Hari Perempuan, Bukan Hari Ibu

Oleh Empuesa

Sosok perempuan, apalagi dia seorang ibu, dalam kebudayaan Melayu sangat dijunjung tinggi.  

Dalam sebuah pantun Melayu yang indah disebutkan:
Wahai ananda kekasih ibu, pada ibu jangan terlalu
Bela pelihara setiap waktu, supaya engkau tak dapat malu
Pantun di atas mengingatkan kepada anak-anak muda, bahwa sosok ibu sangat penting dalam kehidupan mereka. Kata malu dalam pantun tersebut menyiratkan sebuah pesan yang berat, karena malu dalam kebudayaan Melayu sangat dihindari. Dalam pantun Melayu yang lain, tentang malu dipesankan dengan untaian yang indah pula:
Apa tanda Melayu jati, malu berbuat yang tidak terpuji
Apa tanda Melayu jati, memlihara malu sepenuh hati
Apa tanda Melayu terpuji, tahu menjaga aib malu diri
Sejarah Hari Perempuan
 
Setiap tanggal 22 Desember dipahami oleh banyak orang sebagai hari ibu. Akan tetapi, bagi sebagian orang yang lain, perayaan hari ibu dianggap menyalahi konsep awalnya yang sebenarnya dikonsep untuk menghormati jasa perempuan, tidak khusus pada ibu. Latar belakang sejarah peringatan hari ibu adalah berdasar konggres perempuan pada tanggal tersebut. Kata perempuan dianggap lebih universal menjangkau semua kaum perempuan, baik dia sudah menjadi ibu atau belum.

Menurut pandangan ini, misi sebenarnya dalam setiap peringatan tanggal 22 Desember adalah mengenang perjuangan kaum perempuan Indonesia menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Perjuangan kaum perempuan Indonesia ini telah dimulai sejak tahun 1928, yaitu dengan digelarnya konggres perempuan pertama 22 Desember 1928. Konggres digelar di gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta. Peristiwa ini pada tahun 1959 dikuatkan oleh Presiden Soekarno sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959.

Jika dicermati, maka sosok perempuan yang harus diapresiasi lebih, bukan hanya ibu. Hal ini bukan semata karena keinginan untuk setara belaka, lebih daripada itu adalah untuk mendudukan perempuan sebagaimana aslinya. Lantas kemudian kenapa yang diperingati hari ibu?

Penamaan hari ibu disinyalir karena dipengaruhi oleh perayaan mothers day yang diadakan di Eropa yang memang ditujukan untuk menghormati peran ibu sebagai sosok yang melahirkan, menyusui, mengasuh anak, sumber kasih sayang, dan pendamping suami. Atas perannya yang banyak dalam kehidupan ini, dalam satu hari tertentu orang Eropa ingin menandainya dengan penghormatan khusus.

Di Eropa, peringatan mothers day sebenarnya digelar pada hari minggu ke dua bulan Mei, guna memperingati aktivis sosial Julia Ward Howe yang pada tahun 1870 mengajak perempuan bersatu untuk melawan perang saudara. Sementara itu, di beberapa Negara Timur tengah, mothers day digelar setiap bulan Maret.

Saat tiba mothers day, biasanya suami, anak-anak, dan saudara-saudara memberikan kado kepada istri atau ibunya. Bahkan, bagi keluarga tertentu, pada hari tersebut akan membebaskan ibunya dari pekerjaan rutin mereka, semisal mencuci atau memasak, dan sebagai gantinya mereka akan mengajak ibunya makan di restoran dan berwisata.

Syahdan, peringatan mothers day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah merupakan pengaruh dari kepercayaan dan kebiasaan orang-orang Yunani kuno memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Dewi Rhea dianggap sebagai dewi pelindung dan pengayom rakyat, karena itu harus dihormati.

Pengerdilan Sejarah
 
Dalam buku yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia, 2001, Saya Sasaki Siraishi mengingatkan bahwa orde baru telah berusaha mereduksi kata ibu dan bapak untuk kepentingan politik mereka. Tujuannya agar rakyat menghormati ibu negara dan bapak pembangunan.

Selain melenceng dari sejarah yang ada, peringatan hari ibu tampak ada pendangkalan arti dan makna dalam menghormati sosok perempuan. Seakan-akan perempuan hanya dianggap perempuan jikalau dia sudah menjadi ibu. Memang benar bahwa seorang perempuan nantinya akan menjadi ibu, akan tetapi menjadi ibu adalah sebuah pilihan, bukan kodrat, kodratnya justru menjadi perempuan. Dalam agama tertentu, menikah dihukumi sunah (dilakukan tidak apa-apa begitu juga sebaliknya) bukan wajib (dilakukan mendapat pahala, tidak dilakukan mendapat dosa).

Selain itu, pendangkalan makna juga terjadi dalam upaya menghormati sosok perempuan yang hanya sekedar diberi kado atau diistirahatkan dalam rutinitas. Logika terbaliknya, segala kado dan pemberian hadiah ini secara tidak langsung adalah bentuk penegasan bahwa mencuci, memasak, mengurus anak, atau melayani suami sebagai kodrat perempuan. Pemberian kado atau hadiah juga menampakkan bagaimana peran perempuan hanya cukup dihargai secara materi. Hal ini tentu saja karena dipengaruhi oleh komersialisasi yang dilakukan oleh media, baik cetak maupun elektronik.

Budaya latah atau mengkopi tanpa melihat sejarah sebenarnya, tampaknya harus segera dihentikan. Jika tidak, bangsa ini akan selalu menjadi konsumen dan tidak percaya diri. Pengerdilan kata perempuan hanya pada sosok ibu adalah sebuah pengerdilan sejarah. Hal yang sama juga terjadi pada perayaan hari kasih sayang (valentine day).

Sejarah adalah sumber dan penunjuk arah untuk melaksanakan kehidupan bangsa hari ini dan esok. Apa yang dilakukan oleh kaum perempuan pada masa perjuangan seharusnya menjadi panduan dan mendidik anak bangsa agar percaya diri dan mencintai pahlawannya. Dan pahlawan itu adalah kaum perempuan, bukan hanya ibu.

Selamat hari perempuan.

(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)























Komentar

Postingan Populer