Sungai dan Kebudayaan Manusia

Oleh Empuesa

Sejak dulu hingga kini, sungai telah melahirkan corak kebudayaan manusia yang unik dan eksotis. Teori arkeologi dan antropologi mencatat bahwa sedari dulu sejak zaman prasejarah hingga sekarang, manusia selalu mencari daerah aliran sungai untuk membangun permukiman mereka, karena air dianggap sebagai sumber kehidupan. Tidak heran jika, para arkeolog banyak menemukan tulang belulang manusia purba di sekitar daerah aliran sungai, seperti Homo Soloensis yang ditemukan di tepian sungai Bengawan Solo.

Tinggal di sekitar aliran sungai dianggap manusia sebagai pilihan yang tepat karena ketergantungan manusia terhadap air sangat tinggi. Selain memanfaatkan airnya, pada masa lampau, manusia menjadikan sungai sebagai tempat untuk mencari ikan. Dengan menggunakan tombak, manusia zaman dulu mencari ikan di sungai-sungai yang airnya masih bersih dan tidak tercampur polusi. Bagi orang Dayak, kelihaian menombak ikan yang berenang dianggap sebagai sebuah keahlian yang luar biasa, selain memanah atau menulup binatang buruan.

Pada perkembangannya, ketergantungan manusia dengan air semakin bertambah. Meskipun air sungai sekarang terlihat kotor (apalagi di perkotaan), berwarna hitam, dan berbau, namun masyarakat (terpaksa) menggunakan air sungai untuk minum, buang air, mencuci, atau mandi. Sebagian ahli lingkungan berpandangan bahwa saat ini telah terjadi krisis air bersih. Sementara itu, budayawan menganggap yang terjadi adalah krisis kemanusiaan, karena di bagian bumi lain manusia menggunakan air secara berlebihan.

Pada zaman modern, kebudayaan manusia menemukan bahwa air sungai ternyata dapat dibendung dalam waduk. Air dapat dimanfaatkan untuk mengaliri sawah ketika kemarau menyerang. Namun, masalah datang lagi, ketika kemarau berkepanjangan akibat perubahan iklim karena ulah manusia menggunakan energi berlebihan sehingga merusak lapisan atmosfir bumi, waduk juga ikut kering. Manusia pun dituntut untuk menghemat air.

Pada masyarakat yang hidup di lereng pegunungan dan pedalaman, pemerintah (sengaja) mengalami kesulitan dalam membangun jaringan listrik. Dalam kondisi keterbatasan tersebut, kebudayaan manusia menemukan bahwa air gunung ternyata dapat dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Air dialirkan melalui pipa-pipa lalu dikumpulkan dalam sebuah kolam. Pada kolam dipasang mesin turbin untuk mengubah energi air menjadi listrik. Energi listrik lalu dialirkan melalui kabel-kabel yang ditopang dengan bamboo atau kayu ke rumah-rumah penduduk.

Ketika zaman semakin modern, ketergantungan manusia pada sungai ternyata tidak berbanding lurus dengan sikap manusia terhadap sungai dan lingkungannya. Sebaliknya, manusia justru lupa bahwa seharusnya menghargai sungai yang telah lebih dahulu ada di dunia daripada dirinya. Kekuasaan manusia yang berlebih menjadikan sungai sebagai tempat untuk membuang sampah, membuang limbah, dan dibiarkan tanpa perawatan. Akibatnya, air sungai meluap hingga ke permukiman penduduk, lalu terjadilah banjir. Anehnya, karena sudah sering terjadi, banjir tidak dianggap sebagai sebuah bencana, tetapi sebuah kewajaran dan kebiasaan.

Belajar dari Code
 
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka tahun 2000 mengartikan sungai sebagai aliran air yang besar (biasanya buatan alam). Sungai dapat dilayari sampai ke pedalaman. Arti ini menjelaskan bahwa sungai tercipta dengan sendirinya melalui proses alamiah. Dalam konteks ini, ketika terjadi sesuatu yang “buruk” dari sungai, maka tidak sepantasnya manusia menyalahkan sungai (alam).

Selain awan panas, letusan Merapi beberapa hari ini juga mengirimkan Lahar dingin yang mengalir deras melalui aliran sungai-sungai di Yogyakarta, seperti Kali Code, Kali Kuning, Kali Adem, Kali Krasak, Kali Gendol, atau Kali Opak. Air sungai-sungai tersebut terlihat hitam pekat dan mengeluarkan suara gemuruh. Masyarakat menyamakan lahar dingin itu dengan warna gule atau rawon, karena lahar dingin itu selain membawa material gunung seperti kerikil, batu, pasir, potongan pohon, dan tanah, juga membawa bangkai-bangkai ternak milik penduduk yang tidak terselamatkan.

Menurut cerita penduduk, suara lahar dingin itu sayup terdengar seperti suara pesawat. Penduduk yang terlelap tidur tidak berpikir jikalau lahar dingin itu akan menimpa rumahnya yang berjarak 15 kilometer dari puncak Merapi, di luar aturan Badan Vulkanologi 10 Kilometer. Namun, ternyata lahar dingin itu menyapu rumah-rumah penduduk di sekitar sungai sebelah selatan lereng Merapi. Puluhan rumah hancur luluh, manusia dan hewan ternak pun tewas menyedihkan. Penambangan pasir yang berlebihan di Kali Gendol dan Adem disinyalir menjadi sebab lahar dingin datang begitu cepat menghantam perkampungan, karena lingkungan kali rusak parah.

Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kali code kota Yogyakarta, lahar dingin Merapi juga menyisakan air yang hitam keruh dan membuat dasar kali meninggi, beruntungnya air kali tidak sampai membludak ke permukiman penduduk. Masyarakat justru berdiri di sepanjang kali dan jembatan untuk menyaksikan lahar dingin yang mengalir deras dan lancar, karena Kali Code dirawat oleh penduduk Girli (pinggir kali) sehingga bersih dan bahkan menjadi obyek wisata lingkungan.

Membandingkan apa yang terjadi di Kali Gendol dan Code, satu pelajaran dapat dipetik bahwa manusia modern perlu menata ulang kebudayaan sungainya. Bagaimanapun, sungai telah melahirkan sejarah manusia dan kemanusiaan yang luhur pada masanya. Tanpa sejarah itu, manusia modern tak akan mengenal air “lebih dalam”.

(Opini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer