Melayu, Islam, dan Hijrah

Oleh Empuesa

Syahdan, 6 (enam) tahun sepeninggal Nabi Muhammad bin Abdillah, para pembesar Islam dan pengikut setia Muhammad berkumpul. Mereka adalah Abu Bakar Sidiq (Abu Bakar yang dapat dipercaya), Umar Bin Khatab, Ali Bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Menurut Abu Bakar Sidiq, sistem penanggalan Islam harus dibuat untuk mengganti tradisi kalender Arab.

Tradisi kebudayaan Arab sebelumnya sebenarnya sudah memiliki sistem penanggalan sendiri. Dalam menyebut nama tahun, mereka tidak menggunakan angka, melainkan nama-nama binatang yang bertepatan dengan peristiwa sosial budaya tertentu, kelahiran Muhammad sendiri ditulis dalam tahun gajah, karena saat itu Abrahah, Gubernur Yaman, menyerang ka’bah dengan mengendarai gajah.

Pasca kepemimpinan Islam, tradisi penanggalan Arab dianggap masih berbau “jahiliah”. Islam datang untuk menghapuskan itu semua. Alquran dan ucapan Nabi harus menjadi pijakan utama hidup bermasyarakat. Lebih dari itu, selepas meninggalnya Muhammad, era baru kehidupan Islam perlu diciptakan.

Semua sahabat Nabi yang hadir saat itu semua setuju, bahwa Islam perlu memiliki nama tahun sendiri, namun mereka berdebat tentang dasar penentuannya. Di antara mereka ada yang mengusulkan untuk mendasarkan pada kelahiran Muhammad. Ada pula yang menyebut pengangkatan Muhammad menjadi Rasul juga penting untuk dipertimbangkan.

Dan akhirnya, usul Ali bin Abi Thalib yang diterima, peristiwa berpindahnya Muhammad dari Makkah ke Madinah (saat itu disebut Yatsrib) dianggap paling pas untuk dijadikan dasar. Berpindah dalam bahasa Arab disebut Hijrah, dan tahun Islam dinamai tahun Hijriah.

Tidak jauh berbeda dengan dasar penamaan tahun modern, Masehi, yang didasarkan pada diangkatnya Isa ke langit atau surga, Isa Al Masih. Diangkatnya Isa ke surga dalam beberapa literatur juga ditafsirkan sebagai dihijrahkannya Isa dari kejahiliahan umatnya.

Kalender Hijriyah berbeda dengan Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, hari atau tanggal dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat (berdasar jam). Sementara itu, pada sistem Kalender Hijriyah, hari atau tanggal dihitung sejak terbenamnya matahari di tempat tersebut (berdasar peredaran matahari). Menurut para ahli hukum Islam (fiqh), perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan waktu salat di setiap wilayah di dunia. Kelompok Islam Ahli Sunnah Wal Jamaah (Suni) lebih suka mendasarkan pada jam, adapun kelompok Islam Syiah lebih mendasarkan pada peredaran matahari.

Jika satu tahun berdasar kalender Masehi berjumlah 365 hari, tidak demikian jika berdasar kalender hijriyah. Satu tahunnya adalah 12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari. Lebih pendek sekitar 11 hari.

Melayu dan Islam
Tahun baru Hijriah akan tiba. Orang Melayu menganggap penting peristiwa pergantian tahun baru Islam ini. Saat tiba waktunya, mereka akan menggelar beragam acara keislaman. Mulai dari menggelar selamatan sampai arak-arakan atau festival budaya Islam. Semua itu tidak lebih sebagai penghormatan mereka terhadap Islam.

Dalam konteks kebudayaan, tahun baru Hijriah adalah moment tepat untuk meniliki hubungan antara Melayu dan Islam.

Islam bagi orang Melayu tidak hanya sekedar agama, tetapi juga sebuah kebudayaan. Meskipun bukan identitas satu-satunya, Islam menyumbang banyak kekayaan dalam khazanah kebudayaan Melayu. Sejak dahlu kala, Islam telah mengisi banyak relung kehidupan orang Melayu. Islam telah melahirkan kreasi budaya, dari mulai pantun, puisi, adat istiadat, bahasa, seni, sistem sosial, politik (adat), ekonomi, dan juga budi pekerti.

Kentalnya Islam dalam kehidupan orang Melayu mengakibatkan dugaan banyak orang bahwa Melayu pasti Islam. Dugaan tersebut tidak salah seluruhnya, juga tidak benar seluruhnya. Tidak salah karena mayoritas orang Melayu mayoritas beragama Islam. Namun, juga tidak benar karena sejak ribuan tahun, orang Melayu telah berdiaspora. Hasilnya, orang Melayu tersebar ke seluruh penjuru dunia, dari Asia hingga Madagaskar. Mereka bersentuhan dengan berbagai kebudayaan.

Syeh Yusuf yang asli Sulawesi Selatan menjadi ulama besar di Afrika dan dikuburkan di sana. Busana pernikahan orang Kalimantan Selatan, mahkota kepalanya dihiasi simbol-simbol binatang seperti burung dan naga yang indah, mirip dalam kebudayaan Hindu dan Cina. Tradisi menerima tamu orang Sumatra selalu menyediakan sirih pinang, lalu mereka makan bersama, mirip dengan kebudayaan Hindu.

Melihat realitas di atas, Melayu lebih menarik jika dikaji dan dibincangkan dalam bingkai kemelayuan, mencari unsur-unsur pemersatu di antara masyarakat Melayu yang berbeda-beda.

Usaha untuk selalu mengkaji dan membincangkan Melayu dari sisi kemelayuan saat ini sudah dilakukan, salah satunya oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta. BKPBM berusaha mengkaji dan mendokumentasikan kebudayaan Melayu, baik dari adat istiadat, kesenian, bahasa, kuliner, busana, dan sebagainya. Unsur-unsur pemersatu Melayu yang berserak coba dirangkaikan kembali, dengan harapan marwah Melayu kembali bersinar.

Dalam moment tahun baru hijriah ini, BKPBM mengajak puak Melayu untuk berhijrah, memindahkan kesempitan berpikir tentang Melayu menuju keterbukaan tentang kemelayuan. Melayu dalam bahasa Jawa berarti ‘berlari’, dan tentunya juga harus terus berhijrah, baik dalam kemelayuan dan keislaman.

Selamat tahun baru Islam 1432 H.

(Esai ini pernah dimuat di www.Melyuonline. com)

Komentar

Postingan Populer