Kehamilan dalam Pengetahuan Orang Rembong, Nusa Tenggara Timur

Oleh Empuesa

Kehamilan dalam pengetahuan orang Rembong dianggap sebagai sebuah siklus hidup yang harus dihormati dengan upacara adat. Tujuannya untuk menjaga keselamatan ibu yang hamil dan janin yang dikandungnya dari gangguan roh jahat. 
 
1. Asal-usul

Siklus kehidupan dalam sebuah bangsa terkadang dipersepsikan sebagai sebuah peristiwa yang menegangkan, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Untuk menghindari ketegangan yang, sebuah suku biasanya akan menggelar upacara adat atau doa-doa tertentu. Hal ini menggambarkan bahwa kebudayaan adalah sebuah jalan keluar dalam menyikapi kepanikan hidup dan bermanfaat (Alfian, 1985).

Orang Rembong adalah nama salah satu suku di Flores, Nusa tenggara Timur. Suku ini memiliki adat istiadat yang unik dan sakral dalam penyelenggaraanya, salah satunya ritual yang berhubungan dengan siklus hidup berupa kehamilan. Unik karena ritual tersebut diadakan dengan upacara yang melibatkan banyak pihak dan dipenuhi banyak sesaji. Sementara itu, sakral karena dipenuhi oleh mantra yang dibacakan oleh ketua adat selama proses berlangsung. Menurut cerita dari masyarakat Rembong, adat istiadat ini merupakan ajaran leluhur sejak dulu, mereka meneruskannya hingga hari sekarang (Ignatius Egi Dado, 1997).

Dalam sebuah bukunya Jilis A.J. Verheijen berjudul Adat Istiadat Orang Rembong di Flores Barat, menuliskan bahwa seorang perempuan yang hamil dalam kebudayaan orang Rembong selalu diposisikan sebagai pribadi yang harus dilindungi dari beragam gangguan, salah satunya dari roh jahat. Bukan hanya terhadap perempuan yang hamil, perlindungan lebih penting juga harus diberikan kepada janin yang dikandung oleh sang perempuan. Roh jahat dipercaya dapat masuk ke dalam kandungan sang perempuan dan menyebabkan anak yang lahir dalam kondisi tidak baik. Karena itu untuk menangkis gangguan tersebut, selama proses kehamilan hingga detik-detik menjelang kelahiran, digelar beberapa ritual adat.

Selain itu, selama masa kehamilan, seorang perempuan perempuan harus menjaga perilakunya. Ia dilarang berbuat buruk terhadap suami, ibunya, dan melakukan perbuatan yang dilarang adat, seperti, menginjak tanah atau rerumputan yang dikeramatkan oleh orang Rembong. Hal ini dimaksudkan agar sang jabang bayi dalam kandungan kelak tidak tertulari perbuatan buruk ibunya.

Jika mencermati penjelasan di atas, kehamilan awal mula manusia berharap akan lahirnya seorang anak dan itu sangat membahagiakan. Untuk itu manusia menciptakan adat istiadat untuk menjaga kehamilan tersebut. Namun, jika melihat bahwa terkadang bayi yang dilahirkan diganggu roh jahat, maka tampak sekali manusia direpotkan oleh kebudayaan yang diciptakannya. Koentjaraningrat (1980) dalam konteks ini menyatakan bahwa manusia dengan kebudayaannya selalu menghadirkan pesona yang menganggumkan. Kebudayaan satu sisi menjadi penanda kebesaran sebuah bangsa, namun pada sisi yang lain, kebudayaan terkadang dapat menjerat menusia dalam kesulitan yang dibuat sendiri.

2. Konsep Kehamilan
Dari hasil pengalamannya selama menjadi pastur di Flores Barat, Pater Verheijn (1936-1994) menuliskan bahwa orang Rembong memandang kehamilan sebagai sebuah peristiwa sakral sekaligus menakutkan. Sakral karena kehamilan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan dan leluhur. Untuk itu, peristiwa kehamilan penuh dengan doa dan upacara adat persembahan kepada Tuhan dan leluhur.

Sementara itu, kehamilan juga dianggap sebagai perisitiwa menakutkan karena kehamilan melibatkan kekuatan di luar kemampuan manusia. Manusia tidak dapat memastikan apa yang terjadi pada janin yang di kandungnya kelak. Namun, manusia hanya dapat meramalkan sesuatu yang bakal terjadi melalui ritual adat tertentu.

Ritual-ritual adat tersebut ditujukan untuk menjaga perempuan yang sedang hamil maupun janin yang sedang di kandungnya dari gangguan roh jahat. Dalam kondisi tertentu, orang Rembong takut jika ternyata setelah lahir, jabang bayi mengalami cacat atau kondisi yang menyedihkan.

Dalam hal lainnya, orang Rembong memahami bahwa kehamilan seorang perempuan tidak hanya ditentukan oleh gizi atau makanan sang ibu, namun lebih daripada itu, kehamilan sangat ditentukan oleh perilaku orangtua jabang bayi. Perilaku istri yang buruk terhadap suaminya atau sebaliknya, akan menyebabkan proses kehamilan seorang perempuan menjadi terasa menyakitkan. Hal yang sama juga akan dirasakan kelak saat dalam proses kelahiran jabang bayi.

