Jodoh

Oleh Empuesa

Jodoh dalam pengetahuan orang Melayu Singapura termasuk dalam konsep Semenda menyemenda yang berarti sistem atau peraturan yang berhubungan dengan pendirian, pengontrolan, dan pemeliharaan masyarakat.

1. Asal-usul

Singapura dalam sejarah dunia digolongkan dalam rumpun Melayu (Omar Amin Husin, 1962; Ismail Hamid, 1988). Tidak heran jika mayoritas penduduk Singapura menganut adat istiadat Melayu warisan dari kerajaan Tumasek yang pernah berkuasa di sana, salah satunya menyangkut pencarian jodoh. Meskipun Singapura sekarang sudah modern, namun adat mencari jodoh masih dipelihara oleh para generasi tua Singapura dan bahkan dijadikan perlawanan terhadap budaya modern. Kondisi ini menjadikan kebudayaan Melayu di Singapura berwarna warni.

Penentuan jodoh dalam kebudayaan orang Singapura dimasukkan dalam tatanan adat semenda menyemenda, yakni sistem atau peraturan yang berhubungan dengan pendirian, pengontrolan, dan pemeliharaan masyarakat. Masyarakat dalam semenda menyemenda terdiri dari tiga unsur, yaitu suami istri, tetangga, dan negara. Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan dan suami istri menjadi unsur paling dasar dan paling penting. Oleh karena itu, adat memilih jodoh dianggap sebagai dasar dalam tatanan sebuah masyarakat Singapura (Muhammad Arief Ahmad, tanpa tahun).

Dalam sejarah masyarakat Singapura, makna kata jodoh dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, yaitu bojo yang berarti suami atau istri (Buyong Adil, 1972). Menurut adat orang Singapura, jodoh diupayakan oleh seorang laki-laki (jejaka) dengan mencari seorang perempuan. Sehingga istilahnya adalah seorang jejaka mencari atau melamar perawan. Seorang laki-laki dianggap wajib mencari istri (jodohnya) jika ia mampu, baik secara mental maupun material (Muhammad Arief Ahmad, tanpa tahun).

Seorang suami dalam kebudayaan Singapura bertugas keluar rumah mencari dan membawa pulang rejeki untuk nafkah istri dan anak-anaknya. Sementara itu, istri tinggal di rumah mengurus, menjaga harta suami, memelihara, dan mengasuh anak-anak di rumah. Maka dari itu, ketika seorang suami memperkenalkan istrinya dia akan berkata “inilah orang rumah saya” (Muhammad Arief Ahmad, 1993).

Sebaliknya, suami digelari “tuan rumah” karena dia tidak sepenuhnya berada di rumah, tetapi pemilik rumah. Hal ini dimaknai sebagai pembagian tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Sehubungan dengan konsep ini, terdapat sebuah pantun ”sayang bini tinggal-tinggalkan, sayang anak tangan-tangankan” (Muhammad Arief Ahmad, 1993).

Dalam kebudayaan Singapura, seorang gadis sebelum menikah biasanya akan dipingit di dalam para (kamar yang biasanya terletak di atas ruang dapur). Karena itu terdapat sebuah kebiasaan di masyarakat, jika seseorang bertanya kepada orang lain apakah dirinya memiliki anak perawan, maka akan dijawab “tengoklah dapurnya” (Syed Alwi Al Hadi, 1960).

Sebagai sebuah kebudayaan yang hingga sekarang masih dipertahankan, meski oleh sebagian kecil generasi tua di perdesaan, tradisi memilih jodoh menjadi sebuah identitas budaya Melayu yang dianggap oleh sebagian pemerhati budaya Melayu sebagai usaha untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tinggi. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihan jodoh ini, perempuan dijadikan sebagai pribadi yang dicari dengan susah payah dan dengan ukuran agama yang melindunginya kelaka setelah berkeluarga (Syed Alwi Al Hadi, 1960). Dalam konteks Indonesia, tradisi memilih jodoh orang Singapura ini mirip dengan tradisi budaya orang Minangkabau (H Idrus Hakimi Dt Rajo Penghulu, 1988).

2. Konsep Jodoh Orang Singapura 

Berikut adalah konsep jodoh menurut orang Singapura yang disarikan dari buku karangan Muhammad Arief Ahmad (tanpa tahun) yang berjudul Nilam, Nilai Adat Melayu, terbitan Majlis Pusat Pertubuhan-pertubuhan Budaya Melayu Singapura.


