Semua Bisa Jadi Guru

Oleh Empuesa 

Kata guru diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti orang yang tinggi ilmunya dan luhur budi pekertinya. Dalam bahasa Jawa, guru sering dianggap sebagai perpendekan dari digugu lan ditiru, ditaati dan ditiru. Dan peribahasa Melayu menulis “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. 
 
Guru adalah pendidik. Mengajar orang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa membetulkan atau menyalahkan sesuatu menjadi bisa. Singkatnya guru membebaskan manusia dari semua ketidaktahuan, termasuk terhadap dirinya sendiri. Siapa yang tidak “mengenal” diri sendiri berarti dia tidak “mengenal” Tuhannya. Sebaliknya, jika dapat “mengenal” diri sendiri, pasti dia akan “mengenal” Tuhannya, begitu kata orang-orangtua Melayu. Karena itu, orang Melayu meletakkan posisi guru sangat tinggi dan luhur. Ibarat matahari yang menerangi bumi. Meski nasibnya tak seterang pengetahuan dan pengorbanan yang diberikannya.

Ketika negeri ini masih dalam belenggu kolonial, peran guru sangat berarti. Jepang sempat membubarkan semua organisasi guru, namun bangkit lagi saat kemerdekaan. Sekarang peran guru semakin penting, meski Indonesia tidak lagi dijajah bangsa asing, namun ternyata ada “orang Indonesia asing” yang menjajahnya.

Kini hari guru jatuh pada 25 November. Pada setiap tanggal ini, semua guru diwajibkan untuk mengikuti upacara bendera, tujuannya untuk mengenang dan menghormati jasa guru. Upacara biasanya diadakan di halaman kantor-kantor pemerintahan, Bupati, Gubernur, atau halaman sekolah-sekolah. Para guru akan memakai seragam yang rapi dengan warna sama, putih bercorak batik garuda.

Di hari guru ini, aku akan berkisah tentang guruku, namanya Nasuchah. Aku dan umumnya teman-temanku memanggil Bu Nas. Namun temanku yang nakal suka memanggilnya Bu Suk. Bu Nas mengajar Akidah Akhlak atau dalam bahasa Melayu berarti budi pekerti. Meski rujukannya dari ajaran Islam, tidak jarang Bu Nas memasukkan budi pekerti Melayu atau dari budaya lain. Menurutnya semua ajaran budi pekerti baik, dari mana pun asalnya.

Nama Nasuchah dalam bahasa Arab berarti “sungguh-sungguh”. Menurut orang Melayu semua nama dari bahasa Arab dianggap baik, mungkin begitu juga maksud orang tua Bu Nas menamainya. Dan memang Bu Nas kelak sungguh-sungguh menjadi guru yang disenangi oleh murid-muridnya karena kebaikannya, termasuk aku.

Bu Nas baik dalam menjelaskan, memberi nilai, dan memberi izin tidur di kelas dan tidak masuk jika kami malas atau capek. Bu Nas juga baik saat memberi nasehat jika kami nakal, biar dia guru dia tidak menggurui, tapi mengajak kami berpikir. Sikap ini yang selalu kukenang dari Bu Nas. Meskipun demikian, orang sebaik Bu Nas masih suka dijahili oleh teman-temanku yang nakal.

Di depan sekolahan kami terdapat kuburan desa. Tanah dan aura kuburan kata orang-orang desa menyebabkan ngantuk. Jika teman-temanku yang nakal itu malas dengan pelajaran Bu Nas, mereka akan mengambil tanah kuburan dan meletakkannya di bawah meja guru. Saat Bu Nas mengajar, tidak lama dia akan menguap berulang-ulang, mata sipitnya akan semakin kecil, tanda mengantuk. Jika hal ini terjadi, Bu Nas akan membubarkan kelas lebih cepat, murid-murid pun berteriak gembira.

Bu Nas berkulit coklat yang lama-lama hitam tersengat matahari. Wajahnya lonjong, tidak ada kalung di lehernya, cincin di jarinya, dan gelang atau jam di tangannya. Rambut Bu Nas dibiarkan terurai, selalu di potong sebahu, meski sekolah kami sekolah Islam (madrasah), tapi Bu Nas tidak berjilbab. Pihak sekolah tidak melarangnya, tapi suka menyindirnya dalam rapat-rapat sekolah, kenapa Bu Nas tidak berjilbab padahal wajib. Bu Nas selalu menjawabnya dengan santun, saya belum siap berjilbab, katanya.

Bu Nas setiap hari bersepeda ke sekolah, padahal jarak rumahnya sekitar 25 kilometer dari sekolah kami. Bu Nas berangkat pukul 5 pagi dan tiba pukul 6.30. Sebelum jam 5 Bu Nas sudah harus bangun, menanak nasi, mencuci piring, dan tidak lupa membuatkan kopi untuk suaminya. Pada saat hari guru seperti ini, Bu Nas biasanya akan diliburkan oleh anak-anak dan suaminya dari pekerjaan rumah. Anak-anak Bu Nas dan suaminya akan mencium tangan dan kening Bu nas, mereka menghormati Bu Nas sebagai guru di rumah.

Pada saat aku akan ujian akhir, Bu Nas membimbingku khusus pelajarannya. Bukan karena apa-apa, tapi karena aku mirip anaknya, kurus dan kasihan. Aku juga pernah diberi uang sama Bu Nas, waktu karena Bu Nas melihatku duduk sendirian di kelas, sementara teman-temanku jajan.

Kasih Bu Nas sebenarnya tidak hanya sama aku saja, ketika si Ahmad, murid paling bandel di kelasku muntah mie ayam, Bu Nas mengeroki punggung Ahmad. Kamu masuk angin Mad, kata Bu Nas lembut.

Saat itu, aku aku melihat bu Nas tidak hanya seorang guru, tapi juga ibu bagi kami semua.
Saat kami lulus dan akan meninggalkan sekolah, Bu Nas menemui kami. Bu Nas berpesan agar menjaga budi pekerti di mana pun berada dan kepada siapapun berhadapan. Jangan pernah membeda-bedakan orang dari sisi apapun. Bergaulah dengan siapa saja, karena tidak hanya guru yang berilmu. Semua biasa jadi guru.

Selamat hari guru. 

(Esai ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

















Komentar

Postingan Populer