Sutomo; Antara Mitos dan Kenyataan

Oleh Empuesa

Nama aslinya Sutomo, namun rakyat Indonesia lebih mengenalnya dengan nama Bung atau Cak Tomo. Lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, meninggal di Arab Saudi saat berhaji, 7 Oktober 1981. Cerita sejarah sosok Sutomo mengagumkan sekaligus memprihatinkan. Antara Mitos dan kenyataan. 

Pada masa kecil Sutomo, Surabaya dikenal sebagai kota dagang dan industri VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) Belanda dan Jepang. Ayah Sutomo adalah Kartawan Tjiptowidjoyo, pria kampung Blauran, Surabaya, seorang polisi kotapraja dan anggota Sarekat Islam. Sutomo lahir ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kelak saat dewasa, meski tidak untuk penguasa bangsanya, Sutomo dianggap pahlawan oleh rakyat di tempat kelahirannya.
 
Di negeri ini, status pahlawan terkadang tidak lebih dari sekedar konstruksi penguasa untuk dirinya, bukan bangsanya. Dalam konteks ini, mungkin Shakespeare benar, apa arti sebuah nama, apalagi status. Status dan gelar hanya penting bagi mereka yang berkepentingan.

Sedari kecil, Kartawan sudah menyadari bahwa Sutomo harus jadi anak yang bermanfaat bagi bangsa. Ia pun memasukan Sutomo ke sekolah yang berkelas, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Namun, ketika dunia dihantam depresi ekonomi dan perang, Sutomo keluar dari MULO dan bekerja serabutan.

Jabatan Kartawan di masa Belanda dianggap tinggi, karena itu Sutomo dapat sekolah di HBS (Hogere Burger School), sekolah khusus anak Eropa atau pribumi yang memiliki hubungan khusus dengan orang kulit putih. Sutomo tetap saja tak lulus.

Apa arti pendidikan tinggi jika seseorang tidak berkepribadian. Bagi diri yang berkepribadian, pendidikan formal dapat dikalahkan oleh kerasnya pengalaman hidup seseorang. Begitu kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia.

Sutomo remaja sudah bergelut dalam aktivitas sosial dan politik. Anggota Gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), sekretaris Parindra ranting anak cabang di Tembok Duku, Surabaya, dan ketua kelompok sandiwara Pemuda Indonesia Raya di Surabaya. Aktivitas ini menjadi perkenalan pertama Sutomo dengan dunia politik. Perkenalan yang akan menjadi pengalaman pahit pada masa akhir hidup Sutomo.

Menginjak dewasa, Sutomo menjadi wartawan free lance pada Harian Soeara Oemoem Surabaya 1937, wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres Surabaya 1939, redaktur Mingguan Pembela Rakyat, di Surabaya 1938, koresponden Surabaya Majalah Poestaka Timoer Jogjakarta, wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang Domei bagian Bahasa Indonesia, untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya 1942-1945, pembuat berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam tulisan bahasa Jawa, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di Surabaya 1945.

Gejolak Revolusi Fisik antara 1945-1949, menjadi periode penting pemuda Sutomo. Sutomo menjadi Ketua Umum Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Pada masa itu, setiap malam, suara Sutomo selalu terdengar di Radio BPRI dan RRI (1945-1949) untuk mengobarkan semangat rakyat Indonesia agar terus melawan Belanda. Sutomo pun dikenal sebagai prajurit penjelmaan Soekarno. Suaranya selalu menggelegar.

Pada periode itu pula, Sotomo menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat Panglima Besar Jenderal Sudirman, bertugas mengkordinir senjata ke seluruh Jawa dan Madura. Lalu Sutomo dilantik Soekarno sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia. Dalam dunia kemiliteran, Sotomo dikenang sebagai orang pertama yang menyiarkan pengumuman panggilan masuk kemiliteran RI. Sejarah mencatat, Sutomo pernah mengkritik dan beradu mulut dengan Soekarno. Atas peristiwa itu, Sutomo dilarang istrinya, Sulistyowati, untuk datang ke istana.

Akhirnya, 10 November 1945. Waktu itu tentara Belanda menyerang kota Surabaya. Melalui corong radio, suara Sutomo bergelora membakar semangat arek-arek Suroboyo menghadapi Belanda. Sutomo pun memimpin maju ke medan laga dengan terus menggelorakan kata-kata Allohu Akbar. Dalam sejarah Indonesia, hari itu dikenang sebagai hari pahlawan. Namanya pun dikenang dengan sebutan Bung Tomo dan dibuatlah tugu pahlawan.

Pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya 1950-an, Sutomo terjun ke dunia politik lagi. Saat Burhanudin Harahap (1955-1956) menjabat Perdana Menteri, Bung Tomo menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim. Pada periode 1956-1959, mewakili Partai Rakyat Indonesia, Sutomo menjadi anggota DPR.

Pada masa orde baru, Sutomo juga sering mengkritik pemerintahan Soeharto. Sutomo pun dipenjara, namun dilepaskan setelah setahun tinggal di penjara. Keniscayaan bagi seorang tukang protes. Dan penguasa negeri ini terlalu sering melakukan kesalahan yang sama.

Saat fisik dan tenaga Sutomo mulai rapuh, Sutomo mengisi waktunya dengan membaca buku dan bercengkrama bersama anak cucunya. Tahun 1981, Sutomo menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tuhan pun menjemput ajalnya di sana. Menurut istri Sutomo, Sulistyowati, sebelum mangkat Sutomo pernah berwasiat agar dirinya tidak dimakamkan di taman makam pahlawan. Sutomo akhirnya dikebumikan di pemakaman umum Dukuh Ngagel, Surabaya.

Ketika pemerintah sedang bingung dan publik berdebat, apakah mantan Presiden Soeharto pantas dianugerahi gelar pahlawan atau tidak, jejak Sutomo tidak lebih hanya sekedar mitos kepahlawanan. Sejarah memang tidak pernah berpihak pada tukang protes. Sutomo baru diakui sebagai pahlawan dua tahun lalu.

Sutomo, tugu pahlawan, dan tanggal 10 November, hanyalah mitos. Sementara kekuasaan adalah nyata.









Komentar

Postingan Populer