal (adat) karena dianggap lebih adil dan terbuka. Akan tetapi, sebagai rakyat, masyarakat lokal dalam kondisi ini sering mengalami dilema sosial, antara mentaati hukum adat atau hukum nasinal. Jika mereka tidak taat hukum nasional mereka dianggap membangkang pada negara. Namun, jika mereka tidak taat adat, tentu akan mendapat sanksi adat. Kondisi ini akhirnya disikapi dengan melaksanakan hukum adat secara diam-diam.

Selain rasa keadilan yang belum ada, hukum nasional oleh masyarakat juga masih dicurigai sebagai cara untuk memojokkan suku di pedalaman, agar mereka mentaati kemauan penguasa. Melalui aturan hukum (yang terkadang direkayasa), suku di pedalaman dijinakkan. Dalam konteks ini, negara bukan lagi sebagai pelindung rakyat, tetapi tidak lebih hanya symbol semata.

Realitas betanung seakan menggugat kesewenangan Negara, karena ketika Negara sibuk meniadakan keadilan, di masyarakat lokal keadilan justru dirayakan.  
(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)





Komentar

Postingan Populer