Aksara Lota

Oleh Empuesa

Ende, nama ini mengingatkan kita pada zaman perjuangan dahulu. Ketika itu, Soekarno bersama Inggid Garnasih, istrinya, dan Ratna Juami, anak angkatnya, dibuang pemerintah Belanda ke tanah ini. Selama masa pembuangan itu, Soekarno dikenal oleh masyarakat Ende sebagai seorang yang pandai bermain teater. Ende terletak di pulau Nusa Tenggara Timur. Pulau indah dengan pemandangan laut yang mempesona.

Selain menjadi bagian dari napak tilas sejarah Indonesia, masyarakat Ende juga dikenal memiliki kebudayaan yang luhur dalam kesusasteraan. Jauh ribuan tahun silam, tepatnya abad ke-16, leluhur orang Ende telah mengajarkan kepada generasi mereka, sebuah tulisan dengan aksara asli yang bernama aksara Lota.

Menurut literatur Melayu yang ada, aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk ke Ende pada masa pemerintahan Raja Goa XIV I Manggarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin (1593-1639). yang kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende. Lota berasal dari kata lontar, karena pada masa lampau, aksara ini diajarkan dan ditulis di daun lontar. Tulisan berupa doa, ajaran budi pekerti, petuah kehidupan, dan pesan kecintaan pada alam.

Aksara Lota telah menghiasi kebudayaan tulis menulis dan kesusasteraan Ende tempo dulu. Gubahan syair dan lagu-lagu tradisional Ende yang sering dibacakan dan dinyanyikan dalam upacara ritual adat ditulis dalam aksara Lota ini. Dahulu jika ada orang yang memiliki hajat mengkhitankan anaknya atau membangun rumah baru, kisah-kisah kehidupan yang ditulis dalam aksara lota selalu dibacakan. Tujuannya, agar masyarakat mengambil pelajaran dari kisah tersebut. Dalam konteks pendidikan, pembacaan ini dimaksudkan untuk mendidik masyarakat agar mencintai budaya leluhur.

Hilangnya Aksara Lota
Aksara Lota telah menyimpan banyak nilai sejarah kebudayaan Ende, mulai dari kesusasteraan hingga tatanan sosial masyarakat Ende. Namun sangat disayangkan, saat ini hanya tersisa sedikit orang Ende yang dapat membaca aksara Lota, bahkan oleh generasi tua mereka. Tentu saja hal ini sangat menyedihkan, karena dengan hilangnya aksara Lota juga menyebabkan hilangnya kebudayaan sastra Ende.

Satu hal yang menggembirakan, pada beberapa masa terakhir, aksara Lota sudah diteliti oleh sejumlah pakar linguistik dan filologi, antara lain S Ross dalam bukunya Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores. Peneliti dari Indonesia Maria Matildis Banda pada tahun 1993 juga telah meneliti yang ditulis dalam bukunya berjudul Deskripsi Naskah dan Sejarah Perkembangan Aksara Ende Flores Nusa Tenggara Timur.

Hilangnya aksara Lota dari kehidupan orang Ende disinyalir karena beberapa sebab, antara lain:

1. Sedikitnya orang yang dapat membaca aksara Lota. Banyak dari mereka yang dapat membaca sudah meninggal dan tidak mentransfer ilmunya ke generasi selanjutnya. Para generasi tua sekarang pun sudah banyak yang tidak dapat membaca dan menulis menggunakan aksara Lota.

2. Lemahnya semangat transfer ilmu dari generasi tua ke generasi muda. Tidak adanya sanggar budaya atau proses belajar yang diselenggarakan oleh rumah adat, juga disinyalir menjadi lemahnya proses transfer ini.

3. Aksara Latin yang digunakan untuk sarana komunikasi sehari-hari menjadikan aksara Lota tergerus dari memori orang Ende, karena aksara latin lebih mudah dipelajari dan dipahami.

4. Mempelajari aksara Lota dirasakan sulit oleh generasi muda, karena memerlukan kesabaran dan kekuatan hafalan. Selain itu, aksara Lota hanya digunakan di waktu-waktu tertentu saja, berbeda dengan aksara Latin yang digunakan sehari-hari dan aksara Arab yang juga digunakan sehari-hari untuk aktivitas agama Islam seperti salat.

5. Masuknya budaya modern yang mudah diakses juga dianggap menyebabkan generasi muda memilih mencari yang mudah saja dan malas mempelajari yang terasa sulit.

Problematika di atas sebenarnya tidak hanya dialami oleh aksara Lota saja, hampir semua aksara kuno dalam kebudayaan suku bangsa lain di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Sedikit peminat dan hanya dipergunakan dalam kondisi tertentu. Aksara Jawa atau Honocoroko misalnya, hanya digunakan oleh kalangan tertentu dan dalam waktu tertentu, misalnya oleh para dalang wayang kulit untuk membaca literatur kuno Jawa.

Keberadaan aksara Lota yang saat ini hampir punah tentu saja menuntut perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat dan daerah maupun masyarakat Ende sendiri. Satu hal yang perlu dipahami bersama, bahwa kebesaran sebuah bangsa salah satunya diukur dari kebudayaan tulisnya. Jepang dengan aksara Hiragana dan huruf Kanjinya dikenal sebagai bangsa besar karena ini. Dan mereka sangat menjaga kebudayaan tulis tersebut hingga sekarang, salah satunya melalui program kursus menulis Jepang.

Nusa Tenggara Timur pada masanya adalah sebuah suku bangsa besar. Banyak peninggalan sejarah yang ditemukan dari kebudayan suku bangsa di sana. Aksara Lota merupakan bukti nyata dari kebesaran leluhur Ende. Saat ini, ketika aksara Lota dalam kondisi kritis, tentunya tidaklah etis jika pemerintah pusat dan daerah diam saja. Gagasan pelestarian budaya leluhur Ende tampaknya harus segera digagas agar kebudayaan orang Ende tidak benar-benar punah. Salah satunya dengan memasukkan aksara Lota dalam kurikulum mata pelajaran untuk anak SD hingga perguruan tinggi.

(Esai ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer