Reinkarnasi

Menurut keyakinan Orang Dayak Benuaq dan Tonyooi di Kalimantan Timur (Kaltim), roh manusia sekarang dianggap sebagai penjelmaan dari roh manusia pada zaman dahulu. Salah satu roh suci manusia dahulu terejawantah pada sosok manusia-manusia baik yang menjadi pemimpin suku.

Asal-usul 

Melalui pengalaman hidup, manusia mempersepsi perilaku dan kepercayaannya. Pengalaman menjadi salah satu dasar kebudayaan manusia. Dengan pengalamannya, manusia berpikir dan mengatur hidup mereka (Alfian, 1985). Melalui pengalaman pula, suku Dayak Benuaq dan Tonyooi mempersepsi kebudayaan mereka, salah satunya tercermin dalam pengetahuan mereka tentang reinkarnasi.

Dalam buku berjudul Kaltim dalam Angka terbitan tahun 1997, disebutkan bahwa Dayak Benuaq dan Tonyooi adalah salah satu sub suku Dayak yang hidup tersebar di hutan Kalimantan Timur. Namun, sebenarnya kedua suku ini memiliki akar keturunan yang sama, yaitu dari Dayak Luangan di Kalimantan Tengah. Karena itu, dalam kajian-kajian budaya, kedua suku ini sering disandingkan penyebutannya.

Kesamaan lain dari kedua suku ini adalah soal kepercayaan mereka terhadap reinkarnasi. Konsep reinkarnasi Dayak Benuaq dan Tonyooi memang tidak tertulis secara eksplisit dalam aturan hidup mereka yang bernama adat sukat, namun idenya dapat dicermati dari konsepsi mereka tentang asal-usul roh. Menurut keyakinan mereka, roh manusia sekarang dianggap sebagai penjelmaan dari roh manusia pada zaman dahulu. Salah satu roh suci manusia dahulu terejawantah pada sosok manusia-manusia baik yang menjadi pemimpin suku (Dalmasius Madrah, 2001).

Masih menurut Dalmasius Madrah (2001), berdasar cerita yang berkembang di masyarakat Dayak Benuaq dan Tonyooi, kepercayaan mereka akan roh yang bereinkarnasi ini berasal dari cerita leluhur secara turun temurun tentang dua sosok manusia yang bernama Tataau Lisatan Tunyukng [1] dan Ayaakng Dilaakng Tunyuukng. Kedua sosok manusia adalah bersaudara, namun karena saling mencintai keduanya akhirnya menikah (incest), dan akibatya Tuhan Langit mengutuk keduanya. Efek dari kutukan tersebut adalah, keturunan dari pasangan ini akan menjelma menjadi roh jahat dan baik.

Keyakinan ini masih dipelihara oleh kedua suku di atas, karena selain sudah menjadi bagian dari memori sosial dan spiritual mereka, kepercayaan ini juga dikuatkan dalam aturan adat mereka yang bernama adat sukat, dan untuk menghormati keyakinan ini, dalam waktu-waktu tertentu diadakan ritual adat yang dalam mantranya selalu menyebut kedua sosok tersebut. Saat ini, banyak generasi muda Dayak yang sudah mulai tidak meyakini kepercayaan ini, namun para generasi tua tetap melakukan usaha pendidikan kepada mereka, salah satunya dengan melibatkan mereka dalam ritual (Yohanes Bonoh, 1985).

Manusia dengan kebudayaannya memang selalu unik dan terkadang sulit dicerna akal sehat, khususnya bila berhubungan dengan sesuatu yang abstrak (Koentjaraningrat, 1980). Konsep reinkarnasi di atas tampak mengamini pandangan ini. Roh yang yang abstrak menjadi landasan keyakinan orang Dayak Benuaq dan Tonyooi dalam memaknai keturunan mereka. Namun karena hal ini pula para generasi muda kedua suku kurang keyakinan mereka, akibat pendidikan modern yang mereka terima di sekolah. Terlepas dari kendala dan hambatan yang ada, konsep reinkarnasi ini menarik untuk dipelajari. 

Konsep Reinkarnasi 

Konsep reinkarnasi dalam pengetahuan orang Dayak Banuaq dan Tonyooi di Kalimantan Timur tercermin dari kepercayaan mereka terhadap cerita akan asal usul roh. Roh manusia zaman dahulu dipercaya memiliki hubungan yang dekat dengan generasi kedua suku selanjutnya, khususnya orang-orang yang menjadi pemimpin suku (Dalmasius Madrah, 2001).

Kepercayaan orang Dayak banuaq dan Tonyooi terhadap reinkarnasi bermula dari kepercayaan mereka akan cerita tentang perkawinan pasangan Tataau Lisatan Tunyukng (laki-laki) dengan Ayaakng Dilaakng Tunyuukng (perempuan) yang masih memiliki hubungan kerabat (incest).

Perkawinan sedarah tersebut ternyata dikutuk oleh Tuhan langit Dayak Banuaq dan Tonyooi yang bernama Perejadiq Bantikng Langit Peretikang Bantiq Tuhaaq. Akibat kutukan tersebut pasangan pengantin ini melahirkan keturunan dalam berbagai wujud, di antaranya Seniang (roh suci).

Suatu hari, ketika kedua pasangan tersebut hendak pergi ke ladang, keduanya memesan kepada anak sulungnya agar menjaga adik bungsunya yang bernama Ayaakng Bura. Kedua pasangan tersebut berpesan, jika adiknya nanti bangun tidur dan menangis, si sulung agar memotong piak bura (ayam putih) dan memasaknya lalu memberikan kepada si bungsu, karena dengan itu dia akan berhenti menangis.

Setelah sekian lama bekerja di ladang, kedua pasangan tersebut pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, anak-anaknya menghidangkan makanan berupa daging. Karena kedua pasangan itu merasa lapar selepas bekerja, keduanya pun bersiap untuk makan. Akan tetapi sebelum makan, sang ayah, Tataau Lisatn Tunyukng bertanya kepada anak-anaknya, daging apa yang dimasak. Sang anak menjawab
“Bukankah sebelum berangkat ayah telah berpesan agar kami memotong ayam putih jika adik bungsu bangun dari tidur dan menangis? Kami sudah menjalankan itu semua. Sebagian dari kami minum darah dan makan daging yang masih segar belum dimasak dan sebagian lagi meminum darah dan makan daging yang telah dimasak”.
Mendengar jawaban sang anak, sang ayah terkejut dan tidak jadi makan. Sejenak kemudian sang ayah marah lalu mengusir semua anak-anaknya agar pergi menuju tempat tertentu.

Semua anak-anak kedua pasangan tersebut lalu pergi menyebar ke berbagai penjuru hutan sesuai perintah sang ayah. Dalam kisahnya, anak-anak yang meminum darah dan memakan daging yang belum dimasak menjelma menjadi roh jahat dan akan menganggu kehidupan manusia. Sementara itu, anak-anak yang meminum darah dan memakan daging yang telah dimasak menjelma menjadi roh baik yang dapat membantu manusia bila diminta. Salah satu roh baik tersebut menjelma ke dalam sosok pemimpin dan pencipta aturan adat mereka yang bernama Gesaliq Mantiq Langit Benungan Kubu. Sosok ini hidup di sebuah tempat tertentu.

Berdasarkan cerita di atas, orang Dayak Banuaq dan Tonyoi meyakini bahwa mereka adalah keturunan dari pencipta aturan adat sukat, hanya mereka memiliki tugas yang berbeda dalam kehidupan di dunia. 

Pengaruh Sosial 

Pengetahuan suku Dayak Benuaq dan Tonyooi tentang reinkarnasi ini dalam prakteknya turut mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Hal ini antara lain dapat dicermati dalam beberapa hal:
  • Lestarinya ajaran leluhur. Pengetahuan ini didapatkan dari ajaran leluhur Dayak Benuaq dan Tonyooi, dengan demikian pelaksanaan pengetahuan ini secara tidak langsung merupakan usaha mereka dalam melestarikan ajaran leluhur tersebut. Mengingat para generasi muda kedua suku mulai tidak mempercayai cerita tentang konsep ini, pemerintah daerah, pemimpin adat, dan para budayawan Kalimantan Timur perlu membuat program pelestarian kebudayaan Dayak agar tidak punah, karena bagaimanapun mereka adalah suku asli pulau ini yang kebudayaannya dapat memperkaya kebudayaan Indonesia.
  • Menguatnya identitas sosial. Masyarakat kedua suku memiliki ikatan kuat akibat kepercayaan ini. Dalam konteks identitas, kepercayaan ini berperan penting dalam penguatan identitas kedua suku. Bagi anggota suku di mana pun mereka berada, akan merasa memiliki identitas yang sama jika mempercayai konsep ini. Kepercayaan suatu masyarakat perlu terus dilestarikan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan suku dan selanjutnya dapat digunakan menjadi cara untuk mencegah konflik antar suku (Yekti Maunati, 2006).
  • Landasan pemilihan pemimpin adat. Dalam kebudayaan Dayak Benuaq dan Tonyooi, keberadaaan pemimpin adat adalah sebuah keniscayaan. Tanpa pemimpin adat maka adat tidak ada yang menjaga dan kehidupan sosial suku akan terganggu dan terancam. Oleh karena itu, perlu dipilih salah seorang yang dianggap mumpuni untuk menjadi pemimpin adat dan konsep reinkarnasi ini menjadi salah satu landasan dalam pemilihan pemimpin adat tersebut, yang salah satu syaratnya adalah pemimpin adat harus keturunan dari roh baik.
  • Menguatnya rasa spiritual. Pengetahuan tentang reinkarnasi ini dalam kehidupan sosial bergerak beriringan dengan aktivitas spiritual yang dilakukan masyarakat suku, salah satunya dapat dilihat dari praktek-praktek upacara adat. Dalam upacara adat tersebut biasanya dibacakan mantra yang menyebut cerita yang melandasi konsep reinkarnasi ini. Dengan demikian, antara konsep reinkarnasi memiliki peran vital dalam menguatkan semangat spiritual suku ketika menjalankan upacara adat.
Penutup 

Keberadaan pengetahuan tentang reinkarnasi suku Dayak Benuaq dan Tonyoi ini sangat unik dan menarik untuk terus dikaji, karena umumnya konsep ini hanya dimiliki oleh kaum Hindu. Dalam konteks ini, keberadaan pengetahuan ini dapat menjadi bahan kajian yang penting untuk mencari benang merah antara kebudayaan Dayak Benuaq serta Tonyooi dengan kebudayaan Hindu. Namun, terlepas dari pro kontra yang ada, pengetahuan ini semakin memperkaya kebudayaan bangsa yang memang heterogen.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Alfian, 1985. Persepsi manusia tentang kebudayaan. Jakarta : Gramedia
  • Dalmasius Madrah T, 2001. Adat sukat Dayak Benuaq dan Tonyooi. Jakarta: Puspa Swara.
  • Koentjaraningrat, 1980. Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
  • Anonim, 1997. Kaltim dalam angka. Samarinda: Bappeda Tingkat I Kalimantan Timur.
  • Yekti Maunati, 2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS
  • Yohanes Bonoh, 1985. Lungun dan upacara adat. Kalimantan Timur: Tim Proyek Pengembangan Permuseuman
Catatan kaki:
[1] Untuk kata yang berakhiran ng, orang Dayak biasa berhenti pada kata ini, sehingga huruf sebelum ng tidak terbaca (pen).

Komentar

Postingan Populer