Kubur Batu dan Ketaatan Adat

Oleh Empuesa

Sumba, Nusa Tenggara Timur selalu eksotis dan unik kebudayaannya. Kebudayaan megalitik mereka selalu tidak lekang di makan zaman. Setidaknya itu terlihat dari keberadaan situs-situs megalitik yang menghiasi beberapa blok tanah di hampir seluruh kampung-kampung khususnya di Sumba Barat dan Sumba Tengah

Situs megalitik ini semakin kaya ketika seseorang meninggal lalu diadakan prosesi adat penguburan yang sakral. Setelah itu, sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari batu besar dibangun di atas pusaranya. Itulah tanda kuburan mereka. Masyarakat umum menyebutnya kubur batu.

Seakan bersaing dengan kemegahan rumah-rumah panggung penduduknya, kubur batu di Sumba juga dibangun dengan megah dan terlihat perkasa. Kubur batu itu terbuat dari batu besar setinggi 3-5 meter dan berukuran sekitar 4x2 meter. Berbentuk menyerupai bangunan gapura beratap yang disangga empat tiang batu.

Kubur batu menaungi jenazah orang Sumba yang dikubur di dalam tanah dalam posisi duduk meringkuk. Tubuhnya dilapisi puluhan kain adat dan ditutup semen. Di antara kubur-kubur batu itu, ada yang usianya ratusan tahun. Masyarakat mempercayai kubur batu sebagai tempat tinggal seorang yang meninggal di alam gaib.

Selain berupa bangunan, kubur batu juga dilengkapi dengan penji (tugu batu). Penji biasanya dihias dengan gambar-gambar binatang, seperti kerbau, buaya, kura-kura, atau harimau yang melambangkan raja. Ada juga berupa gambar ayam atau babi sebagai lambang kepemimpinan. Serta gambar udang yang melambangkan kehidupan yang selalu berubah-ubah.

Gambar pada penji akan disesuaikan dengan keinginan keluarga yang meninggal. Pada masa lampau, penji hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan, akan tetapi sekarang masyarakat biasa ikut juga membuat penji. Semakin besar kubur batu dan penjinya, maka semakin menunjukkan kebesaran para bangsawan itu (Sumijati Atmosudiro, 1982).

Tradisi Marapu
Kubur batu berkait erat dengan tradisi dalam kepercayaan Marapu. Sebuah agama tradisional yang dianut oleh banyak masyarakat Sumba hingga sekarang. Menurut kepercayaan Marapu, upacara penguburan adalah sebuah persitiwa penting yang harus dihormati. Oleh karena itu, pemeluk Marapu akan menggelar upacara adat yang megah dan sakral ketika seseorang dari mereka meninggal. Tidak jarang penguburan dilakukan secara besar-besaran dengan menyembelih kerbau dan kuda hingga puluhan jumlahnya. Binatang yang disembelih dipercaya akan menjadi bekal orang yang meninggal di alam baka.

Arwah leluhur dalam kepercayaan Marapu dianggap sebagai perantara, yaitu antara yang hidup dengan Sang Pencipta. Karena itu, menghormati arwah leluhur secara tidak langsung juga dianggap menghormati sang pencipta. Penghormatan itu akan semakin penting jika yang meninggal adalah tokoh masyarakat atau tokoh adat.

Dalam konteks kosmologi, seorang yang meninggal dianggap hanya pindah tempat (alam). Alam yang akan dituju juga memerlukan bekal seperti halnya di dunia. Karena itu, beberapa harta kekayaan orang yang meninggal, seperti perhiasan emas dan manik-manik, akan disertakan ke liang kubur.

Menurut cerita yang ada, syahdan pada zaman dulu ketika Sumba masih dikuasai oleh raja-raja, ketika kerabat kerajaan ada yang meninggal dan raja menetapkan waktu penguburan, maka rakyat segera berkumpul dan bekerja mengambil batu dari gunung. Batu itu ditarik dengan susah payah menuju kampung.

Sejurus dengan itu, babi, kuda dan kerbau pun segera disembelih untuk menjamu tamu dan rakyat yang bekerja. Selain itu, sebagian daging hewan yang disembelih dibagikan kepada para pekerja untuk dibawa pulang. Saat ini, tradisi membagi daging binatang secara merata seperti ini masih dilestarikan di Sumba.

Pada masa itu, biaya penguburan yang besar masih ditanggung oleh kerajaan. Namun, zaman sekarang hal ini menjadi masalah, ketika biaya penguburan harus ditanggung oleh keluarga yang meninggal. Tidak jarang karena mengikuti tradisi, jenazah penduduk yang belum memiliki biaya hanya disimpan di suatu tempat untuk menunggu beberapa tahun. Jika sudah ada anak cucu dan kerabatnya yang memiliki biaya, jenazah baru dikuburkan dan dibuatkan kubur batu (A. A. Yewangoe. 1980)

Ketaatan pada Adat
Orang Sumba hingga hari ini dikenal sebagai masyarakat yang masih berusaha melestarikan adat leluhur. Ketaatan pada adat menjadi sesuatu yang mutlak, meski terkadang memerlukan biaya besar.

Seperti halnya tradisi di beberapa suku lain, misalnya Tana Toraja, adat penguburan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Begitu halnya dengan proses penguburan di Sumba. Biaya itu sebenarnya dapat dipergunakan untuk membangun tempat tinggal mereka yang lebih baik. Akan tetapi ketaatan pada adat menjadi kosmologi hidup yang lebih penting dari pada rumah.

Beban adat ini dirasakan oleh semua penduduk Sumba, akan tetapi lebih berat dirasakan oleh mereka yang berasal dari golongan bangsawan. Proses penguburan yang besar dan sakral dianggap sebagai salah satu penanda identitas sosial mereka. Karena itu, jika mereka tidak melaksanakan adat, maka akan terancam identitas mereka di mata sosial.

Ketaatan pada adat mencerminkan betapa tradisi mengalahkan realitas. Meskipun demikian, apa yang diyakini oleh pemeluk Marapu menjadi sebuah pelajaran, bahwa kosmologi memegang peranan penting sebuah masyarakat dalam menggerakkan kebudayaan mereka.  
(Esai ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)



Komentar

Postingan Populer