Kekuasaan dalam Pengetahuan Suku Dayak Kalis, Kalimantan Barat

Kekuasaan dalam pengetahuan suku Dayak Kalis diperoleh melalui tuturan lidah para tetua adat (ulu kampung, ulu banua) dan kemudian diejawantahkan dalam bentuk aturan adat tentang kepemimpinan adat
 
1. Asal-usul

Suku Dayak Kalis adalah salah satu sub suku Dayak yang hidup di pedalaman hutan Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu (J.U. Lontaan, 1975). Suku ini dikenal sebagai salah satu Dayak yang masih berpegang teguh pada adat istiadat leluhur mereka hingga kini, salah satunya dalam melaksanakan pengetahuan mereka tentang kekuasaan. Dalam pengetahuan Dayak Kalis, kekuasaan dipegang oleh orang-orang tertentu yang dipilih secara adat. Pengetahuan ini membuktikan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, karena dianggap melanggar adat.

Manusia selalu terikat dengan kebudayaannya, karena kebudayaan yang mengajarkan manusia untuk berkembang menapaki kehidupan selanjutnya (Alfian, 1985). Menurut sejarah tentang leluhur Dayak Kalis, pengetahuan tentang kekuasaan diperoleh dari ajaran nenek moyang mereka secara tidak tertulis melalui tuturan lidah para tetua adat (ulu kampung, ulu banua). Dalam perkembangannya, pengetahuan tersebut diejawantahkan dalam sebuah aturan adat yang mengatur tentang kepemimpinan adat. Aturan ini telah mereka taati hingga kini dan secara tidak langsung pengetahuan ini terus terpelihara (Lisyawati Nurcahyani, 2008).

Masih menurut Lisyawati Nurcahyani (2008), kekuasaan dalam pengetahuan orang Dayak Kalis tertumpu pada satu orang yang memimpin satu wilayah tertentu. Dalam hal ini terdapat empat wilayah Kalis, yaitu dusun yang dipimpin oleh Toa Banua, desa yang dipimpin oleh Kepala kampung, Katumanggungan yang dipimpin oleh Tamunggung atau Temenggung, dan daerah yang lebih luas yang dipimpin oleh dewan kehormatan. Keempat pemimpin tersebut bertugas menerima, menolak, dan memutuskan perkara sesuai hukum adat Dayak Kalis.

Pengetahuan ini mencirikan identitas kepemimpinan suku Dayak keseluruhan (Yekti Maunati, 2006). Kepemimpinan adat ini tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, kecuali memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu warga asli suku Dayak Kalis yang berdomisili dalam wilayah Katumanggungan, umur minimal 35 tahun atau sudah menikah, tidak terlibat atau sedang terlibat masalah pelanggaran hukum baik hukum adat maupun nasional, memahami hukum adat Dayak Kalis, dapat membaca dan menulis bahasa Indonesia, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hampir dalam keseluruhan suku Dayak di Kalimantan Barat, hukum adat telah menjadi identitas yang melekat dari corak kehidupan mereka. Namun, sungguh sangat disayangkan, ketentraman hidup mereka dalam mengikuti hukum adat sempat terkoyak oleh komodifikasi yang dilakukan oleh penguasa tertentu, baik negara maupun pemilik Hak Penguasaan Hutan (HPH). Kasus yang nyata adalah pemaksaan negara yang mengharuskan orang Dayak mencantumkan stastus keagamaan mereka pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka sesuai dengan lima agama yang diakui pemerintah, padahal agama mereka adalah agama kepercayaan (Yekti Maunati, 2006). Dalam konteks ini, pengetahuan suku Dayak Kalis tentang kekuasaan ini harus diakui apa adanya, sebagai wujud perlindungan pada kebudayaan suku di pedalaman.

Pulau Kalimantan memiliki alam yang luas, indah, dan kaya. Semua makhluk hidup yang ada di dalamnya telah terikat dalam satu kebudayaan dan satu lingkungan yang utuh (Alfred Russel Wallace, 1986). Kekayaan alam hutan Kalimantan telah mengajarkan Suku Dayak Kalis bagaimana menyikapi hidup. Alam hutan Kalimantan dalam hal ini telah memberikan pengetahuan kepada mereka bagaimana menempatkan kekuasaan dalam konteks kepemimpinan adat. Melalui pengetahuan ini, suku Dayak Kalis tampak begitu lekat dengan adat istiadat leluhur.

2. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan dalam pengetahuan suku Dayak Kalis, Kalimantan Barat dipegang oleh orang-orang tertentu yang dipilih secara adat. Ketetapan ini terdapat dalam hukum adat yang harus ditaati oleh seluruh warga suku. Bagi mereka yang tidak menaati perintah orang-orang terpilih tersebut, maka dianggap melanggar adat dan harus dikenai sangsi adat. Kekuasaan orang Dayak Kalis tertumpu pada empat pihak yang disebut pemangku adat, yaitu Toa Banua, Kepala kampung, Tamunggung atau Tumenggung, dan dewan kehormatan. Keempat pemangku adat tersebut secara umum bertugas menerima, menolak, dan memutuskan perkara hukum adat Dayak Kalis. Secara khusus, mereka melaksanakan kepemimpinan adat di wilayah masing-masing.

a. Toa Banua atau Toa Adat
Toa Banua atau Toa Adat bertugas melaksanakan persidangan di tingkat dusun (tingkat pertama) dari daerah tersangka. Hal-hal yang harus dilakukannya adalah:
  • Mempersiapkan perkara setelah menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat yang berperkara
  • Menyidangkan dan meneliti dengan seksama keterangan penggugat dan tergugat serta mendengarkan saksi-saksi
  • Memutuskan atau menolak perkara sesuai dengan kewenangannya dalam adat
  • Membuat keputusan tertulis yang ditandangani sendiri.
b. Kepala Kampung
Kepala kampung bertugas melaksanakan persidangan di tingkat desa (banding), dengan dibantu oleh Toa Banua dari daerah tersangka. Dalam hal ini, kewajiban ketua kampung adalah sebagai berikut:
  • Menerima perkara banding dari tingkat Banua
  • Memeriksa dan mendengar kembali keterangan penggugat dan tergugat serta mendengarkan saksi-saksi
  • Memutuskan atau menguatkan putusan Toa Banua dan atau menolak perkara banding sesuai dengan kewenangannya dalam adat
  • Membuat keputusan tertulis yang ditandangani sendiri.
c. Tamunggung atau Temenggung
Tamunggung atau Temenggung bertugas melaksanakan persidangan adat tertinggi di tingkat Katumanggungan Kalis. Dalam melaksanakan tugas ini, Tamunggung dibantu oleh kepala kampung dan Toa Banua dari daerah tersangka. Dalam hal ini, yang harus dilakukan Tamunggung adalah sebagai berikut:
  • Menyidangkan, menerima, dan mempelajari putusan kepala kampung
  • Memeriksa dan mendengar kembali keterangan penggugat dan tergugat serta mendengarkan saksi-saksi
  • Memutuskan atau menguatkan putusan Toa Banua dan atau menolak perkara banding sesuai kewenangannya dalam adat
  • Membuat keputusan tertulis yang ditandangani sendiri.
d. Dewan Kehormatan
Dewan Kehormatan adalah lembaga yang menangani perkara ketika Katumanggungan tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dewan kehormatan ini diisi oleh tujuh orang yang dipilih secara adat oleh pemangku adat.

3. Pengaruh Sosial
Pengetahuan suku Dayak Kalis tentang kekuasaan dalam praktek turut mempengaruhi kehidupan sosial mereka, antara lain:
  • Keteraturan dan ketertiban sosial. Dalam kebudayaan Dayak Kalis, kekuasaan pemimpin yang diberikan adat dianggap sebagai amanat adat dan sosial. Dengan demikian, pelaksanaan amanat tersebut secara otomatis akan menciptakan keteraturan sosial. Dalam konteks ini, peletakaan kekuasaan dalam aturan adat memiliki makna agar pemimpin serius menjalankan tugasnya, karena jika tidak maka pemimpin dianggap melanggar adat dan harus diberi sangsi adat. Sementara itu, masyarakat juga harus serus menaati adat, karena jika tidak juga dikenakan ancaman sangsi adat yang ketat. Pada sisi lain, pengetahuan ini juga berefek pada ketertiban sosial, karena segala permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan baik dan tertib.
  • Status sosial. Bagi para pemangku adat, pengetahuan ini berefek pada meningkatnya status sosial mereka. Di masyarakat manapun, pemimpin memiliki posisi dan diposisikan secara berbeda dengan masyarakat umum. Dalam kehidupan sosial, mereka akan dihormati dan dihargai karena status sosial mereka. Namun, hal ini akan terjadi jika para pemimpin tersebut dapat menjalankan kekuasaannya sesuai dengan aturan adat yang ada, jika tidak maka sebaliknya justru status tersebut menjadi beban sosial.
  • Lestarinya ajaran leluhur. Pengetahuan ini didapatkan dari ajaran leluhur Dayak Kalis, dengan demikian pelaksanaan pengetahuan ini secara tidak langsung merupakan wujud suku Dayak Kalis dalam melestarikan ajaran leluhur. Bagi masyarakat umum, dalam konteks pelestarian tradisi suku-suku di pedalaman, hal ini penting untuk apresiasi, karena hanya melalui pengetahuan dan hukum adat, keberadaan suku di pedalaman dapat bertahan dari gempuran zaman.
  • Media perbandingan antara hukum adat dan nasional. Keberadaan pengetahuan ini secara khusus dapat menjadi media perbandingan antara hukum adat dengan hukum nasional (UUD 45). Perbandingan ini penting untuk dilakukan, agar tercipta sebuah sikap saling memahami antara suku Dayak Kalis dan pemerintah. Pemahaman bersama dirasa penting karena keduanya memiliki kewajiban dalam menjaga ketertiban adat dan nasional.
5. Penutup
Pengetahuan suku Dayak Kalis tentang kekuasaan ini menyiratkan betapa mereka adalah orang-orang yang memiliki leluhur yang pandai dan bijak, jauh dari anggapan orang modern tentang suku di pedalaman yang terbelakang. Kekuasaan yang diejawantahkan dalam aturan adat menjadi pengikat yang kuat dalam mereka menjalani kehidupan. Sebaliknya, pengetahuan ini justru menandakan bahwa suku Dayak Kalis adalah suku yang “modern” karena telah memiliki aturan yang rinci jauh sebelum Indonesia merdeka. 
(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)
Referensi
  • Alfian, 1985. Persepsi manusia tentang kebudayaan. Jakarta : Gramedia
  • Alfred Russel Wallace, 1986. Kepulauan nusantara. Sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
  • Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka
  • J.U. Lontaan, 1975. Sejarah hukum adat dan adat istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumi Restu.
  • Tjilik Riwut, 2003. Sanaman mantikei manaser panatau tatu hiang. Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima
  • Liscyawati Nurcahyani, 2008. Pemetaan suku Dayak Kalis di Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelesatrian Sejarah dan Nilai Tradisional.
  • Yekti Maunati. 2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS

Komentar

Postingan Populer