Orang Melayu Singapura meyakini ada empat perkara dalam kehidupan mereka yang ditentukan oleh Tuhan, yaitu tuah rejeki, jodoh pertemuan, ajal maut, dan tanah kubur. Meskipun demikian, apabila seseorang memiliki anak laki-laki, maka dia berkewajiban mencarikan jodoh baginya.

Dalam kebudayaan Singapura, jodoh dimasukkan dalam konsep tata kelola masyarakat, bahkan menjadi dasar pembentukan masyarakat, semenda atau persemendaan. Jodoh dalam pemahaman orang Melayu Singapura bermakna sesuai atau seimbang. Jodoh diibaratkan cembul dengan tutupnya, tanduk dengan gadingnya, atau cincin dengan permatanya. Pengibaratan ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa suami istri haruslah cocok, karena jika tidak, maka antara cembul dan tutup akan tidak pas dan pasti akan terjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga kelak.

Dalam konsep per-semendaan, jodoh berarti pasangan, yakni suami bagi istrinya dan sebaliknya istri bagi suaminya. Suami istri yang berpasangan lama akan disebut dengan panjang jodohnya. Sebaliknya, suami istri yang tidak lama atau putus di tengah jalan dikatakan sudah habis jodohnya. Istilah ini dianggap sebagai penegas bahwa jodoh sangat ditentukan oleh proses memilih yang dilakukan oleh seorang laki-laki. Jika salah dalam memilih pasangan, maka jodoh akan lari darinya. Dalam konteks ini, bagi orang Singapura, mengikuti anjuran adat dalam memilih jodoh adalah suatu keharusan agar jodoh tak habis.

Anak laki-laki Singapura, biasanya dicarikan jodoh oleh orangtuanya. Dalam mencarikan jodoh untuk anak lelakinya, orangtua Melayu Singapura biasanya akan menyuruh seseorang perisik (mata-mata) untuk memata-matai seorang perempuan dan keluarganya, yang akan dijadikan calon istrinya kelak. Dalam hal ini, terdapat empat hal yang harus dimata-matai dari seorang perempuan, yaitu pengetahuan dan agamanya, ketaatan dan kesetiaannya kepada orangtuanya, pengetahuannya tentang masak, makan, dan mengurus rumah tangga, serta pengetahuannya tentang menjahit, menyulam dan sebagainya.

Setelah melaksanakan tugasnya, perisik kemudian melaporkan hasilnya kepada orangtua anak yang mencari jodoh. Apabila laporan perisik telah diterima, maka orangtua pencari jodoh beserta empat datuk nenek kakeknya (orangtua ibu dan bapak) akan merundingkan beberapa hal yang berhubungan dengan usaha untuk mengenal lebih jauh perempuan tersebut. Hal ini dianggap penting agar tidak salah dalam memilih jodoh.

Proses pengenalan mula-mula diawali dengan bertamu ke rumah perempuan untuk bersilaturahmi dan menanyakan langsung tentang hal-hal yang belum jelas kepada orangtua perempuan tentang anak mereka. Ketika proses silaturahmi berlangsung, biasanya sang perempuan akan memperlihatkan diri sambil menyuguhkan minuman dan hidangan. Hal ini ditujukan agar orang tua pencari jodoh dapat menilai secara langsung sang perempuan secara fisik dan sikapnya.

Selama proses silaturahmi ini, pembicaraan dilakukan dengan bahasa pepatah petitih atau berupa pantun, contohnya seperti berikut:

