Cerita dari Code

Oleh Empuesa

Code. Kata ini bukan bahasa inggris yang berarti tanda dan biasanya berupa nomer-nomer atau garis-garis tertentu penuh rahasia. Dalam bahasa Indonesia dan oleh dunia, code lebih dikenal sebagai nama sebuah sungai yang membelah kota Yogyakarta. 

Karena sungai ini dijaga oleh warga girli (pinggir kali), dibersihkan lingkungan sekitarnya, ditata permukiman warganya, dan di kelola dengan menggabungkan nilai tradisi budaya dan modern, sudah sejak lama code menjadi lokasi wisata sungai. Adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999), budayawan dan sastrawan pecinta lingkungan yang pertama kali mengajak warga code mencintai code.

Pasca erupsi Merapi, code menjadi buah bibir. Di angkringan, terminal, pinggir jalan, televisi, koran, atau radio, semua orang membincangkan code. Memang sudah selazimnya, ketika Merapi meletus, warga code harus bersiap menerima curahan lahar dingin yang mengalir lewat sungai-sungai sekitar Merapi hingga ke code. Lahar dingin code, itulah cerita orang-orang.

Sejak semula warga code sudah menerima selebaran dan pengumuman dari pejabat desa agar mereka bersiap menghadapi lahar dingin. Jika lahar dingin itu meluap, maka mereka harus mengungsi karena tumah-rumah mereka tentu akan dipenuhi pasir, kerikil, lendut (lumpur), kayu, ikan, atau binatang kali lainya. Saluran air tersumbat dan bau.
“Kalau cuma pasir atau kerikil masih bisa dimanfatin mas, tapi kalau lendut, wah, kelete (lekatnya) minta ampun, trus angel (susah) diilangin”. Cerita Martini padaku tadi pagi.
Pagi itu, Martini sudah mendapat informasi dari para anggota TNI yang sudah siaga di dekat rumahnya, bahwa lahar dingin sudah mulai datang meski volumenya masih kecil. Para anggota TNI itu sudah berjaga sejak code dinyatakan siaga lahar dingin. Anggota TNI itu mendapat informasi dari temannya yang juga berjaga di sepanjang code hingga ke atas (Kali Urang). Mereka menginformasikan secara berantai melalui handy talky.

Hingga sore hari, Martini masih menunggui orangtuanya yang renta di rumahnya, dan code masih dinyatakan normal. Tepat pukul 17.15, Martini kembali mendapat infromasi dari anggota TNI jika lahar dingin dari atas sudah tinggi, Martinipun bersiap-siap untuk mengungsi. Orangtuanya digendong lalu dinaikkan motor oleh kakaknya, dan diungsikan ke masjid yang agak jauh dari lereng code bawah. Anak dan saudara-saudara lainnya pun sudah mengungsi. Mereka membawa barang-barang yang dianggap penting. Namun, Martini bersama suami dan kakak laki-lakinya menunggu di sekitar rumah. Mereka berjaga jika lahar dingin tidak terlalu besar, mereka akan bertahan sambil membersihkan rumah.

Martini melihat air kali code masih normal, diapun akhirnya masuk rumah untuk salat, bergantian berjaga dengan suami dan saudara laki-lakinya. Seusai salat, Martini kembali ikut berjaga, menengok-nengok perubahan air kali secara seksama. Dalam suasana tidak tenang, bingung dan takut, Martini memikirkan ayam jagonya 4 ekor, ayam betina 4 ekor dan anak-anaknya 10 ekor, dan juga bebeknya 10 ekor. Tidak tenang karena kapan datangnya lahar dingin hingga ke rumahnya tidak jelas. Bingung karena jika nanti terlanjur dipindahkan kandangnya ternyata lahar dinginnya cuma kecil. Namun Martini juga takut jika itu terjadi sebaliknya.
“Ayam jago ki rata-rata hargane siji Rp. 125. 000 je mas, lha kalau ilang 4 ekor kan wis muni (jelas harganya mahal dan rugi jika hilang) mas”. Keluh Martini.
Dan sejenak kemudian sayup-sayup dari kejauhan Martini mendengar suara gemuruh, tanda lahar dingin itu datang mendekat. Sambil terus menengok ke belakang, Martini bersama saudaranya masih mencoba bertahan di rumahnya, sambil berharap lahar dingin tidak besar. Binatang peliharaannyapun masih dibiarkan bertahan di kandangnya. Perlahan dia melihat gelombang lahar dingin mulai menyergap code yang melewati rumahnya, Martini pun merasa agak lega karena ternyata gelombang lahar dingin masih dapat ditampung lereng code, tidak terlalu besar.

Kelegaan Martini ternyata tidak berlangsung lama. Suara gemuruh itu makin lama makin dekat. Dari kejauhan dia melihat gulungan lahar dingin datang menghantam permukiman warga dengan ganas. Gelombang lahar dingin terlihat hitam pekat, penuh pasir, kerikil, kayu lumpur, dan barang penduduk yang tidak sempat diungsikan. Kasur, triplek, papan, kandang bebek, ayam, meja, kursi, bantal, dan guling. Martini bersama saudara-saudaranya lari tunggang langgang menuju lereng atas dan berdiri di dekat jembatan. Suasana malam itu terasa tegang, mencekam, dan gelap meski listrik tidak padam.

Sambil ngos-ngosan, Martini melihat gelombang lahar dingin itu dari jalan raya dekat jembatan. Besar, hitam pekat, dan bergemuruh.
“Kayak tsunami itu lho mas, takut banget aku. Laharnya itu ndak bertambah sedikit-sedikit terus membesar gitu, tapi tahu-tahu sudah besar. Gelombangnya itu kayak gelombang laut, itu karena bawa kayu, batu, atau barang pwarga itu. Wah jan, ngeri mas”. Kisah Martini.
Martini berusaha melihat-lihat rumahnya dari kejauhan, namum tidak terlihat. Di kepalanya justru muncul bayangan ayam dan bebeknya. Martini menangis, dia berdoa semoga kandang bebek dan ayamnya terbuka, sehingga ayamnya bisa terbang dan bebeknya bisa berenang.
“Semoga suatu saat saya akan menemukan ayam dan bebekku lagi atau ayam dan bebekku itu pulang sendiri mencari aku ha..ha..ha”. cerita Martini sambil tertawa.
Lahar dingin itu menyapu hingga malam. Martini tidak berani pulang. Dia, orangtua, dan saudara-saudaranya tidur di pengungsian. Keesokan harinya Martini menyambangi rumahnya sudah penuh lumpur hingga sebatas betis, karena terlalu lekat, hingga hari ini Martini masih belum selesai membersihkan rumahnya. Beberapa rumah tetangganya hancur, ada yang miring, ada yang tinggal temboknya saja, ada pula yang rumahnya masih bagus tapi di dalamnya penuh pasir dan lumpur.

Hingga hari ini, Martini dan keluarganya masih tidur di pengungsian. Lahar dingin telah mencemari air sumurnya dan menyumbat semua saluran air. Jika kamar mandi pengungsian penuh, Martini memilih pergi ke Mall untuk mandi atau buang air besar, untuk itu Martini harus membayar seribu rupiah.

Jika hari hujan, Martini dan seluruh warga code hatinya tak tenang, takut lahar dingin akan menyergap lagi. Karena itu sebagian warga memilih untuk tetap di pengungsian dan tidak membersihkan rumahnya, sampai menunggu peringatan dari pemerintah.
“Tadi malam saya mimpi, bebekku berenang melawan lahar dingin mas..ha..ha”. Dia tertawa lagi.
Yogyakarta, 5 Desember 2010



Komentar

Postingan Populer