Menjadi “Putih”

Oleh Empuesa

Jumat, 5 November 2010 itu, debu putih keabuan menghambur deras ke kota Yogyakarta. Abu putih itu memenuhi jalan raya dan menempel di genteng-genteng rumah penduduk. Penduduk pun berujar "wah udan awu jogja putih kabeh" (wah hujan abu Jogja putih semua). Hari itu, penerbangan dari dan menuju ke Yogyakarta dibatalkan hingga waktu yang tidak ditentukan. Dunia pariwisata pun bersedih. Namun, dibalik peristiwa itu, kata putih setelah kata abu menyiratkan sebuah asa di masa depan. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka 2000, kata putih diartikan dari tiga sisi. Pertama, putih berarti warna dasar yang serupa dengan warna kapas atau baju dinas perawat. Putih juga berarti mengandung atau memperlihatkan warna yg serupa warna kapas. Dalam konteks ini, putih dimaknai sebagai sesuatu yang merujuk pada salah satu warna yang dianggap baik. Perawat adalah pekerjaan baik dan kapas sering dihubungkan dengan hati yang baik. Hatinya seputih kapas.

Kedua, putih berarti murni, suci, dan tidak ternoda. Dalam konteks ini, putih dartikan dengan merujuk pada makna kata putih itu sendiri. Pengambilan makna ini tampaknya disesuaikan dengan umumnya masyarakat menggunakan warna putih, misalnya air putih (meskipun sebenarnya bening tanpa warna) yang umumnya diartikan murni. Warna bendera Indonesia merah putih, putih dalam bendera kita diartikan suci. Baju para jamaah haji atau orang salat yang putih, umumnya diartikan suci dan tidak ternoda, karena baju tersebut untuk ibadah, maka jangan sampai ada noda pemakainya (baca: dosa, kebencian, atau sifat buruk lainnya).

Dalam konteks arti ini pula, putih dianggap sebagai kebalikan dari hitam yang diartikan kotor, tidak jujur, jahat, gelap, dan dendam. Dalam konsep agama, setan, jin jahat, hantu jahat, atau iblis, dianggap sebagai makhluk yang hidup di dunia gelap karena perbuatannya yang selalu menggoda dan menyesatkan manusia agar masuk dunia hitam (kegelapan).

Para dukun yang suka mempraktekkan santet, teluh, atau guna-guna, dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu hitam (buruk). Sebaliknya para ulama yang menekuni dzikir, doa, berpasrah pada Tuhan dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu putih (baik). Meskipun demikian, jika putih dan hitam berada dalam satu wujud (manusia) justru dianggap sebuah kebaikan, karena saling melengkapi. Manusia tidak akan bisa lepas dari putih dan hitam. Kosmologi Cina mengabadikan kedua warna itu dalam pengetahuan Yin Yang dengan simbol bulatan yang terbagi dalam dua warna, hitam dan putih.

Dalam teori Antropologi budaya menurut aliran positivistik dipahami bahwa, setiap perilaku manusia (kebudayaan) selalu memiliki dua dimensi yang pasti akan selalu berpasangan (binnary oposistion). Akibatnya, manusia selalu mempersepsikan perilakunya dalam dua garis lurus (lineer), umumnya adalah dihukumi baik dan buruk. Teori ini tidak mengangap bahwa perilaku manusia dapat dihukumi setengah baik, seperempat buruk, setengah baik atau setengah buruk, atau tigaperempat baik. Konsep agama tampaknya tidak terlalu jauh dengan konsep ini dalam menghukumi perbuatan manusia (dogmatis).

Dalam kehidupan sosial, konsep oposisi yang selalu berpasangan seperti baik buruk ini, selanjutnya dikuatkan dengan pengetahuan manusia dalam memposisikan arah, seperti atas bawah, kiri kanan, utara selatan atau barat timur. Masyarakat terkadang juga ikut latah sehingga pagi sore, siang malam juga dianggap berpasangan.

Ketika bencana alam seperti meletusnya gunung Merapi atau gempa dan tsunami di Mentawai menerjang Indonesia, melalui konsep ini, sebagian manusia menganggap bahwa ini adalah teguran untuk manusia (buruk) dari tuhan (baik). Bencana alam adalah simbol kemarahan Tuhan (baik) karena perbuatan manusia (buruk). Dalam kondisi seperti ini, manusia (buruk/hina) dituntut untuk memohon ampun kepada Tuhan (baik) atas perbuatannya.

Arti kata putih ketiga dalam bahasa Indonesia adalah pucat (wajah). Dalam konteks ini, putih dimaknai selaras dengan warna putih yang cerah pada wajah (sehat), adapun wajah yang putih tidak cerah dianggap sakit. Tidak heran jika dalam dunia kedokteran terdapat sebuah penyakit bernama keputihan.

Jogja “Putih” 

Saat kota Yogyakarta dipenuhi abu Merapi berwarna putih keabuan, masyarakat pun bergotong royong membersihkannya dari rumah-rumah mereka, dan para pengguna jalan menjadi sibuk mempesenjatai diri dengan masker serta memperlambat laju kendaraannya. Dalam kondisi ini, saya tidak melihatnya sebagai sebuah bencana, tetapi putih adalah simbol sebuah asa.

Sedari mula, Yogyakarta didirikan untuk sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan masyarakat yang tidak hanya menghormati pemimpin dan manusia, tetapi juga alam sekitar tempat tinggal. Abu putih keabuan yang dikirim Merapi dapatlah dianggap sebagai simbol kembalinya manusia Jogja dalam “putih”. Manusia yang siap bergerak maju dalam kebersamaan dan keadilan. Back to nature and culture.

Kebaikan yang selama ini dimiliki oleh kota Yogyakarta (budaya, toleransi, pendidikan, kesenian) semoga melahirkan manusia-manusia baru yang lebih maju, dinamis, percaya diri, tidak mudah putus asa, dan berkepribadian. Ketika gempa bumi melanda Yogyakarta bagian selatan, manusia Yogyakarta cancut taliwondo (bergerak cepat) melawan putus asa. Mereka bangkit kembali membangun kampung dan keluarganya. 

Sejurus dengan itu, ketika Merapi mengirimkan abu putih, maka itu adalah perangsang semangat untuk terus “memutih” (menjadi putih). Putih untuk Yogyakarta dan semua.


Jogja, 10 November 2010










Komentar

Postingan Populer