Orangtua lelaki pencari jodoh akan bertanya:
Hisap rokok tembakau Cina, keluar asap seperti bunga;
Duhai Cik Puan numpang bertanya, kembang di taman sudahkah berpunya?
Selanjutnya orangtua sang perempuan akan menjawab:
Keluar asap seperti bunga, bunga bentuk kembang Melati;
Sesungguh benar puan bertanya, hajat apakah di dalam hati?
Isyarat bahwa sang perempuan masih belum ada yang punya, biasanya akan dijawab dengan pantun;
Cenderawasih tinggi di awan, jatuh seekor patah sayapnya;
Bunga di taman ada bertuan, mohon diminta restu Tuannya.
Dalam kebudayaan orang Singapura, ketika proses pengenalan ini terdapat kepercayaan-kepercayaan tertentu jika hal-hal di bawah ini terjadi;
  • Jika rombongan pencari jodoh tiba di rumah orangtua sang perempuan bertepatan dengan sang perempuan sedang mandi atau mencuci, maka itu dipercaya jodoh keduanya sejuk, senantiasa aman, rukun dan damai.
  • Jika rombongan datang ketika sang perempuan sedang membaca Al quran, maka dipercaya jodoh keduanya akan bahagia dan mendapat lindungan Tuhan.
  • Jika rombongan tiba ketika sang perempuan sedang memasak di dapur, maka jodoh keduanya diartikan “panas” atau akan bermasalah. Jika hal ini terjadi, maka orangtua pencari jodoh akan meminta petunjuk pawang raksi (ahli agama) apakah lamaran dapat diteruskan atau tidak.
  • Jika rombongan pencari jodoh baru keluar rumahnya, namun tiba-tiba ada ranting atau dahan yang jatuh di depan mereka, maka mereka akan membatalkan proses perkenalan kerena dipercaya tidak akan mendatangkan kebajikan.
Setelah melaksankan proses perkenalan lebih jauh, keluarga pencari jodoh biasanya akan berunding kembali dengan meminta nasehat dan masukan dari pawang raksi tentang nasib, kendala, rejeki, dan keturunan pasangan kelak, jika nanti persemendaan dilanjutkan. Pawang raksi biasanya akan meramalkan dari nama kedua pencari jodoh dan sang perempuan. Jika dalam ramalan pawang raksi didapatkan kesimpulan bahwa persemendaan dapat dilanjutkan namun ada halangan, maka halangan tersebut harus diselesaikan lebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar seperti pepatah; biar putus sebelum bertemu, jangan putus sesudah bersatu. Biar ditinggal sebagai anak dara, daripada meninggal setelah jadi janda.

Jika menurut pawang raksi bahwa persemendaan dapat diteruskan, maka proses selanjutnya adalah melakukan lamaran. Proses lamaran diawali dengan urutan sebagai berikut:
  • Mengetuk pintu tempat semenda, yakni orangtua pencari jodoh menemui orangtua sang perempuan dan menyampaikan niatnya untuk melamar. Orangtua sang perempuan harus menjawab, siapa bakal orang semendanya dan siapa perempuan tempat semenda yang dihajatinya. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan di kemudian hari, karena bisa jadi sang perempuan memiliki beberapa saudara perempuan.
  • Gayung bersambut, kata menjawab, yakni orangtua sang perempuan melakukan penyelidikan terhadap calon semenda anaknya mengenai, apakah calon semenda seorang dewasa yang sempurna akal fikirnya, taat terhadap agama, tidak cacat tubuhnya, tidak mengidap penyakit yang luar biasa, sudah memiliki pekerjaan yang cukup, bersedia dan sanggup menjadi suami, dan mampu adil dalam memelihara anaknya. Dalam proses ini, terdapat pepatah Melayu biar lambat asal selamat, artinya orangtua sang perempuan tidak cepat-cepat memberikan jawaban kepada keluarga pencari jodoh.
  • Sudah gaharu cendana pula, artinya orangtua sang perempuan memberikan persetujuan lamaran tersebut, yaitu dengan melakukan kunjungan ke rumah orangtua pencari jodoh. Dalam kunjungan tersebut, biasanya tidak langsung dibicarakan tentang lamaran, akan tetapi justru membicarakan hal yang lain. Meskipun demikian, dalam kebudayaan Singapura dipahami bahwa, kunjungan balasan itu sudah merupakan persetujuan atau isyarat diterimanya lamaran, karena jika tidak diterima, maka orangtua sang perempuan tidak akan berkunjung. Bahkan, keluarga pencari jodoh justru berkunjung ke rumah orangtua sang perempuan menanyakan lamaran mereka, dan dengan seribu dalih, biasanya mereka menolak.
  • Kerbau dipegang ekornya, manusia dipegang lidahnya, artinya setelah lamaran disetujui, kedua orangtua jejaka dan perawan saling berdoa dan berucap syukur. Selepas itu, mulailah dibincangkan perkara-perkara yang berhubungan dengan pertunangan dan dibuatlah perjanjian mengenai maskawin, duit sirih atau jajan, pakaian hari raya, uang hantaran, dan waktu meresmikan pertunangan. Perjanjian tidak buat secara tertulis, akan tetapi hanya saling percaya.
  • Bertukar cincin dan berbalas-balas hadiah, yakni pihak pencari jodoh menghantarkan cincin tanda dengan beberapa barang persembahan sebagai tanda bahwa antara pelamar (jejaka) dan yang dilamar (perawan) resmi ditunangkan. Kebudayaan Singapura mengharuskan pertunangan dilakukan, karena jika menikah namun tidak didahului dengan pertunangan, maka akan menimbulkan fitnah. Meskipun demikian, adat juga memaklumkan bahwa pertunangan bukan menjaminkan pernikahan keduanya pasti akan terjadi, karena adat tetap mengembailkan kepada keyakinan dasar mereka bahwa rejeki, jodoh, ajal, dan hidup di tangan Tuhan.
3. Pengaruh Sosial 

