Haji dan Tradisi Berhaji

Oleh Empuesa

Setiap tahun, ribuan muslim Melayu pergi menunaikan ibadah haji. Tua, muda, orang biasa, hingga pejabat. Di antara mereka, ada yang sudah berhaji lebih dari sekali. Namun, setiap tahun pula, kemiskinan, kekerasan agama, KKN, pungutan liar (pungli), dan kriminalitas dilakukan oleh anak negeri. Tidak sedikit dari mereka adalah haji. Benarkah mereka sudah “mampu” sehingga merasa wajib berhaji

Dalam kebudayaan Melayu, selain kewajiban, haji adalah sebuah tradisi ke/pe-mulia-an sekaligus ‘ke/pe-megah-an’ diri. Awalan ke merujuk pada sifat asli haji itu sendiri yang memang mulia dalam konsep Islam, adapun awalan pe merujuk pada konstruksi kepentingan seseorang terhadap haji (status, kepentingan politis, simbol), begitu juga dengan awalan pe dan ke pada kata megah.

Sejak seseorang diketahui akan berangkat haji, sudah banyak orang berkunjung ke rumahnya, mendoakan dan menitip doa (juga oleh-oleh), berdoa di Mekkah diyakini pasti dikabulkan. Saat hari pemberangkatan, kerabat dan orang kampung akan mengantarnya hingga ke pemondokan atau bandara, meski di jalan mabuk dan hanya dapat melambaikan tangan, mereka tetap mengantar, mereka seperti dalam kondisi antara iri dan harap. Ibarat penyakit, haji dianggap “menular”, dengan mengantar berharap akan tertular.

Saat terdengar akan pulang dari Mekkah, kerabat dan orang kampung kembali akan menyambut di bandara. Peluk, cium, haru, dan gembira tumpah ruah. Meskipun saat di Mekkah mereka mengalami kesulitan khususnya bagi mereka yang berusia tua, 40 hari di negeri orang dan pulang dengan selamat dianggap sebuah prestasi, apalagi ini pergi untuk bertamu ke “rumah” Tuhan.

Setelah di kampung, biasanya secara sosial dan agama perlakuan terhadap mereka akan berbeda, dihormati dan nama panggilan berganti. Di depan nama, ada tambahan ‘Haji” (laki-laki) atau ‘Hajah’ (perempuan). Setiap ada kegiatan sosial atau agama, biasanya mereka akan disuruh mendoakan atau didudukkan di barisan depan. Karena Mekkah dianggap kota mulya, anggapan serupa juga bagi mereka yang sudah pernah ke sana, diri dan doanya dianggap lebih mulya dan baik. Secara sosial, selain karena manusia memang harus dihormati, penghormatan kepada haji cenderung karena mereka dianggap kaya, maklum karena berhaji memerlukan biaya besar (atau sengaja dibesarkan).

Berhaji Jika Mampu

Berhaji adalah wajib karena termasuk rukun Islam yang terakhir, haji merupakan penyempurna seorang muslim. Meski wajib, kewajiban haji hanya bagi mereka yang mampu. Masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah, biasanya kesempatan berhaji mereka dapatkan setelah menabung bertahun-tahun atau mengikuti undian haji yang diselenggarakan oleh bank. Jika tabungan sudah cukup dan fisik memungkinkan, mereka anggap itu mampu. Minimnya pengetahuan agama (khususnya haji) bukanlah halangan, mereka tetap akan dapat berangkat haji, karena itu dibuatlah manasik haji.

Dalam kepercayaan muslim Melayu, sebagian masyarakat juga meyakini, meninggal di Mekkah adalah sebuah kemulyaan, karena itu terkadang meski umur sudah tua dan fisik tidak memungkinkan, mereka tetap berangkat haji. Dalam konteks ini, mampu dalam syarat haji tampak hanya dimaknai secara materi, asal tabungan cukup.

Bagi masyarakat golongan menengah ke atas apalagi pejabat, berangkat haji adalah sesuatu yang mudah. Berkebalikan dengan masyarakat bawah, golongan menengah ke atas dapat berhaji kapan saja. Bagi pejabat, negara terkadang memberi fasilitas untuk berhaji gratis dan boleh mengajak anak istri. Meski mereka terjerat dalam kasus korupsi atau masalah sosial lainnya (psikis), mereka tetap berhaji. Mampu pada golongan ini tampaknya juga hanya dimaknai secara materi dan fisik.

Jika realitas ini menggambarkan yang sebenarnya, maka kata “mampu” dalam syarat haji tampaknya perlu diredefinisi. Pemaknaan kata “mampu” dari sisi fisik, materi, dan pengetahuan dirasakan sangat sempit, karena mampu secara fisik dapat diperoleh dengan olahraga dan menjaga pola makan. Mampu secara materi dapat diperoleh dengan menabung, dan mampu secara pengetahuan dapat diperoleh dengan membaca (jika mau dan sempat) dan mengikuti manasik haji. Orang Melayu akan menyiapkan secara matang sebelum pergi haji, karena bagi mereka haji adalah sebuah proses “naik kelas”, dari muslim biasa menjadi muslim yang luar biasa.

Mampu Setelah Haji

Berbeda dengan sebelum haji, secara psikologis, sepulang haji biasanya seseorang cenderung lebih longgar dan kurang perhatian terhadap kondisi diri. Haji adalah kualitas spiritual yang memerlukan kehati-hatian saat bersentuhan dengan keduniawian. Ketika keinginan sudah teraih (sudah jadi haji), maka seseorang cenderung akan menjalani hidup dengan apa adanya, toh semuanya sudah teraih dan sudah berhaji.

Dalam konteks ini, maka kata “mampu” dalam syarat haji sebenarnya lebih bermakna kesiapan mental spiritual setelah pulang dari haji, bukan sebelumnya. Kesiapan setelah pulang haji memerlukan usaha yang lebih keras daripada sebelumnya. Nilai kebudayaan Melayu mengajarkan bahwa, marwah seseorang sangat ditentukan oleh proses kehidupannya. Haji dalam hal ini adalah sebuah awalan, bukan akhir. Haji adalah koma, bukan titik, karena sepulang haji mereka akan bersentuhan dengan beragam kepentingan duniawi.

Jadi, syarat berhaji jika “mampu” berarti, mampukah setelah berhaji seseorang menjadi lebih baik dari sebelum haji. Berat bukan?

(Esai ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer