Natal, Agama dan Dilema Budaya Melayu

Oleh Empuesa

Orang Melayu, khususnya orang Dayak yang mendiami wilayah pedalaman Kalimantan, selain juga masih memeluk erat adat istiadat leluhur, mereka juga memeluk agama resmi negara. Dalam buku Identitas Dayak, Yekti Maunati mencatat bahwa dalam sejarahnya, orang Dayak memeluk salah satu agama resmi negara karena “paksaan” orde baru. 

Orde baru kala itu hanya mengakui lima agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Agama leluhur Dayak, seperti Kaharingan tidak diakui. Karena setiap penduduk harus mencantumkan agamanya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), tiada lain orang Dayak harus mencantumkan salah satu agama yang diakui. Di antara mereka ada yang memilih Hindu, Budha, Islam, dan juga Katolik atau Kristen.

Terlepas dari latar belakang sejarah yang ada, realitas lain membuktikan bahwa orang Melayu yang berdiaspora ke penjuru dunia juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam, salah satunya adalah agama Kristen. Karena itu, menjelang hari Natal 25 Desember yang akan datang, rasanya perlu mengucapkan selamat merayakan Natal untuk orang Melayu yang beragama Kristiani. Semoga semangat cinta kasih yang diajarkan Yesus Kristus terejawantah dalam jiwa mereka dan bertransformasi menjadi semangat untuk selalu memajukan dan menjaga kebudayaan Melayu yang luhur.

Perdebatan Klasik
 
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan zaman yang begitu cepat telah merubah pola pikir masyarakat Melayu dalam menyikapi adat istiadat tradisional leluhur. Di antara orang Melayu hingga saat ini masih memperdebatkan antara mempertahankan adat istiadat tradisional Melayu apa adanya dengan apakah adat istiadat tersebut perlu dimodernkan?

Sebagian orang Melayu memahami bahwa adat istiadat leluhur harus dibiarkan apa adanya. Modernitas tidak boleh memasuki wilayah tradisi, karena hal itu justru akan mengurangi kesakralannya. Jika sebuah upacara adat umpamanya, digelar di bawah sorotan sinar lampu kamera atau difilmkan, maka hal itu akan menggangu bacaan mantra pemimpin spiritual. Ritual adat membutuhkan suasana yang hening dan tenang. Segala bentuk penggunaan alat elektronik dianggap menggangu.

Para pemangku kebudayaan yang peduli dengan kemurnian tradisi di Bali dan Nusa Tenggara Barat pernah mengeluhkan hal ini. Upacara adat yang digelar dengan ditonton para wisatawan, hanya memuaskan rasa ingin tahu para wisatawan belaka. Upacara adat menjadi barang jualan laksana materi. Padahal upacara adat mengandung sisi spiritual yang harus dijaga. Untuk menyiasati ini, akhirnya pementasan upacara adat seperti tari kecak di Bali dipisahkan antara untuk wisata dengan ritual khusus.

Keluhan yang sama juga terdengar dari para pemangku tradisi budaya di desa adat Bayan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mereka selalu berhati-hati jika ada tamu dari luar (peneliti atau rombongan kampus) yang ingin mengunjungi rumah dan masjid adat Bayan. Karena di antara pengunjung terkadang justru menebarkan informasi yang tidak baik tentang Bayan setelah berkunjung. Akibatnya, orang Bayan mendapat stigma negatif hingga sekarang. Mereka disebut orang Islam wetu telu, padahal mereka sendiri tidak menyebut itu dan tidak tahu apa arti istilah tersebut.

Berkebalikan dengan pandangan di atas, sebagian orang Melayu yang lain justru memahami bahwa pola pikir di atas membuat orang Melayu dan kebudayaannya ketinggalan zaman. Adat istiadat tradisional leluhur Melayu perlu di-modern-kan agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Tradisi perlu adanya sentuhan teknologi dan alat-alat modern, agar orang modern yang tidak memahami dapat mengerti. Jika tidak mengerti bagaimana mereka akan menghargai tradisi orang dahulu.

Seperti pembuatan film atau pergelaran festival budaya yang didukung oleh busana dan aksesoris yang mencolok perlu dilakukan, agar tradisi budaya dikenal oleh khalayak. Sambutan masyarakat akan semakin baik jika tradisi budaya yang terkesan mistik, magis, dan eksklusif didekatkan kepada penonton. Pendekatan ini dimaksudkan agar tradisi leluhur mejadi bagian dari kehidupan orang modern. Bagaimanapun orang modern adalah juga memiliki leluhur, karena itu ketika tradisi budaya dimodernkan, maka secara tidak langusng akan membantu mereka terikat kembali dengan leluhurnya.

Menjaga Substansi
 
Mencermati perdebatan di atas, kedua pandangan di atas memiliki sisi dilematis sendiri-sendiri. Kedua pandangan tersebut tidak dapat dikatakan salah semua ataupun benar semua. Harus diakui bahwa ketika upacara adat adalah sakral dan kesakralan dalam pandangan adat memerlukan suasana hening saat melantunkan mantra dan doa. Hal ini tidak jauh beda dengan umat beragama di komunitas modern yang menjalankan ibadah. Namun, ketika pembacaan doa terdengar suara kamera atau kilatan sinar laser, tentu hal ini akan mengganggu.

Belum lagi jika berbicara masalah kepentingan. Pergelaran festival budaya dengan pakaian dan hiasan warna-warni atau umbul-umbul tertentu, tidak sedikit ditumpangi oleh kepentingan orang tertentu. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan semangat spiritual upacara adat yang mementingkan kejujuran dan kemurnian hati (tanpa pamrih duniawi).

Pada sisi yang lain, ketika menengok banyak sekali kebudayaan Melayu yang terseok-seok dipinggiran tanpa perhatian dari pemerintah, pihak penyandang dana atau bahkan pemilik budaya sendiri, maka tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan. Dana sangat diperlukan untuk menjadikan kebudayaan Melayu lebih bergairah.

Mengiringi semangat kelahiran kembali ini, satu hal yang penting untuk dipahami adalah bahwa kebudayaan lahir dari kreasi manusia karena mengikuti perubahan fisik, psikis, dan alam. Dengan demikian, kebudayaan adalah perubahan itu sendiri. Hanya saja, bisakah manusia menjaga agar substansi kebudayaan itu sendiri tidak ikut berubah?

(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)







Komentar

Postingan Populer