Pengetahuan orang Singapura tentang jodoh, melukiskan bagaimana kebudayaan Melayu sangat detil. Dalam kehidupan sosial, pengetahuan ini berpengaruh pada beberapa hal, antara lain:

  • Menguatnya iman kepada Tuhan. Keyakinan bahwa rejeki, jodoh, ajal, dan hidup di tangan Tuhan, menjadikan adat memilih jodoh sebagai media untuk menguatkan iman mereka terhadap Tuhan. Tuhan menjadi sandaran puncak dari setiap usaha mereka mencari jodoh. Hal ini selaras dengan pepatah Melayu adat bersendi syarak, syarak bersendi agama.
  • Menguatkan solidaritas sosial. Adat mencari jodoh yang terlihat sangat rinci dan rumit di atas, sebenarnya mencerminkan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi hal penting yang memerlukan perhatian serius. Dimasukkannya unsur suami istri sebagai salah satu unsur semenda menyemenda menunjukkan bahwa jodoh adalah modal dasar sebuah masyarakat Singapura berdiri. Benar dalam memilih akan berakibat pada baiknya masyarakat dan secara tidak langsung adat memilih akan menguatkan solidaritas sosial jika dilakukan dengan benar.
  • Pelestarian tradisi budaya Melayu. Melayu dikenal sebagai suku yang memiliki tradisi budaya yang tinggi dan unik. Sendi-sendi kehidupan manusia hingga yang paling detil, seperti benda-benda yang harus dibawa ketika melamar telah diatur oleh leluhur Melayu agar kehidupan mereka dapat berjalan dengan seimbang. Pelaksanaan adat memilih jodoh di zaman modern ini tentu saja merupakan usaha agar budaya Melayu tetap lestari dan terpelihara.
  • Pelestarian sastra Melayu. Pengaruh ini terlihat jelas dari penggunaan pantun dan pepatah petitih Melayu saat proses pengenalan lebih jauh terhadap seorang perempuan. Tradisi ini tentu saja ikut menyumbang pelestarian terhadap sastra Melayu. Bagaimanapun, sejak dulu memang sastra Melayu hidup dalam adat-adat Melayu yang digelar oleh masyarakat pendukungnya, seperti dalam pernikahan.
  • Menumbuhkan kreatifitas dalam bidang seni. Tradisi memilih jodoh ini dalam perkembangannya ternyata berpengaruh terhadap tumbuhnya kreatifitas seni masyarakat dalam menghias dan mengemas benda-benda yang dijadikan syarat lamaran. Hadiah-hadiah biasanya akan dibungkus dengan kertas-kertas yang mengkilap dan warna-warni. Tidak itu saja, bungkus hadiah persembahan lamaran biasanya akan dibentuk macam-macam, seperti ditambah hiasan kepala Panda atau Ular.
4. Penutup 

Pengetahuan orang Singapura terhadap jodoh menggambarkan betapa kebudayaan Melayu menempatkan kehidupan keluarga sebagai bagian kehidupan yang serius untuk disikapi. Keluarga secara tidak langsung menjadi tiang masyarakat atau negara, karena rusaknya keluarga akan berefek negatif terhadap keberlangsungan sebuah negara. Akan tetapi, ketika saat ini Singapura sudah modern, banyak dari penduduknya sudah tidak lagi mempraktekkan tradisi semenda ini. Dalam konteks ini, menjadi tugas para pemerhati budaya Melayu agar menjadi orang yang pertama sebagai pelestari budaya Melayu. 

(Opini ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Buyong Adil, 1972. Sejarah Singapura. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  • H Idrus Hakimi Dt Rajo Penghulu, 1988. Pokok-pokok Pengetahuan adat alam Minangkabau. Bandung: CV Rosda Karya.
  • Omar Amin Husin, 1962. Sejarah bahasa dan bangsa Melayu. Malaysia: Pustaka Antara.
  • Ismail Hamid, 1988. Masyarakat dan budaya Melayu. Malaysia: Dewan bahasa dan pustaka.
  • Muhammad Arief Ahmad, tanpa tahun. Nilam, nilai adat Melayu. Singapura: Majlis pertubuhan-pertubuhan budaya Melayu Singapura.
  • Muhammad Arief Ahmad, 1993. Bicara tentang adat dan tradisi. Singapura: Pustaka Nasional.
  • Syed Alwi Al HAdi, 1960. Adat resam dan adat istiadat Melayu. Malaysia: Art printing works.

Komentar

Postingan Populer