Menurut kepercayaan yang ada di masyarakat, perilaku sang ibu seperti pernah cekcok dengan orang lain, pernah memetik buah-buahan milik orang lain, mungkin pernah tanpa sadar menginjak rerumputan bertuah yang sengaja diletakkan orang lain, mungkin pernah membuang sesuatu yang tidak baik, atau mungkin pernah menyakiti hati orangtuanya, maka perbuatan-perbuatan ini akan berefek negatif saat proses kelahiran kelak.

Menurut ajaran leluhur orang Rembong, nasib sebuah pasangan suami istri ke depannya, salah satunya sehubungan dengan kehamilan sang perempuan, apakah akan baik-baik saja atau penuh dengan malapetaka, dapat dilihat melalui ritual paseq-nggolan, yaitu ramalan melalui kuning telur.

Saat seorang perempuan (ibu) hamil, maka sang laki-laki (suami) diwajibkan untuk memperlakukannya dengan lembut dan menyenangkan, karena jika tidak, hal itu akan mengganggu kesehatan ibu dan janin yang di kandungnya. Sang suami juga harus siap menjaga sang istri siang dan malam, gangguan roh jahat yang datang tiba-tiba dapat dilawan dengan menggelar doa dan persembahan sesaji kepada leluhur, agar arwah leluhur juga ikut menjaga sang ibu dan jabang bayi.

Sang ibu yang sedang hamil, dalam proses kelahiran jabang bayi biasanya akan mengalami lasang, yakni kondisi sakit yang tidak terkira yang melelahkan fisik. Dalam kondisi seperti ini, sang suami biasanya akan mengundang seorang dukun hamil. Sang dukun kemudian akan menanyakan kepada ibu yang sedang hamil apa yang dirasakan, jika sakit sekali, sang dukun akan membacakan mantra atau jampi-jampi. Setelah itu, biasanya sang ibu yang hamil akan kembali tenang.

Sang ibu hamil kembali akan mengalami kondisi yang menyakitkan ketika mendekati detik-detik kelahiran jabang bayi. Sang suami kembali akan memanggil dukun hamil. Sang dukun lalu akan menanyakan sakit apa yang dirasakan sang ibu hamil. Setelah itu, sang dukun akan meminumkan air yang telah dimantrai. Air dipercaya akan mendorong bayi dalam perut agar cepat keluar. Sang dukun juga akan memijat perut dan punggung ibu yang hamil sambil terus membaca mantra-mantra tertentu.

3. Pengaruh Sosial
Pengetahuan orang Rembong tentang kehamilan ini memiliki pengaruh-pengaruh tertentu dalam kehidupan sosial mereka. Hal ini antara lain dapat dicermati dalam beberapa hal:
  • Lestarinya ajaran leluhur. Pengaruh ini dapat terwujud dari digelarnya upacara adat selama proses kelahiran hingga detik-detik menjelang kelahiran jabang bayi. Semua upacara adat tersebut tentu saja merupakan ajaran leluhur orang Rembong. Dengan demikian, penyelenggaraan adat istiadat leluhur tersebut secara langsung adalah perwujudan pelestarian ajaran leluhur. Bagi orang Rembong, hal ini tentu saja sangat penting, karena ajaran leluhur adalah bagian dari hidup mereka.
  • Menguatnya identitas sosial. Perasaan yang sama sebagai satu suku terkadang dapat muncul dari pengetahuan yang sama akan sebuah peristiwa hidup, salah satunya dalam menghormati kehamilan. Dalam hal ini, biasanya orang Rembong akan datang ke rumah orang yang sedang hamil, untuk memberikan doa dan kemudian bersama-sama ikut menggelar ritual adat serta memberikan motivasi kepada ibu yang sedang hamil.
  • Menguatnya semangat menghormati hidup bersama. Kehamilan oleh orang Rembong dalam konteks kemasyarakatan juga dimaknai sebagai awal dari kehidupan bersama, karena sang anak kelak jika lahir akan menajdi bagian dari masyarakat. Maka dari itu, mereka ikut bersama mendoakan ibu yang sedang hamil agar anak yang lahir menjadi anak baik, karena dengan begitu masyarakat yang terbentuk juga akan menjadi baik. Dalam bingkai kehidupan bersama, kehamilan dalam arti tertentu dapat menguatkan semangat menghormati hidup bersama.
  • Menguatnya rasa spiritual. Ketika menggelar upacara adat selama proses kehamilan hingga menjelang kelahiran bayi, beragam doa dan mantra dilantunkan oleh ketua adat. Masyarakat yang hadir secara bersama-sama juga ikut melantunkan. Doa ketika dilantunkan secara bersama-sama secara psikologis tentu akan menciptakan sebuah suasana spiritual yang sakral. Dalam konteks ini, pengetahuan orang Rembong tentang kehamilan menjadi salah satu media menguatnya rasa spiritual masyarakat.
5. Penutup
Pengetahuan orang Rembong tentang kehamilan ini secara tidak langsung mengingatkan kepada manusia semua kehidupan adalah penting untuk diperingati dan dihormati. Bukan hanya itu, seorang perempuan penting untuk menjaga perilakunya, baik sebelum maupun setelah menikah, karena sedikit banyak hal itu akan berpengaruh pada kehidupan jabang bayi kelak.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)
Referensi

  • Alfian, 1985. Persepsi manusia tentang kebudayaan. Jakarta : Gramedia
  • A.J. Jilis Verheijen, 1977. Bahasa Rembong I-V. Ruteng. Regio S.V.D
  • Ignatius Egi Dadu. Adat Istiadat Orang rembong di Flores Barat. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1997.
  • Koentjaraningrat, 1980. Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Komentar

Postingan Populer